[CERITA BERSAMBUNG] RAHASIA


Keping 4
Rahasia yang Sama


Sebelumnya
Keping 3: Pengakuan  
 


Neo 
 
Sejak lama, aku percaya bahwa manusia hanyalah makhluk berupa gumpalan emosi. Sejak awal eksistensinya, entah cinta atau sekadar nafsu yang melahirkannya, kasih sayang yang merawat dan membesarkannya, atau derita yang mendewasakannya. Tiap partikel dalam diri mereka dipenuhi oleh beragam emosi yang pernah dilalui. 

Hal-hal ini menciptakan individu yang rumit. Manusia takkan pernah benar-benar mengerti satu sama lain karenanya. Walau kita semua telanjang sekalipun, manusia tidak akan benar-benar toleran. Walaupun kita satu, kita tetap berdua dan meskipun kita padu, masih berjuta keinginan saling bercabang. Selamanya, dua insan yang menyatu hanyalah euthopia negeri dongeng.

Demikian hal yang selama ini aku percayai, tapi entah kenapa sebuah tali dapat merekatkan dua orang.

Dan disebut apakah tali itu? Sejak dulu aku pun bertanya hal serupa.

***

“Kar, memangnya kamu mau aku pergi?”

Akhir hari sudah menyongsong. Diterangi cahaya lampu dengan bayang-bayang kelekatu, aku menatap sepasang mata merah yang berkaca-kaca selagi melontarkan pertanyaan yang sama. Namun, Karya bungkam, hanya membalas tatapanku dengan pupil yang berusaha mewakili alat bicara.

Satu detik… Lima detik… Aku menghitung tiap detik kami yang berlalu dalam kesunyian. Sepuluh detik…. Dua puluh detik… Entah sudah berapa lama waktu berlalu saat akhirnya aku menyerah dalam perang mental tersebut.

“Kar…” tegurku dengan nada rendah.

Karya tetap diam. Ia justru memalingkan pandangannya.

“Karya, kamu benar-benar mau aku pergi?”

Dan ia tetap diam. Aku berdiri.

“Neo…” 

Karya menyebut namaku, namun kini justru aku yang mendiamkannya.

Ill feel.” Tak kusangka pernah tersirat frasa ini di benak Karya untuk menggambarkan isi kepalaku, seakan aku... seakan....

....

Aaah, sudahlah.

Aku pun menyandang tas, menggenggam jaketku.

“Neo!” 

“...” Aku tak peduli.

“Neo!” sebutnya lagi.

Lantas, aku membalikkan badanku.

“Enggak!!!” sebuah teriakan terdengar dari balik badanku, merambat melalui udara di bangunan yang tidak begitu luas itu, menarik perhatian pengunjung lain. Tapi, aku tak peduli, aku tak mau peduli. “Nggak, Neo! Aku nggak pernah mau kamu pergi! Dulu, sekarang, atau kapan pun! AKU ingin kamu tetap tinggal, di sini, bareng aku!” lanjutnya.

Nada suaranya meninggi. Beberapa pandangan tidak nyaman yang dilemparkan orang sekitar kepadaku kubalas dengan tatapan saja. Mereka pun kembali mengabaikan kami. Kemudian, aku membalikkan badanku, menatap Karya dengan air matanya yang kembali mengalir.

“Apa kamu pernah bayangin emosi apa yang aku pendam? Enggak kan?! Lalu kamu pergi gitu aja!” Saat nafas Karya habis di sela teriakannya, entah apa gerangan yang bergejolak dan menyesakkan paru-paruku. Dengan kata-kata yang seakan mengalir dari perutku, aku membuka mulutku dan balik berteriak.

“Kamu pikir aku nggak pernah tahu, Kar?! Justru kamu yang nggak tahu apa yang aku rasakan! Dulu, saat kamu bilang cinta aku, semuanya berubah Kar!” 

***

Disebut apakah tali itu?

Kurasa, jauh di dalam sana, di dalam diriku, di pikiranku, di dadaku, atau di atas secarik kertas di sebuah laci, jawabannya sejak lama diam dan termakan usia--lembaran lama yang kuharap sudah dibakar oleh sang waktu. Tapi, kenyataan tidak sebaik itu. 

Ya, tidak pernah. Dia masih di sana.

Sebuah cerita lama tentang kisah hidupku yang sudah berkali-kali kubuang ke laut, gunung, jurang, ngarai, atau ke mana pun yang dapat kupikirkan, namun masih juga bergentayangan.

Karena ini aku percaya atau mungkin lebih baik aku jujur saja dan bilang kalau aku ingin percaya. 

Kurasa, tali itu bukan apa yang kalian sebut cinta. Ya, aku percaya...

Tapi, lagi-lagi raga ini kembali mengecewakanku...

***

Mata Karya membesar mendengar teriakanku. Mulutnya menganga kehabisan kata atau mungkin memang karena tercengang. Saat itu aku bahkan tidak menggubris. Apa yang ingin kukatakan dari mulutku menjadi satu-satunya isi pikiranku.

“Saat itu aku cuma ingin kita terus bersahabat, Kar. Menjalani waktu bersama-sama…”

“Bukan Neo!” Karya memotong kata-kataku. Matanya yang kini memantulkan cahaya lampu yang samar menatapku lekat-lekat. “Apa jadinya kalau aku nggak nyatain perasaanku ke kamu?!” tanyanya.

“Kita bakal tetap seperti biasa, nggak ada putus kontak atau…” 

“Seperti biasa?!” potongnya lagi. “Ayolah, Neo. Lebih dari seratus kilo jarak kita berdua, waktu berlalu, dan kamu kira kita akan tetap seperti biasa?!”

“Hah?!” Aku yang terheran-heran mendengar nada suaranya yang seakan mengatakan ‘ayolah orang ini!’ tanpa sadar mengutarakan hal itu.

“Apa kamu pikir kamu nggak akan bertemu hal-hal baru, teman-teman baru, dan perempuan-perempuan lain? Kamu bisa jamin kalau nggak ada yang bakal berubah di antara kita? Neo, bahkan bisa saja sewaktu-waktu kamu melupakan aku…”

Hah?!

“Kamu bahkan bisa berpikir kalau aku akan ngelupain kamu, Kar? Ngelupain kamu Kar?!” Aku bahkan menanyakan hal itu dua kali. 

“Neo, maksudku, waktu berlalu, and people change.”

Aku terdiam mendengar hal itu. Tak kusangka—bahkan tak pernah kusangka. Sebut saja aku naif saat itu dan berarti aku tetap naif sampai sekarang karena hanya bisa memikirkan dan membayangkan hal yang kontra terhadap kata-kata Karya.

“Iya, waktu berlalu Kar. And you changed…

Hanya kata-kata itu yang mampu kuutarakan untuk mewakili kekecewaanku. Perlahan, dengan nada lebih rendah yang bahkan mengagetkanku, aku melanjutkan.

“Kamu tahu, Kar? Lucunya—maaf mengecewakanmu—waktu berlalu dua tahun ini dan nggak pernah satu hari pun aku ngelupain kamu….”

Lagi, mata Karya melebar. Aku hanya diam mengatur napasku, berusaha menahan nadaku yang seakan ingin meninggi.

“Dari dulu aku percaya, Kar, bahwa cinta itu racun. Tak terbalaskan menyakitkan, disimpan menusuk, dibuang dia kembali, dan terlebih lagi jika berakhir…” Aku menelan ludah. “Maka selesai sudah..” kataku setelah jeda singkat itu. “Andai saja, Kar, semua tidak begini. Dua tahun lampau bisa kita habiskan berdua walau ada jalan yang memisahkan. Kalau pun hanya sesekali, kita bisa bertemu, bertegur sapa, minum iced chocolate berdua sampai kamu dapat telepon dari rumah karena disuruh segera pulang. Lalu…. Lalu mungkin sesekali aku yang mengantarmu pulang karena khawatir sudah malam atau mungkin hanya mengantarmu sampai taksi dan menutupkan pintu untukmu,” ucapku sambil samar membayangkan hal itu benar-benar terjadi. 

“….”

Karya benar-benar menangis sekarang. Bahunya bergetar, sesekali naik karena isak tangisnya.

“Di sini, di kafĂ© dekat kosku, kampusku, atau mungkin juga di kotamu…”


Dan saat itu aku tersadar. 

Kotamu. Entah sejak kapan ‘kota kita’ telah berubah menjadi ‘kotamu’. Terkaget akan hal itu, baru aku tersadar betapa keringnya tenggorokanku. Aku kemudian mengangkat gelas yang telah kosong saat mendengar cerita Karya tadi.

Aaah, benar…. cerita Karya.

Aku datang untuk menolong Karya, mendengar kisahnya sambil sebisa mungkin memberi saran atau bahkan membantu jika memungkinkan. Tapi, justru lidahku sendiri yang menyakitinya sekarang.

Karya masih menangis sambil sesekali menyebutkan namaku. Kukira, waktu sudah mendewasakanku, tapi tak ada yang berubah sejak saat itu. Aku masih Neo yang sama, yang emosional dan egois.

“Maaf,” bisik Karya setelah beberapa saat waktu berlalu hanya dengan isaknya yang menggetarkan gendang telingaku.

“Semua memang salahku. Tentang kita, keluargaku, semua aku yang salah…”

Bukan Karya.

“Jadi, maaf Neo… Aku minta maaf.”

Bukan.

Ini semua salahku, laki-laki konyol yang tidak bisa membuang ketakutannya. Laki-laki yang hidupnya dihantui imajinasinya sendiri. Laki-laki brengsek yang lagi-lagi membuat gadis yang sama menangis. 

Aku pun menarik napas dalam, membuangnya.

“Bukan, Kar.”

“Bukan apanya?! Jelas-jelas aku—”

“Bukan, Kar,” potongku sembari sedikit meremas tangannya. “Ini juga salahku.”

Karya kembali terdiam dengan matanya menatap mataku. Hanya menatapku. Mungkin mencari maksud ucapanku di sana. Anehnya, sekarang justru aku yang memalingkan pandanganku.

“Heh, memang susah ya punya rahasia,” ucapku, sedikit menyunggingkan senyum.

Karya tetap diam, mungkin bingung apa maksudku, atau memintaku melanjutkan kalimatku yang bertele-tele. Yah, aku memang payah.

“Aku juga punya rahasia.”

“Rahasia apa?” tanyanya, kembali membuka mulut dengan suara yang sedikit serak.

“Iya, rahasia...” 

Aku terdiam sejenak, memilih entah kalimat apa yang tidak akan menunjukkan bahwa kata-kataku tidak pernah melalui otakku, atau organ perangkai diksi lainnya. 

Hanya dari hati, mengalir ke mulut.

“Kalau rahasiamu dulu juga rahasiaku…”

Kata-kata itu melantun begitu saja, diiringi semilir angin malam musim penghujan, sambil disaksikan surya pucat dengan Indra dan kelinci-kelincinya yang tetap setia mendengarkan sedari tadi.


Bersambung...



Bandung, Agustus 2017
Dinar & RG

Comments

Popular Posts