APA DAYA MENJADI APA ADANYA

Apa yang kau lihat dariku? Apakah ada cahaya yang meredup di wajahku? Benarkah kantung mataku sangat mengganggu? Jangan-jangan, aku tampak lebih tua dari usiaku? Bagaimana tanggapanmu tentang apa yang dibicarakan kebanyakan orang tentang bahuku yang kokoh dan langkahku yang tegap? Mungkinkah aku tak tampak seperti perempuan pada umumnya? Aku sering berpikir, rahangku tidak cukup tegas untuk menopang kedua pipiku yang tambun. Bahkan, semestinya tulang pipiku lebih menonjol supaya aku kelihatan tirus. Aku dahulu banyak berdoa supaya hidungku lebih bangir dari ini. Terlebih, karena aku tak punya harapan lagi pada bulu mataku yang pendek, tipis, dan tak juga lentik. Sangat sulit untuk akhirnya memberanikan diri menanyakan ini: apakah aku cukup cantik? Sebab, sejak tadi, kau hanya memandangi.

Kalau begitu, apa yang kau suka dariku? Adakah? Apakah kau senang melihat lengkung senyumku yang khas? Sebagian orang bilang padaku bahwa kurva di wajahku itu membuat orang lain tidak bisa lama-lama bersedih. Tapi, yang lain malah merasa justru akulah yang sedang berpura-pura bahagia. Meski begitu, apakah kau masih menyukaiku? Mungkinkah kau terpikat pada lagakku yang kadang tidak terduga? Atau tawaku yang tidak anggun? Kadang, aku bercanda tanpa peduli apakah aku cukup lucu atau tidak. Tak jarang, aku terlambat sadar bahwa sekitarku bahkan tidak cukup tertarik untuk menanggapi. Lantas, masih adakah yang bisa kau gemari? Memandangiku atau mendengarkanku? Menggangguku atau meledekku? Aku lega, jika yang kau pandangi setiap hari adalah tingkah konyolku demi menutupi segala gundah di hati. Aku turut bahagia, pabila tingkahku pun membawa pergi semua sesalmu selama ini. Mau diapakan lagi, ketidaksempurnaanku begitu sempurna membentuk diriku.

Boleh aku tahu tentang hal-hal yang kau benci tentangku? Apa kau tak suka melihat duka menggenang di pelupuk mata? Atau diamku yang berarti banyak hal merusak suasana dan aku hanya tak sanggup mengatakan yang sebenarnya? Benarkah kau tak suka aku saat bersedih hati? Sekalipun aku tak pernah murung di hadapan sepiring nasi dan tak pernah bungkam di antara orang-orang yang berkelakar? Jangan bilang kau pernah dapati aku sendirian dalam keramaian dan mengerang karena kesakitan. Aku malu, sebab tak semestinya kutunjukkan itu. Kebahagiaan semakin nyata saat dibagi, tapi kesedihan bisa merontokkan harapan saat dibiarkan merembes keluar dari dalam diri, memengaruhi orang lain. Ah, pastilah aku sudah membuat dirimu muak. Maafkan, ada beberapa sebab yang membuatku kadang hilang kendali atas diriku sendiri.

Lantas, bagaimana aku semestinya? Jika menjadi apa adanya mungkin akan menyakiti sebagian orang, namun berpura-pura pun perlahan menghancurkan diri? Tolong, ajari aku bagaimana menjadi mencintai setiap jengkal diri ini. Menjauhkan prasangka, tuduhan, hujatan, dan keraguan untuk lantas jatuh hati pada diri sendiri. Sehingga aku--sekalipun tanpa polesan gincu dan perona wajah--dapat selalu menjadi cukup menyenangkan untuk diajak berteman. Sehingga aku--sekalipun tidak punya telapak tangan yang halus atau mata yang bening--dapat selalu menjadi peneduh yang cukup menenangkan tiap-tiap dari mereka yang dalam nestapa, mencari tempat berpulang. Sehingga aku--sekalipun dengan bengkak di mata dan lebam di badan--tetap bisa memberi contoh bagaimana menopang kelemahan, menyongsong hari ke depan.

Sebab bagiku, menjadi cahaya adalah sebuah anugerah. Aku tidak hanya memusatkan diri pada diri sendiri, tetapi juga mencoba selalu membantu menerangi jalan mereka-mereka yang kesulitan. Mendekap dikala gigil, menggenggam dikala resah, menghibur dikala susah. Dan tentu, jangan salah, aku pun selalu ikut berbahagia. 

Mungkin, aku tidak akan pernah sebaik dan seindah yang kau harapkan. Mungkin juga, aku berkemungkinan untuk terus mengecewakan. Segala kemungkinan itu begitu mungkin sampai aku kadang tidak tahu mana yang bisa disebut mutlak.

Kau harus tahu, sungguhlah aku berbenah diri. Benarlah aku berdiri di sini, mencari jalan terbaik. Berusaha bersikap adil dan bijak: memberi kesempatan bagi airmata untuk mencari muara, memberi celah bagi perih untuk hadir pun terbenam, dan memupuk berkah yang bertumbuh-kembang, serta membagikan semangat sebisa-bisanya.

Akulah gadis yang lebih senang memakai celana kargo dan kaos oblong. Yang dalam sendunya masih ada selera humor, dan dalam tawanya masih ada kesakithatian. Akulah gadis yang sungguh ingin menulis lebih baik dari ini, tetapi kehilangan diksi karena hampir menangis setelah membubuhkan tanda baca ini.

Berjalanlah terus. Bersemangatlah kau. Bersemangatlah kau semua...

Juli 2017
Dinar Astari

Comments

Popular Posts