[CERITA BERSAMBUNG] RAHASIA
Neo
Sejak lama, aku percaya bahwa manusia hanyalah makhluk berupa gumpalan emosi. Sejak awal eksistensinya, entah cinta atau sekadar nafsu yang melahirkannya, kasih sayang yang merawat dan membesarkannya, atau derita yang mendewasakannya. Tiap partikel dalam diri mereka dipenuhi oleh beragam emosi yang pernah dilalui.
Sejak lama, aku percaya bahwa manusia hanyalah makhluk berupa gumpalan emosi. Sejak awal eksistensinya, entah cinta atau sekadar nafsu yang melahirkannya, kasih sayang yang merawat dan membesarkannya, atau derita yang mendewasakannya. Tiap partikel dalam diri mereka dipenuhi oleh beragam emosi yang pernah dilalui.
Hal-hal ini menciptakan
individu yang rumit. Manusia takkan pernah benar-benar mengerti satu sama lain karenanya.
Walau kita semua telanjang sekalipun, manusia tidak akan benar-benar toleran. Walaupun
kita satu, kita tetap berdua dan meskipun kita padu, masih berjuta keinginan
saling bercabang. Selamanya, dua insan yang menyatu hanyalah euthopia negeri
dongeng.
Demikian hal yang
selama ini aku percayai, tapi entah kenapa sebuah tali dapat merekatkan dua
orang.
Dan disebut apakah tali
itu? Sejak dulu aku pun bertanya hal serupa.
***
“Kar, memangnya kamu
mau aku pergi?”
Akhir hari sudah menyongsong. Diterangi cahaya lampu dengan bayang-bayang kelekatu, aku menatap sepasang mata
merah yang berkaca-kaca selagi melontarkan pertanyaan yang sama. Namun,
Karya bungkam, hanya membalas tatapanku dengan pupil yang berusaha mewakili
alat bicara.
Satu detik… Lima detik…
Aku menghitung tiap detik kami yang berlalu dalam kesunyian. Sepuluh detik….
Dua puluh detik… Entah sudah berapa lama waktu berlalu saat akhirnya aku
menyerah dalam perang mental tersebut.
“Kar…” tegurku dengan
nada rendah.
Karya tetap diam. Ia justru
memalingkan pandangannya.
“Karya, kamu benar-benar
mau aku pergi?”
Dan ia tetap diam. Aku berdiri.
“Neo…”
Karya menyebut namaku,
namun kini justru aku yang mendiamkannya.
“Ill feel.” Tak kusangka pernah tersirat frasa ini di benak Karya
untuk menggambarkan isi kepalaku, seakan aku... seakan....
....
Aaah, sudahlah.
Aku pun menyandang tas,
menggenggam jaketku.
“Neo!”
“...” Aku tak peduli.
“Neo!” sebutnya lagi.
Lantas, aku membalikkan
badanku.
“Enggak!!!” sebuah
teriakan terdengar dari balik badanku, merambat melalui udara di bangunan yang
tidak begitu luas itu, menarik perhatian pengunjung lain. Tapi, aku tak peduli,
aku tak mau peduli. “Nggak, Neo! Aku nggak pernah mau kamu pergi! Dulu,
sekarang, atau kapan pun! AKU ingin kamu tetap tinggal, di sini, bareng aku!” lanjutnya.
Nada
suaranya meninggi.
Beberapa pandangan tidak nyaman yang dilemparkan orang sekitar kepadaku
kubalas
dengan tatapan saja. Mereka pun kembali mengabaikan kami. Kemudian, aku
membalikkan badanku, menatap Karya dengan air matanya yang kembali
mengalir.
“Apa kamu pernah
bayangin emosi apa yang aku pendam? Enggak kan?! Lalu kamu pergi gitu aja!” Saat nafas Karya habis
di sela teriakannya, entah apa gerangan yang bergejolak dan menyesakkan paru-paruku.
Dengan kata-kata yang seakan mengalir dari perutku, aku membuka mulutku dan
balik berteriak.
“Kamu pikir aku nggak
pernah tahu, Kar?! Justru kamu yang nggak tahu apa yang aku rasakan! Dulu, saat
kamu bilang cinta aku, semuanya berubah Kar!”
***
Disebut
apakah tali itu?
Kurasa, jauh di dalam
sana, di dalam diriku, di pikiranku, di dadaku, atau di atas secarik kertas di
sebuah laci, jawabannya sejak lama diam dan termakan usia--lembaran lama yang
kuharap sudah dibakar oleh sang waktu. Tapi, kenyataan tidak sebaik itu.
Ya, tidak pernah. Dia
masih di sana.
Sebuah cerita lama
tentang kisah hidupku yang sudah berkali-kali kubuang ke laut, gunung, jurang,
ngarai, atau ke mana pun yang dapat kupikirkan, namun masih juga
bergentayangan.
Karena ini aku percaya
atau mungkin lebih baik aku jujur saja dan bilang kalau aku ingin percaya.
Kurasa, tali itu bukan
apa yang kalian sebut cinta. Ya, aku percaya...
Tapi, lagi-lagi raga
ini kembali mengecewakanku...
***
Mata Karya membesar
mendengar teriakanku. Mulutnya menganga kehabisan kata atau mungkin memang karena
tercengang. Saat itu aku bahkan tidak menggubris. Apa yang ingin kukatakan dari mulutku menjadi satu-satunya isi pikiranku.
“Saat itu aku cuma ingin
kita terus bersahabat, Kar. Menjalani waktu bersama-sama…”
“Bukan Neo!” Karya
memotong kata-kataku. Matanya yang kini memantulkan cahaya lampu yang samar
menatapku lekat-lekat. “Apa jadinya kalau aku nggak nyatain perasaanku ke
kamu?!” tanyanya.
“Kita bakal tetap
seperti biasa, nggak ada putus kontak atau…”
“Seperti biasa?!”
potongnya lagi. “Ayolah, Neo. Lebih dari seratus kilo jarak kita berdua, waktu
berlalu, dan kamu kira kita akan tetap seperti biasa?!”
“Hah?!” Aku yang terheran-heran
mendengar nada suaranya yang seakan mengatakan ‘ayolah orang ini!’ tanpa sadar mengutarakan hal itu.
“Apa kamu pikir kamu nggak
akan bertemu hal-hal baru, teman-teman baru, dan perempuan-perempuan lain? Kamu
bisa jamin kalau nggak ada yang bakal berubah di antara kita? Neo, bahkan bisa
saja sewaktu-waktu kamu melupakan aku…”
Hah?!
“Kamu bahkan bisa
berpikir kalau aku akan ngelupain kamu, Kar? Ngelupain kamu Kar?!” Aku bahkan
menanyakan hal itu dua kali.
“Neo, maksudku, waktu
berlalu, and people change.”
Aku terdiam mendengar
hal itu. Tak kusangka—bahkan tak pernah kusangka. Sebut saja aku naif saat itu dan
berarti aku tetap naif sampai sekarang karena hanya bisa memikirkan dan
membayangkan hal yang kontra terhadap kata-kata Karya.
“Iya, waktu berlalu
Kar. And you changed…”
Hanya kata-kata itu
yang mampu kuutarakan untuk mewakili kekecewaanku. Perlahan, dengan nada lebih
rendah yang bahkan mengagetkanku, aku melanjutkan.
“Kamu tahu, Kar?
Lucunya—maaf mengecewakanmu—waktu berlalu dua tahun ini dan nggak pernah satu
hari pun aku ngelupain kamu….”
Lagi, mata Karya melebar.
Aku hanya diam mengatur napasku, berusaha menahan nadaku yang seakan ingin
meninggi.
“Dari dulu aku percaya, Kar, bahwa
cinta itu racun. Tak terbalaskan menyakitkan, disimpan menusuk, dibuang dia
kembali, dan terlebih lagi jika berakhir…” Aku menelan ludah. “Maka selesai
sudah..” kataku setelah jeda singkat itu. “Andai saja, Kar, semua tidak
begini. Dua tahun lampau bisa kita habiskan berdua walau ada jalan yang
memisahkan. Kalau pun hanya sesekali, kita bisa bertemu, bertegur sapa, minum iced chocolate berdua sampai kamu dapat
telepon dari rumah karena disuruh segera pulang. Lalu…. Lalu mungkin sesekali
aku yang mengantarmu pulang karena khawatir sudah malam atau mungkin hanya
mengantarmu sampai taksi dan menutupkan pintu untukmu,” ucapku sambil samar
membayangkan hal itu benar-benar terjadi.
“….”
Karya benar-benar menangis
sekarang. Bahunya bergetar, sesekali naik karena isak tangisnya.
“Di sini, di kafé dekat
kosku, kampusku, atau mungkin juga di kotamu…”
Dan saat itu aku tersadar.
Kotamu. Entah sejak kapan ‘kota kita’ telah berubah menjadi ‘kotamu’. Terkaget akan hal itu, baru aku tersadar betapa keringnya tenggorokanku. Aku kemudian mengangkat gelas yang telah kosong saat mendengar cerita Karya tadi.
Kotamu. Entah sejak kapan ‘kota kita’ telah berubah menjadi ‘kotamu’. Terkaget akan hal itu, baru aku tersadar betapa keringnya tenggorokanku. Aku kemudian mengangkat gelas yang telah kosong saat mendengar cerita Karya tadi.
Aaah,
benar…. cerita Karya.
Aku datang untuk
menolong Karya, mendengar kisahnya sambil sebisa mungkin memberi saran atau
bahkan membantu jika memungkinkan. Tapi, justru lidahku sendiri yang
menyakitinya sekarang.
Karya masih menangis
sambil sesekali menyebutkan namaku. Kukira, waktu sudah mendewasakanku, tapi
tak ada yang berubah sejak saat itu. Aku masih Neo yang sama, yang emosional
dan egois.
“Maaf,” bisik Karya
setelah beberapa saat waktu berlalu hanya dengan isaknya yang menggetarkan
gendang telingaku.
“Semua memang salahku.
Tentang kita, keluargaku, semua aku yang salah…”
Bukan
Karya.
“Jadi, maaf Neo… Aku
minta maaf.”
Bukan.
Ini semua salahku,
laki-laki konyol yang tidak bisa membuang ketakutannya. Laki-laki yang hidupnya
dihantui imajinasinya sendiri. Laki-laki brengsek yang lagi-lagi membuat gadis
yang sama menangis.
Aku pun menarik napas
dalam, membuangnya.
“Bukan, Kar.”
“Bukan apanya?!
Jelas-jelas aku—”
“Bukan, Kar,” potongku
sembari sedikit meremas tangannya. “Ini juga salahku.”
Karya kembali terdiam
dengan matanya menatap mataku. Hanya menatapku. Mungkin mencari maksud ucapanku
di sana. Anehnya, sekarang justru aku yang memalingkan pandanganku.
“Heh, memang susah ya
punya rahasia,” ucapku, sedikit menyunggingkan senyum.
Karya tetap diam, mungkin bingung apa maksudku,
atau memintaku melanjutkan kalimatku yang bertele-tele. Yah, aku memang payah.
“Aku juga punya
rahasia.”
“Rahasia apa?”
tanyanya, kembali membuka mulut dengan suara yang sedikit serak.
“Iya, rahasia...”
Aku terdiam sejenak, memilih entah kalimat apa yang tidak akan menunjukkan bahwa kata-kataku tidak pernah melalui otakku, atau organ perangkai diksi lainnya.
Hanya dari hati, mengalir ke mulut.
Aku terdiam sejenak, memilih entah kalimat apa yang tidak akan menunjukkan bahwa kata-kataku tidak pernah melalui otakku, atau organ perangkai diksi lainnya.
Hanya dari hati, mengalir ke mulut.
“Kalau rahasiamu dulu
juga rahasiaku…”
Kata-kata itu melantun
begitu saja, diiringi semilir angin malam musim penghujan, sambil disaksikan
surya pucat dengan Indra dan kelinci-kelincinya yang tetap setia mendengarkan
sedari tadi.
Bersambung...
Bandung, Agustus 2017
Dinar & RG
Comments
Post a Comment