TENTANG KEMUNGKINAN

Weep not for roads untraveled
Weep not for sights unseen
May your love never end
And if you need a friend
There's a seat here alongside me
...

Tidak perlu menjadi seorang filsuf demi bisa memaknai takdir. Setidaknya, itu yang dapat aku simpulkan sejauh ini. Kegagalan, penantian, ketidakberuntungan, ketertinggalan, rasa sakit dan kecewa, bahkan airmata yang sering dijadikan sebagai lambang kelemahan, bagaimanapun juga merupakan stimulan alami bagi kita manusia untuk dapat lebih bijak memandang hidup, dalam hal ini memaknai takdir. Lantas, dadu dilempar. Kami terlontar, dari masing-masing asal, berjumpa di kedai ini, menyeruput masing-masing minuman, mulai berbincang acak. 

Tapi, lawan bicaraku malam itu tahu-tahu menggeser letak mok es cokelat-nya seraya menyeletuk tentang makna diri satu sama lain.

"Lu pasti pernah kan, ada dalam kondisi di mana segala harapan lu nggak terkabul, tapi di situ juga lu baru bisa sadar kalau cadangannya udah ada di deket lu sebegitu lamanya?" terkanya. Kedua alisnya meliuk alami, menciptakan kesan lebih serius. 

Aku menaruh cangkir kopiku dekat mok es cokelat itu, lantas bicara. "Apa maksudnya cadangan?"

Laki-laki itu tampak agak terkejut, menyadari diksinya yang kurang pas dengan maksud pembicaraannya, terlebih mandek juga untuk kupahami. "Sori, mungkin gue salah pilih kata. Bukan cadangan sih, tapi mungkin plan lain, hmm... pilihan lain. Ya, itu. Kemungkinan yang lain." Ia kelihatan puas dengan kesimpulan terakhirnya. 

"Semacam Spongebob yang gagal jalan-jalan sama Sandy, terus galau seharian, padahal jelas-jelas Patrick di dekatnya nganggur bisa diajak ngapain aja?" usil, kuibaratkan bahasan kami menjadi persoalan remeh terkait kehidupan sehari-hari makhluk laut yang entah dari mana kehidupannya berasal. 

Jelas, laki-laki itu mendengus kesal mendengarku bicara seperti itu, sekalipun ujung bibirnya kupergoki bergetar tanda menahan gurat senyum yang hendak muncul. "Terserah!" katanya, mengambil mok dan meminum es coklat-nya sampai tandas. Suara tegukannya menghalangiku untuk bicara lagi.

Aku menepuk-nepukkan telapak tangan kanan dan kiri seperti tengah membersihkannya dari debu kotoran. "Bersihkan obrolan ini dari kiasan-kiasan, bicara aja yang simpel dan jelas. Ada apa?" tanyaku gamblang. Kulihat pupil mata laki-laki itu sedikit menciut, kalah kuat dengan sorot mataku yang mungkin terlalu terkesan menginterogasi. 

Ia menarik napas. "Ya, soal cewek."

"Iya, gue tahu."

"Gue ngerasa dua cewek yang lagi deket banget sama gue ini sampai sekarang kayak nggak tanda-tanda apapun, deh, Ta..."

Kalimat barusan seketika membuatku terperangah, kemudian mencondongkan tubuhku lebih dekat padanya. "Hah? Apa? Dua cewek? Yang lain apaan? Laron doang?" tanyaku dengan nada meledek. Sebelum ia sempat membantah, aku pun bicara lagi. "Alright, mereka cuma TEMAN LAMA YANG SENANG BERLAMA-LAMA CHAT SAMA LU aja, ya? Aha. Oke, lu nggak ada ketertarikan lebih ke mereka. Got it. Lanjut, Pak!" sambungku, membuatnya ingin mengahadang sekaligus malu dan kebingungan. 

"Sori, Ta. Ternyata pesona gue memang tidak terelakkan," jawabannya lebih santai dari dugaanku. 

"Berhenti narsis, atau gue kenalkan semua cewek cadangan lu ke semua pengunjung di sini?!" ancamku. Ia mati-matian menahan tawa setelah mencengkeram lengan kiriku seraya berbisik bahwa gadis-gadis itu murni teman saja, jauh dari kata gebetan apalagi sampai jadi cadangan. Aku tetap mempertahankan muka lempeng-ku, sebab hanya itulah benteng kewibawaan yang bisa kubangun dalam situasi aneh antara aku dan dia. Sejak tadi, aku memang banyak melempar humor padanya, tapi jelas ia jauh lebih jago membuat perutku terkocok saking tidak terkontrolnya reaksiku terhadap bercandaannya. 

Laki-laki itu mulai kembali tenang, lantas melanjutkan ceritanya. "Seperti yang lu tahu, dari sekian teman dekat gue yang lu biasa sebut cadangan itu, sebenarnya nggak banyak yang gue bisa anggap sobat. Si satu ini, nih, yang lama-lama gue rasa perbedaannya. Dia baik banget, selalu ada buat gue. Ngedengerin gue, jelas. Bantuin gue kalau susah, ya iya. Bahkan, cuma dia yang ngasih kado pas ultah ke-19 gue tahun lalu! Percaya nggak?" matanya berbinar, seakan-akan satu boks pemberian sahabatnya itu tengah terbongkar di tengah-tengah meja kami, kemudian satu per satu item-nya tersusun rapi siap dideskripsi.

Mengingat kalimat terakhirnya adalah sebuah pertanyaan, aku pun menjawab singkat, "Percaya, lah." 

Wong pas ulang tahun ke-19 aku bahkan nggak dapat kado apa-apa, batinku.

"Salah nggak, sih, kalau perlahan gue mulai nggak terlalu fokus sama cewek yang gue suka dan gue harapkan, gue tunggu-tunggu dari dulu? Gue malah mulai beralih memperhatikan hal-hal yang nggak gue sadari tentang sobat gue ini? Keberadaannya, kebaikannya, tingkah lakunya, semuanya. Meskipun ya, gue sebenarnya masih jauh dari kata suka. Kayaknya." 

Aku menarik napas dalam-dalam. Topik itu sangat umum dan kadang membosankan kalau dibuat cerita atau FTV. Mungkin harus pakai artis yang sedang 'naik daun' dan membeli soundtrack yang asik juga latar yang amat keren kalau sampai mau diangkat ke layar lebar. Tapi, entah mengapa beban dalam cerita itu tetaplah tidak terasa lebih ringan di pundakku. 

Tiba-tiba saja, aku merasa tak punya sepatah kata apapun untuk diucapkan. Mata laki-laki itu menagih jawabanku. Raut mukanya berubah, seperti orang kebingungan. "Lu nggak mau ngomong apa, gitu?"

"Yah, kalian semua adalah seperangkat kemungkinan," kataku.

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, kan? Yah, basi." Ia memajang wajah kecewa. Dipikirnya, aku ini mesin pencetak quotes yang bagus buat dipamerkan bersama gambar-gambar apik di tumblr atau untuk jadi caption andalan di instagram. 

Aku tersenyum kecut, mencari kekata yang mungkin bisa memuaskan kebingungannya yang entah arahnya ke mana. Isi kepalaku mulai acak-acakan, tapi mana mungkin aku sudahi berbincangan kami tanpa kesimpulan. Sebagai orang yang sudah begitu biasa dengan curahan hati orang sekitar, aku tahu betul bahwa ketenangan tidak selalu lahir dari keterdapatan solusi atau kemunculan nasib baik dalam suatu masalah, akan tetapi kepuasan seseorang dalam mencari jawaban atas kebingungan-kebingungannya, sekalipun nihil hasilnya. Aku tidak akan membiarkan laki-laki itu pulang tanpa apa-apa.

"Gue cuma bisa ngingetin lu untuk selalu aware dengan perubahan. Perubahan selalu berdampingan dengan kemungkinan. Semakin banyak perubahan, semakin banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Lu nggak perlu memaksakan diri untuk langsung kejar gebetan lama lu sekalipun dia jelas-jelas sekarang single dan lu udah yakin dengan perasaan lu ke dia, misalnya. Lu juga jangan terlalu ambil pusing dengan sikap-sikap aneh--yang lu bilang kode--dari teman lama lu itu, selama dia belum benar-benar ngajak lu ngobrol yang terkait sama bentuk hubungan lu selama ini sama dia yang sebegitu dinamisnya dalam siklus. Lu punya pacar, dia jomblo. Lu putus, lu sadar perasaan lu ke dia, dia keburu jadian sama orang lain. Dia putus, lu udah nemu orang lain, dan seterusnya. Pikirkan kemungkinan lain kalau bisa aja lu dan dia sama-sama belum ngerti perasaan masing-masing. Belajarlah dulu, jangan kocar-kacir pengen cepet lulus. Dan lagi, happy aja lah. Lu dikelilingi begitu banyak kesempatan dan kemungkinan. Lu nggak akan kehilangan harapan. Percaya sama gue."

Habis. Aku menamatkan segala amanat basi itu padanya.

Diam, ia tercenung memandangi mok beningnya yang berembun. 

"Makin banyak pilihan, makin banyak kesempatan, makin banyak kemungkinan, makin banyak kesalahan dalam mengambil keputusan yang bisa gue lakukan, Ta. Makin banyak risiko. Itu masalahnya." Kepalanya menoleh ke arahku, sejurus kemudian merontokkan ketegaranku.

Cepat-cepat, aku cari objek lain untuk dipandangi. Matanya terlalu berbahaya untuk dinikmati terlalu lama. 

"Akan selalu buruk dan berpotensi jadi masalah kalau lu cuma liat dari sisi negatifnya. Lu lumayan jago kalau soal cari sisi positif, kan? Lebih baik daripada gue, malah..." ujarku sekenanya. Ia mengangguk, mengiyakan.

Beberapa saat dalam lamunan masing-masing, ia kembali dengan sebuah pertanyaan. 

"Ta. Kalau lu sendiri, emang nggak termasuk dalam seperangkat kemungkinan?" tanyanya polos. Pertanyaan polos yang terlalu rumit dan menjemukan untuk dijawab sampai tuntas. Aku hanya menggeleng lemas. Kemudian, matanya menagih jawaban lagi. 

Kampret, batinku lagi. 

"Bagi cewek jelek dan biasa-biasa aja kayak gue ini, yah anggaplah berbagai kemungkinan itu nggak butuh dikalkulasi. Palingan 'ntar gue dapat kejutan. Tahu-tahu, ada cowok yang menganut istilah cantik itu relatif, jelek itu nggak usah dibahas. Hahaha." Tawaku amatlah sumbang.

Ia menoleh lagi dengan lidah menjulur panjang. "Bulsit, Ta! Di luar sana, cowok-cowok memuja lu! Lu punya banyak kelebihan. Bakal cuma bikin kegeeran kalau gue mesti nyebutin satu per satu!" sergahnya dengan muka kesal. 

"Di luar itu di mana? Di planet lain?" tanyaku asal, menyadari perkataan sudah seperti diset dengan macam-macam majas.

"Ah elah lu. Di sini. Di sini, woy!!!" Wajahnya greget setengah mati, sementara telunjuk kanannya semakin keras mengetuk-ngetuk permukaan meja kami.

Entah apa yang kutahan keluar dari dalam diriku. Mungkin gelegak emosi, rasa mual, atau tawa yang terlalu aneh untuk diperdengarkan. Aku ingin diam, tapi tak sampai satu detik, bibirku melontarkan perkataan yang menggantung di tepian bibirku. "Elu maksudnya?"

Aku tahu perkataan itu tidak terlalu berarti buatnya. Ia takkan bisa merasakan pilu yang seakan membuat nyeri yang berkedut di ulu hatiku. Tapi, aku menangkap kebingungan di air mukanya sebelum akhirnya ia hanya memasang wajah jelek dengan menelengkan matanya dan memonyong-monyongkan bibirnya sampai membuatku cukup lebih rileks untuk lanjut bicara. 

"Yah, okelah, gue harus bilang, kita semua kumpulan kemungkinan, Man. Meskipun hampir nggak mungkin juga, kan, lu suka gue."

Ia mengernyitkan dahi. "Terus, kenapa lu sepesimis tadi?"

"..."

"Eh, maksudnya, kenapa lu bilang kalau lu nggak mau terlalu ngurusin kemungkinan-kemungkinan lu? Lu terkesan... nggak percaya diri, pesimis. Padahal, lu--"

"Udah kayak Mario motivator itu?"

Ia mengangguk, sepaham. 

"Dalam beberapa momen, ada kemungkinan-kemungkinan yang... semacam sama saja di mata gue. Nggak bikin gue merasa punya harapan. Kayak cuma hadir aja, gitu, nggak ngasih janji apa-apa sama gue. Gue tahu itu cuma komplemen. Pengiring kemungkinan lain. Kayak udah pasti lewat aja, nggak ngasih apa-apa. Nggak menghibur bahkan. Ah, udahlah, gue ngelantur. Sori, mungkin dari awal gue udah salah ngomong. Jangan percaya gue seutuhnya, ya. Gue.. hmm.. gue paling bingung kalau bahas sesuatu yang juga jadi permasalahan gue. Lagian, gue selow kok meskipun nggak punya partner--maksudnya, pacar, atau yah apaan lah. Nggak apa."

Laki-laki itu seperti tidak mengerti atau mungkin malah ingin membantah. Raut wajahnya menegang, seperti ingin memarahi. "Lu nggak konsisten, ah. Gimana, sih? Gue pikir, gue akan bangun besok pagi dengan kepala yang lebih segar karena lu udah bikin gue sedikit lebih selow. Eh, ternyata lu sendiri malah frustrated dan lebih nggak percaya omongan lu sendiri! Aih..."

"Gue ulangi--"

"Iya, semua juga mungkin--"

"Benar, ada banyak kemungkinan..."

"Beragam dan nggak terhitung jumlah--"

"...tapi, nilainya membedakan."

"Apa?"

"Nilainya membedakan. Ada nol koma sembilan, nol koma delapan sembilan sembilan lima, nol koma delapan sembilan sembilan empat, nol koma lima, sampai cuma nol koma nol satu. Dan, lu tahu dong nilai yang gue miliki? Gue selalu... nggak nge-pas sama..." aku menahan nyeri yang menjadi-jadi di kepala. "...sama siapapun," tuntasku.

Beberapa saat, tidak ada suara, hanya deru napasku dan dia yang seirama, mengisi hening di pojok kedai yang semakin sepi. Aku berniat mencairkan suasana dengan sebuah lelucon atau malah mencari topik lain yang bisa dibahas, tapi rasanya aku lemas dan pening teramat sangat.

"Ta, I am just wondering, is there a man who can totally understand you?" bisiknya, berusaha mencerna perbincangan kami dan segala kemelut yang dilahirkannya. 

Aku mengedikkan bahu, "I just need someone to be with, to seat along side me. For real."

Ia tersenyum sekilas. "Lu pantas dapat itu. Pasti ada. Lu nggak akan sendiri."

"Iya, dan itu bukan lu kan orangnya?" kegetiran seketika menggerogoti kerongkonganku. 

Ia tertawa kecil. "Keburu bosan dan lelah gue kebanyakan mojok dan ngelantur gini sama lu. Hahaha."

Entah ia bisa merasakan keanehan pada pada cara bicaraku atau tidak, tapi sesungguhnya aku sangat ingin diam saja, menelan habis ampas kopi yang tersisa di cangkir bahkan, seandainya bisa. Tiba-tiba saja, semua perbincangan kami terasa sebagai omong kosong belaka. 

Give up your heart left broken
And let that mistake pass on
'Cause the love that you lost
Wasn't worth what it cost
And in time you'll be glad it's gone 



Juli, 2017
Dinar Astari


Catatan
Lirik lagu di atas merupakan lirik lagu Roads Untraveled dari Linkin Park yang menjadi soundtrack film Need for Speed tahun 2014

Comments

Popular Posts