DAN SEDIKIT PUN AKU TIDAK TAKUT KEHILANGANMU



 


Bung,
malam ini kukirimkan sebuah surel gaib padamu yang jauh di sana. Satu atau bahkan lebih hal barangkali telah memisahkan kita lebih dari sekadar catatan angka perihal letak geografis. Aku ingin bercerita soal beberapa hal, sebenarnya. Kebetulan, aku melihat namamu di akun emailku. Lantas, buat apa kutunda pesan ini?

Kau ingat Stanley Miller kan, Bung? Dia membuat alat-alat percobaan yang terdiri dari sistem tabung kaca yang tertutup dengan sebuah ruang yang memuat ‘atmosfer’ seukuran 5 liter dan sebuah labu berisikan air yang berfungsi sebagai larutan. Atmosfer tersebut memuat gas-gas seperti metan, amonia, hidrogen, dan uap air. Kilatan listrik yang akan menjadi sumber energi dalam reka adegan awal mula pembentukan kehidupan dihasilkan oleh sepasang elektroda. 

Percobaan Miller menyediakan bukti pertama yang masuk akal bahwasannya kehidupan bisa saja muncul secara kebetulan, melalui serangkaian reaksi kimia acak. Akan tetapi, agar kehidupan dapat terbentuk, melewati 3,8 milyar tahun, kemungkinan terjadinya peristiwa ini amatlah kecil. Kemungkinan kebetulan sebagai inti penggerak dalam proses pembuatan asam amino sebagai bahan dasar kehidupan sangatlah kecil sebab mereka butuh membentuk sedemikian struktur yang berketeraturan, dalam skala jumbosupermegaduperbesar.

Dan, inilah hal pertama yang ingin kubahas, Bung. Permainan Kebetulan. 
 
Kurasa, tidak ada yang benar-benar kebetulan di dunia ini. Paling-paling, kebetulan Tuhan berkehendak, kebetulan Tuhan maunya begitu, kebetulan memang begitu takdirnya sejak di zaman azali. Kebetulan yang kita buat-buat, padahal bahan dasarnya adalah niat.

Jadi, that was bullshit, Man. Pengiriman catatan ini tidak disebabkan oleh kebetulan. Aku memang “mencari”mu, Bung. Aku rindu. Aku baru saja berbohong ketimbang bercanda. Akan tetapi, semoga saja kau tertawa. 

Terkadang, aku berpikir akankah kutemui ajal tawamu? Kematian suara lelaki yang selalu kudengar tiap ada lawakan kocak atau bahkan objek tak tentu yang terlanjur nyata kalau hanya untuk dibiarkan. Sekarang, di sini, aku ingin kau tahu:  aku tidak takut kehilanganmu. 
 
Sedikit pun aku tidak takut kehilanganmu, apalagi kalau cuma tawa dan canda. Tawamu menggema di kepalaku, Bung. Senyummu bahkan semakin menyenangkan, kata orang-orang. Aku bisa mencuri dengar dari mereka selagi aku mau. 

Dan sedikit pun aku tidak takut kehilanganmu. Bagiku, dirimu punya dualisme tersendiri. Sebagai partikel yang selamanya hinggap di seluruh penjuru bidang pandangku, juga sebagai gelombang anomali yang berkelebat, berlalu tanpa pamit, macam pesaing cahaya. Dan aku lebih suka (lebih tepatnya, berusaha mengingat-ingat yang pertama saja).

Kuberi tahu kau satu hal, Bung. Kalau kecepatanmu sampai setara bahkan melampaui cahaya, aku akan tetap mencoba, meski dengan wajah bodoh, merajuk pada Tuhan agar jangan sampai kau jadi ciptaanNya yang punya kecepatan paling dahsyat sejagad raya. Kau tahu kenapa? Karena meski kecepatan membuat bintang jatuh menjadi indah, kadang keberadaannya yang amat sesaat tetap menyisakan kesedihan. Nilai keindahannya tak pernah menandingi nilai keberadaannya. Apa analogi ini cukup bisa kau terima?

Dan sedikit pun aku tidak takut kehilanganmu. Di ujung jalan,
di pasar malam, di toko buku, di stasiun, di halte bis,di supermarket pada akhir dan awal bulan, di konser band punk rock sekalipun. Lihatlah, bahkan yang terakhir adalah situasi terparah. Akan tetapi, sayangnya aku tidak bodoh, aku tak akan takut. Kenapa? Karena katamu datang ke konser punk rock adalah cara yang tidak elegan untuk mengorbankan nyawa, haha. Sejuta kali lebih sia-sia dari menonton TV dalam posisi headstand, tak ada secuil pun unsur jihad fi sabilillah. 

Baiklah, aku serius, aku tidak takut kehilanganmu di sana, selama aku yakin kau memang sedang tertidur, pulas, terlelap dalam mimpimu sendiri, sedang aku sibuk berdesakkan dengan logika perihal keabstrakkan kehidupan yang sesekali kita padu padankan bersama. Kubiarkan kau mencumbu setiap jengkal pikiranmu di pulau kapuk—terserah! Kau takkan "menghilang" sebagaimana yang kau lakukan sewaktu-waktu, luput dari pandanganku.

Dan sedikit pun aku tidak takut kehilanganmu. Bukankah kita takkan kehilangan sesuatu yang tak pernah kita miliki? Kita tidak saling “menggenggam” apalagi “mendekap” bahkan sekadar dalam candaan.


Salam.



P.S:
Maaf, aku sempat berbohong sepanjang paragraf 7-13. Jangan marah, sebab aku baru saja mengaku dan memohon maaf. Tak perlulah kau bertanya, tentu saja aku takut kehilanganmu atas dasar apapun, kendati mungkin aku takkan pernah dapat menghindarinya.



Catatan.
Stanley Miller


Comments

  1. Terdengar (atau terbaca, ya?) sangat... menggebu-gebu, Dinar.

    Sekaligus sangat jujur.

    Kusuka!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, RoR. Haha, aku baru aja dapat julukan catchy buat kamu. Ah, kamu bikin aku inget sama gugus fungsi eter :') Keep being my lovely reader....

      Delete
  2. Cadasss =)))

    Sesuai hati ya? hahaha.

    ReplyDelete
  3. Detik demi Detik,
    hal yang kita rangkum kian samar.

    Satu demi satu,
    jalan yang kita tapaki mulai runtuh.

    Ragu,
    Engkau hanya bisa termangu.

    Menunggu apapun yang tak pasti.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebab simpulan tak pernah benar benar berpola, aku dan kamu barangkali punya cara berbeda dalam meringkas sebuah kisah. Yang akan bias sepanjang kita tak menyamakan pikiran. Ketidakpastian adalah sebuah kepastian dalam hal terka-menerka. Jadi, siapakah pembaca budiman yang satu ini?

      Delete
  4. Good article so far..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih. Pertama kali main ke interleaved, atau gimana? Kok bisa kemari? :))

      Delete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts