Sebuah Obituari: Rinjani

Ket: Mahameru (kiri), Aku, dan Rinjani (kanan) Februari 2019, 3 hari setelah kalian ulang tahun ke-21,  kita menonton film di bioskop.
Ket: Mahameru (kiri), Aku, dan Rinjani (kanan) Februari 2019,
3 hari setelah kalian ulang tahun ke-21,  kita menonton film di bioskop.

Ada dua Rinjani setidaknya sampai saat ini dalam hidupku. Rinjani pertama hanya aku tahu namanya dan Rinjani kedua kukenali banyak hal dalam dirinya. Rinjani pertama adalah sebuah gunung dan Rinjani kedua adalah seseorang—kau. Kau, yang melebur menjadi laut, bukan gunung. 

Lama aku berpikir kapan sebaiknya--maksudku, kapan aku siap--menuliskan obituari ini di sini, sebab bahkan setelah ucapan-ucapan duka itu perlahan berkurang dan akhirnya meniada, kepalaku masih setiap hari menggaungkan pertanyaan yang sama: benarkah kau sudah tak ada? Pertanyaan itu seperti menginap dalam pikiranku, muncul berulang setiap aku melakukan apa saja. Ya, setelah kau tiada, hal-hal yang biasa kulakukan setiap hari selama ini mendadak berbeda. Bahkan, bangun tidur lantas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi menjadi beberapa kali lebih sulit. 

Saat busa pasta gigi memenuhi rongga mulutku dan kedua telingaku sungguh-sungguh bisa mendengar jelas suara gesekan sikat yang menyusuri tiap lekuk gigiku, pertanyaan itu bahkan berbunyi lebih nyaring. Semakin nyaring bahkan ketika aku hendak tidur. 

Setiap hari, setelah hari itu, sesekali aku menjawab pertanyaan itu dengan tangisan yang tidak dapat dibendung, tak peduli saat itu aku sedang berjongkok untuk mengambil sebuah mangkuk di dapur. Di lain waktu, aku hanya mendengus kesal pada diriku sendiri sambil membatin "ingat, dia sudah tak ada". Tak jarang juga aku hanya diam, tertegun, seperti sedang ujian dan tiba-tiba lupa mau menuliskan apa di lembar jawaban. Namun belakangan ini, lain daripada sebelumnya, akhirnya aku tersenyum mengingatmu. Entah artinya apa, tapi tak kusangka aku bisa tersenyum menanggapi pertanyaan berulang itu di kepala. Kupikir, aku butuh waktu beberapa bulan atau beberapa tahun lagi untuk melakukannya.

Tanggal 6 Juli 2021 lalu, pukul 11.02 aku sedang merebahkan tubuh di kasur. Membolak-balikkan badan antara ingin tidur dan enggan. Selama menganggur, sejak lulus dari universitas negeri akhir Maret 2021, durasi tidurku setiap hari nyaris tak pernah kurang dari 8 atau 9 jam, sehingga hari itu, karena aku terbangun subuh-subuh kemudian kesulitan tidur sampai menjelang siang, aku nyaris melanjutkan 'ritual tidur lagi' sampai akhirnya sebuah pesan masuk. Dari kembaranmu, Mahameru.

Kabar duka: Rinjani pergi

Dengan pikiran campur aduk dan tangan gemetar aku berusaha memastikan apakah itu benar. Sebuah refleks yang seakan-akan, jika dilakukan, bisa mengubah kenyataan. Aku berharap baru saja salah paham, tapi jawaban yang kuterima sama saja: benar, Rinjani sudah pergi. Tentu, aku tidak bisa tidak menangis. Airmata bahkan sudah keluar jauh sebelum aku akhirnya sadar aku sudah menangis. Sekalipun di benakku hal itu masih tidak bisa kupercaya, nyatanya kesedihan tetap menyeruak dan secara alami, tanpa bisa kutahan barang sedetik, airmataku terus mengucur. 

Ah, Rinjani. Terlepas dari kenyataan bahwa bahwa mungkin (atau bahkan sudah pasti) ada banyak orang yang lebih terpukul oleh kenyataan hari itu, aku tidak bisa merasakan hal lain kecuali sakit hati dan kesedihan yang begitu menyesakkan dada. Aku merasa seperti ada sesuatu yang direnggut paksa dariku, tak peduli aku siap atau tidak. Ini pengalaman pertamaku dan aku berusaha untuk mencernanya. Kuharap kau memaklum, ya. 

Kau tahu apa yang selanjutnya terjadi setelah aku merasa kehilangan? Segudang ingatan tiba-tiba datang keroyokan. Mendadak, aku ingat segala hal yang--bukan kulupakan, namun--tidak setiap saat kuingat. Semuanya dimulai dari momen terdekat dengan keberangkatanmu.

6 Juli 2021 pukul 6.30 pagi kau masih mengunggah status di Whatsapp. Dua hari sebelumnya, 4 Juli 2021 kita masih mengobrol via chat. Belum genap sebulan lalu kita masih pergi dan menikmati kopi berdua di sebuah kedai dekat Stasiun Bandung. Kau bahkan mentraktirku. Menjemput dan mengantarku pulang. Di jalan, aku banyak bicara, sama seperti selama ini, sementara kau menyahut sedikit demi sedikit, berusaha fokus mengendarai motor. Kubilang, aku ingin membeli gitar. Kau bilang, menabung saja dulu dan nanti kau akan mengantarku untuk membelinya. Aku juga bilang bahwa aku butuh motor. Kau bilang, kau berencana menjual motormu padaku, jika ayahmu setuju dan tentunya jika aku punya uang yang cukup. Aku ingat semua yang kita perbincangkan di sana saat itu dan jauh ke belakang, aku pun ingat banyak detail tentangmu, sejak awal aku mengenalmu di 2011. Kisah yang ternyata amat sangat panjang jika harus dituturkan atau dikenang, walau akhirnya terasa terlalupendek ketika uasiamu berhenti di angka 23 pada 6 Juli. 

Rinjani, semua orang bersedih hari itu, tapi aku berharap, sungguh-sungguh berharap demi apapun yang ada di dunia ini, kau justru tersenyum bahagia di mana pun kau berada pada akhirnya. Aku bahkan tidak bisa menerka sedikit pun tempat yang kau tempati itu seperti apa dan terasa bagaimana. Yang pasti, aku berdoa semoga itu tempat yang nyaman, damai, dan membuat hatimu 'penuh'. Kalau pun ada yang tidak kau dapat di kehidupan singkat ini, aku harap kau pada akhirnya menerimanya di sana

Semua orang memiliki kenangan dan kesannya sendiri-sendiri dengan kau dan aku tentu saja hanya tahu apa yang kutahu. Kau paham maksudku? Aku hanya bisa mengingat apa-apa yang pernah ada di antara kita--bukan antara kau dan yang lainnya--tapi tentu saja itu sangat cukup, bahkan lebih dari cukup untuk membuatku bersyukur pernah mengenalmu. Terlebih lagi, berkesempatan untuk saling berbagi, menikmati waktu (tanpa tahu kapan berakhir), membuat kau tertawa, membuat kau kesal juga. 

Aku tidak tahu apakah aku seorang teman yang baik di matamu, tapi percayalah kau jelas seorang teman yang baik untukku. Selalu. 

Kalau di sana kau ternyata bisa mendengarku atau setidaknya mendengar apapun yang ada di sini--tempat yang baru saja kau tinggalkan--aku berharap apapun yang kau dengar membawa kau pada kesimpulan bahwa kau teramat dicintai. Saat ini, seterusnya, hanya kebaikan dan senyummu yang mengendap, terus hidup di benakku dan mereka yang lainnya. 

Aku menulis seperti ini, sepanjang ini, mungkin memberikan kesan bahwa aku seolah paling mengenal kau, padahal... entahlah. Bukan itu poinnya, kan? Inti dari semua ini adalah: ketika semua orang yang kau tinggalkan bisa bersikap sepertiku sekarang, artinya kau sebegitu luar biasanya telah menyentuh hati tiap-tiap dari kami. 

Semua orang bersepakat kau--mereka, orang-orang yang sudah pergi--tidak mungkin kembali, tapi aku mengerti kau pada akhirnya kembali. Bukan, bukan sebagai obituari, tapi sebagai eunoia. Pikiran yang baik, ingatan yang indah. Sebuah kenangan panjang. 

Terima kasih, Rinjani. Banyak hal yang kau sisakan di sini. Hadiah-hadiahmu, kotak musik, novel—yang kau beli setelah teguh menabung beberapa waktu saat SMP dulu, playlist lagu kesukaanmu, dan yang paling penting nan spesial dari semuan itu: waktu. Waktu yang sudah kau relakan dan tidak bisa dikembalikan. Waktu, yang sekalipun tak pernah kita miliki, tapi selalu hadir memberikan opsi: dengan apa dan bersama siapa kita mempergunakannya. Dan kau pernah bahkan sering melewatinya bersama kami, tanpa penyesalan. 

Terima kasih, Rinjani. Istirahatlah. Di mana pun kau terlelap sekarang, semoga kedamaian menjadi selimutnya. 

Temanmu yang menyebalkan,
Dinar. 

Catatan:
Mengenang mendiang Bagas Zhafran Rinjani Priyambodo
(13 Februari 1998 - 6 Juli 2021)

Comments

Popular Posts