MENYAPA ENTAH SIAPA

Hai. Aku nggak tahu kamu siapa, bahkan benarkah kamu benar-benar ada atau tidak. Pembacaku? Do you really exist? Aku baru kemari sekarang, ke berandaku sendiri, bukan karena serta merta melupakan blog ini. Sumpah, aku seringkali teringat dan seperti didorong-dorong (yang juga entah oleh apa) untuk menulis di sini. Menapaki jembatan atau anak-anak tangga yang melintasi lembah memoriku—to nothingness. 

Beberapa bulan ini, terutama setelah KKN, banyak hal yang aku lakukan. Jujur, aku nggak yakin apakah semua hal tersebut aku lakukan dengan baik. Tapi, di awal aku selalu bertekad untuk sungguh-sungguh melakukannya, sekalipun saat ini, saat semuanya sudah berlalu, aku bertanya-tanya. Waktu itu, aku ngapain aja, sih? Apakah worth it? Apakah ada yang sia-sia? Apakah aku terlalu atau kurang keras sama diriku sendiri? Di sela-sela kelelahanku, aku berusaha waras dengan mengulang-ulang afirmasi dari sebagian orang di sekitarku. Mereka bilang:

"Makasih udah di sini. Aku butuh kamu."

"Kamu selalu kuatin aku. Makasih ya, Dinar."

"Jangan kemana-mana, please. Jangan tinggalin aku."

"Kamu berpikir sangat terlalu jauh. Kamu nggak seburuk yang kamu pikir dan jangan pernah ngomong seolah-olah itu semua benar."

"Aku nggak nyangka ada orang seperti kamu di dunia ini."

"Teteh selalu bikin orang yang bareng teteh ceria dan bahagia."

"Tolong, Nar. Aku harus apa? Aku capek. Aku pusing."

"Dinar yang bikin Ibu tetap kuat dan bisa bertahan."

"Makasih udah bikin bangga."

"Makasih udah selalu bertahan."

Oh, ternyata, aku nggak brengsek-brengsek amat. Bahkan, sebagian orang mencari-cari aku. Menghargai keberadaan aku yang (pastinya sama seperti manusia lainnya) fana di dunia ini. 


Ternyata, saat aku menampar-nampar mukaku sampai rahangku sakit sekitar seminggu, ada yang lebih sakit dari itu. Perasaan seseorang yang selalu ada di berbagai kejatuhan aku. 

Karena itu semua, aku sibuk. Ingin menjadi lampu, mata air, awan yang meneduhkan buat banyak orang. Aku seringkali lupa untuk menjadi seperti itu bagi diriku sendiri. 

Sejak aku jadi barista, sekalipun aku digaji sama seperti seorang pelayan karena satu dan lain hal (yang di luar kuasaku), aku belajar banyak sekali hal baru. Aku senang menggeluti bidang perkopian ini. Ternyata, lambat laun aku bisa bikin latte. Dan, setidaknya manual brewyang kubuat pun nggak mengecewakan lidahku sendiri. Mungkin aku masih anak bawang, tapi ini semua soal kegigihan dan waktu kan? 





Pekerjaan sebagai barista itu merombak tatanan kehidupan aku sehari-harinya. Aku nggak punya cukup banyak jeda dalam siklus 24 jam-ku. Tiba-tiba saja, pikiranku setiap hari adalah soal bagaimana caranya aku tetap bangun pagi untuk kuliah sekalipun aku pulang dari kedai kopi tengah malam. Bagaimana aku menghilangkan kantuk sepulang kuliah di sore hari karena aku cuma punya waktu sekitar setengah jam untuk bersiap berangkat ke kedai kopi.

Belum lagi kalau aku dapat tugas. Aku harus mengerjakannya jam berapa? Apa aku masih sanggup melek sepulang kerja? Sementara seringkali aku masuk angin di jalan, merasa ingin cepat-cepat istirahat. Apa aku harus bangun subuh? Apa aku nggak terlalu nekat? Bisa-bisa aku kebablasan tidur dan nggak sempat mengumpulkan tugas.


Oh ya, aku ada janji dengan dosen dan jadwalnya bentrok dengan shift kerjaku! Kalau aku telat, gajiku bakal dipotong. Kasihan juga rekan-rekan kerjaku kalau harus meng-handle pekerjaan di luar jam kerjanya. Tenaga kerja di kedai kopi ini masih belum terlalu memadai. Oke, aku harus reschedule dengan dosenku yang untungnya baik sekali. Lagipula, syarat bimbinganku juga masih abal-abal, belum benar-benar siap. Itung-itung membuat dosenku senang, aku bakal memperbaikinya dan menemui dia di lain hari, saat aku libur kerja. 

Hal terparah, yang sampai saat ini (dan mungkin selamanya) tidak bisa aku kisahkan pada Ibu, yaitu shift midnight-ku. Aku harus berangkat tengah malam, sekitar jam 23.00 atau 23.30 menuju kedai dan pulang sekitar jam 9 pagi keesokannya. Pernah juga aku berangkat ke kampus langsung setelah selesai shift itu, karena harus presentasi makalah pengganti UTS. 

Ibuku bukan seseorang yang mendewakan nilai, tapi tetap saja aku cukup berdebar saat menunggu nilai-nilaiku keluar pasca UAS. Jelas karena bagaimanapun juga nilai-nilai tersebut sedikit banyak akan menjadi rujukan bagi Ibu untuk menginterpretasi apakah kerja part time (yang seperti tidak part timeini) mengganggu studiku atau tidak. Beruntungnya semester 7 ini IP-ku 3,65. Ajaib, karena aku bahkan nggak sempat punya ekspektasi.

Aku sudah lama mengesampingkan novel garapanku. Bahkan, pelatihan menulis esai dari Mojok.co yang jauh-jauh kuhadiri di Ngaglik, Sleman, hanya berbuah semangat untuk melanjutkan kompetisi menulis cerita mini dari Penerbit Ellunar. Tapi, nggak apa, alhamdulillah toh aku masuk 10 judul terbaik dan 50 besar penulis pilihan mereka. Padahal, penulisan cermin itu relatif cepat, impulsif, dan mepet dengan deadline. Benar-benar sebuah berkat bagiku yang bahkan pada awalnya takut tidak punya ongkos untuk pulang-pergi Yogya.

Aku dan pacarku mendadak jadi entrepreneur gara-gara hal ini, dengan berjualan kerupuk seblak keringm walaupun 95% aku yang berhasil menjualnya. Sebenarnya, ini bukan semata-mata soal skill berjualanku yang mantap, tapi aku memang memutuskan untuk memutus urat maluku saat membawa gembolan barang dagangan itu. Kami berhasil menjual 140 bungkus kecil, yang mana itu semua terbagi ke dalam 2 gelombang penjualan, hahaha.Yang pertama, kami menjual 50 bungkus saja. Aku jajakan ke seluruh lantai kampus, bahkan kepada adik-adik tingkat dan asisten dosen yang tengah melakukan pengamatan petrografi di laboratorium. Sekitar 6 bungkus terakhir di gelombang kesatu itu kujual ke kampus sebelah, Planologi, tentu dengan beragam penolakan pada awalnya. Di gelombang kedua, aku memanfaatkan keimpulsifan maba-maba di kampusku. Jadi, penjualan lebih banyak, sementara waktu yang kumanfaatkan kurang lebih sama saja. Aku berhasil ke Yogya akhirnya. Pacarku berbaik hati menyerahkan uang modalnya untuk kubawa sebagai bekal, padahal awalnya hendak aku kembalikan. Dia cuma beri aku syarat, supaya aku di sana nggak nekat banyak jalan kaki hanya karena nggak mau sering-sering pakai ojol, plus makan makanan yang dia suka banget di sana. Jadi, bisa dibilang aku mewakilkan kaki dan mulutnya (dan juga matanya pasti!) di Yogya. Intinya, aku harus total dan maksimal membahagiakan diri di sana.

Ngomong-ngomong, sepulang dari Yogya kan aku pindah kosan. Kamarku ada di lantai 2 dan persis dekat balkon. Setiap pagi dan sore aku bisa lihat pemandangan indah karena matahari berwarna kemerahan. Tapi, sayangnya hal itu tetap nggak cukup mendorongku untuk menulis lebih banyak lagi. Aku sering kelelahan dan saat masuk kosan hanya terpikir untuk buang air, membersihkan muka, dan langsung rebahan.

Sekarang, jujur aku kangen banget menulis. Aku memutuskan vakum di akun @kerancuan_ untuk membuat tulisan-tulisan pendek, karena aku dan beberapa orang sekitar juga merasa kualitasku menurun.

Seseorang bilang padaku, ini seperti orang yang sakit tenggorokan. Ngomong terus hanya akan memperparah sakitnya. Orang itu harus bungkam dalam waktu tertentu untuk mengembalikan suaranya yang bagus. Kurasa, itu make sense. Jadi, aku 'diam' terus sampai sekarang. Aku bahkan nggak jadi untuk ikut 30 Hari Bercerita di Instagram. Aku juga merasa, sedikit banyak hal membuatku seperti dikejar setoran saat menulis.

Aku menerbitkan tulisanku dengan proses editing dan pertimbangan yang sedikit. Aku jarang mengendapkan tulisan-tulisanku (yang kubuat di sekitar bulan Agustus sampai November) dalam jangka waktu yang cukup lama.

Aku seolah ingin memuaskan hasrat pembacaku saja. Aku lupa, aku yang terlebih dahulu mesti puas oleh itu semua. 

Aku jadi mulai melunturkan kekhasanku, karena merasa hal itu kurang pas diterapkan di Instagram. Aku ragu gaya menulisku selama ini nyaman dibaca orang-orang pengguna Instagram atau nggak. Takut-takut, hal tersebut bisa merusak engagement yang sudah kubangun.

Tapi, sekarang aku berpikir ulang, memangnya itu semua buat apa? Sebagian suka, sebagian nggak suka, kan. Apa salahnya? Kenapa harus sempurna?

Benar kata orang-orang terdekatku. Aku cuma butuh menulis sebagaimana aku mau. Seekstrem apapun perubahannya, senyeleneh apapun caranya, atau seumum apapun temanya, seenggaknya itu memang aku. 

Dewi 'Dee' Lestari, penulis favoritku, yang menurutku luar biasa mengagumkan pun, tetap ada saja yang bilang karyanya nonsense dan susah dimengerti. Sekalipun saat pertama kali membaca karyanya aku melotot dan menganga saking kagumnya. 

Aku harus kembali seperti dulu, mempercayai bahwa setiap karya punya pembacanya sendiri. Tulisan-tulisanku yang sebagian orang bilang "bahasanya ketinggian" atau "majasnya kebanyakan" akan bertemu jodohnya. Orang-orang yang memang bisa dan mau memaknainya. Rasa-rasanya, perkataan ini pernah kudengar dari seseorang melalui pelatihan menulis di Mojok waktu itu.

Kapan ya, aku menulis lagi? Apa kamu bakal baca? 

Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, sampaikan ya. 

Comments

  1. http://interleaved.blogspot.com/2016/06/sebelum-aku-meninggalkan-yogya.html
    http://interleaved.blogspot.com/2019/09/cerita-mini-bertanya-pada-ampas-kopi.html
    http://interleaved.blogspot.com/2019/09/cerpen-bandung-2030.html

    Kak, kenapa ini dihapus? Padahal itu tulisan kesukaanku.

    ReplyDelete
  2. Stay strong and keep be heartworker ya kak din.

    ReplyDelete
  3. Jangan berhenti nulis ya mba. Tulisan-tulisan mu sudah menemani aku dari dulu sampai sekarang dan aku ga pernah bosan bacanya. Bahkan sesekali aku kembali lagi ke tulisan-tulisan mu yang dulu, hanya sekedar mengingat-ngingat saat pertama kali membacanya aku sedang seperti apa. Dan yang aku rasain adalah betapa aku telah banyak berubah, betapa aku yang dulu ternyata sangat mudah baper dengan tulisanmu karena teringat dengan seseorang, dan aku selalu bilang kepada diriku sendiri lihat betapa banyak yang sudah aku lalui. Lucu ya, kita baca tulisan orang lain dan tau tau menemukan diri kita sendiri yang dulu disana. Aku rasa sampai kapanpun tulisan tulisan mu selalu jadi mesin waktu yang paling nyata. Tempat aku bisa nemuin diriku sendiri dan menyapa dia disana, juga jadi cermin yang selalu bisa nampar aku kapanpun aku ngerasa gabisa lanjutin hidup kedepan. Jadi sekali lagi terimakasih dan janganlah berhenti menulis. Kamu ga tau kan diluar sana ada orang yang jadi suka nulis di blognya sendiri karena dulu pernah baca tulisan mu hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo. Makasih ya udah berkunjung ke Interleaved. Kemana aja ya aku, baru sekarang nyadar ada komen di sini? Kata-katamu bikin aku terharu :') Aku juga selalu berharap untuk nggak pernah berhenti nulis. Seenggaknya sampai sekarang aku nggak pernah berhenti, kok. Walaupun dalam berbagai bentuk, bahkan mungkin cuma catatan pendek dan nggak selalu ditaruh di blog. Sekarang aku juga share tulisan-tulisan aku di akun karya @kerancuan_ (instagram). Meet me there! Hope you're doing well. Have a great day!

      Delete
  4. Membaca tulisan ini bikin aku lega, Din, karena ternyata perasaan-perasaan semacam 'aku menulis buat siapa' nggak cuma aku sendiri yang rasain. Terima kasih sudah berbagi, ya. Aku tungguin terus kok tulisan-tulisan lainnya, dan tentu saja kalau kamu udah buat lagi, aku bakal jadi salah satu pembacanya.

    Semangat terus ya Din! Semoga bisa kembali bertemu di Bandung!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts