PROSA WAKTU ITU



Halte renta. Lembab diselimuti hujan semalam. 
Pukul tujuh kurang. Sekurang - kurangnya. 

Sumber

(1)
Aku harus bahagia. 
Bagaimanapun juga harus bahagia. 
Sia-sia saja memaki nasib. 
Walau sarapan tak puas, walau tali sepatu terlepas-lepas.
Setiap kaki menapak, sebenarnya lelah sekali kunikmati adrenalin yang berdetak. 
Terlebih, teriknya pagi—buat keringat mengucur. 
Hingga akhirnya, dengan berat hati, aku dapat bersyukur.
Meski lama menunggu angkutan kota, toh akhirnya aku bisa duduk. 
Menuju sekolah. 

Besoknya. Mencoba sadar.


(2)
Memang tanpa kau. 
Akhir-akhir in iaku (yang sesungguhnya sudah lama sekali),   
disini seolah sendiri. 
Karena yang dicari seperti menepi. 
Yang diingini pun tak jua ditemui.
Kemana saja kau? 
Kau makin rajin berangkat pagi, atau makin santai—
karena yakin di sekolah tak akan ada lagi yang merantai?
Pojok itu terus saja kupandangi.
Memori yang berpendar sepanjang jalan, hanya bisa kuputar.

Seusai pembantaian tugas rumah.
Nyaris tengah malam. 
Bayangmu terus mengajak berbincang. 

(3)


Entah pantas atau tidak aku denganmu.
Entah perlu atau tidak, kuajak kau bicara. 
Entah senang atau lelah yang kau rasa saat ku banyak bertanya. 
Entah ingin atau tidak kau pandangi langkahku yang terpaksa mendahuluimu.

Jadi, apa alasanmu menjauhinya

Jam istirahat. Es teh manis yang sia-sia. 
Ada pahit di liurku saat seseorang bercerita tentangmu.



(4)
Kadang bodoh juga, menanyakan tentangmu 
lewat momen-momen orang lain. 
Bukankah itu hanya semakin meyakinkan diri sendiri— 
Bahwa aku tidak bisa seperti mereka? 

Menuju senja. 
Gerbang tua itu menerbangkan karat.
Suara sumbangnya mengiringi tawamu.

(5)

Kapan kiranya senyum lepas itu melengkung khusus, 
dikirim kilat untukku? 
Kelakarmu yang sering buat orang-orang 
meregang urat, ingin sekali kutanggapi tawa bebas.
Sayangnya aku belum bisa. 
Belum terlalu bisa
nimbrung nanggung.
  
H-hai.
Apa kau tersengat lompatan listrik 
mini kosmis—tanda bahagia yang meletup? 
Kecil-kecil, seperti tersedak. 
Lalu sesak, 
karena melihatmu tiba-tiba 
...
disana.

"Mau pulang? Dengan siapa? 
Denganku saja, ya."
  
Ssst… 
Aku ingin berbagi permen karamel 
untuk memaniskan siang ini. 
Melumerkan darah beku, karena diajak mengalir deras, 
mengirim oksigen-oksigen agar cerebrum-mu 
lebih lancar mencari file-file hafalan 
pelajaran.



Waktu aku pulang sendiri.
Waktu aku lihat manik itu.


(6)
Pikiran selewat (yang sebenarnya harapan).
Di pojok sana—ada mata yang mirip sekali 
dengan yang kau punya. 


Cara mendeliknya 
percis bagaimana kau biasa melakukannya.


Aku mengkhayal 
atau kurang nyali 
untuk sadar dan meyakinkan diri?


Lama setelah itu. 
Setelah aku menjahit luka yang seolah karya ciptaku sendiri.
(7)

Harap adalah kekuatan. 
Bagai pil penyembuh—walau perlahan.
Sangat perlahan. 
Sehari seperti sejam. 
Setahun seperti sebulan.
Apa yang sesungguhnya ada dalam pikiran dan batinmu; 
kalau tahu aku kelelahan?

(8)
Kalau sudah begini, aku yakin ini iri.
Sakit. 
Heran. 
Begitu terus.  

Hei. Kau tahu, tidak?
 

Comments

  1. Bagus tuh :D
    Jangan lupa kunbalnya ya :)

    http://blog-anggara.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. wahhh kereeen. kayanya dari dalem hati banget bikin puisinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, iya dari hati banget. Betul, Mas.
      Btw, Lagu Dari Hati - Club 80's sedih loh.. Donlot dan dengarkan, wkwkwk.
      Keep reading! Tengs!

      Delete
  3. Diksinya bagus, jadi gak sia-sia mampir di sini, bisa tahu diksi-diksi baru. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asik.. Alhamdulillah kalo gitu, berguna ya. Ayo kita semangaaat! Keep reading ya, tengkyu!

      Delete

Post a Comment

Popular Posts