[CERPEN] UNDER THE TREE
Dulu aku
Betty La Fea yang tak berkacamata dan tak memiliki pagar
di gigi. Yang hatinya kosong, nyaris tak normal. Membayangkan sosok lelaki hanya sebagai manusia
pertama. Tidak ada pacar, tidak juga kencan.
Ketika
orang-orang sibuk dengan kecengan, aku sibuk dengan kotretan
sin-cos-tan. Perpustakaan—rumah keduaku—adalah tempat yang tak pernah
memprotes kedatanganku.
Yang paling menyakitkan dari bersekolah
di SMA para borju bukanlah saat kita tak mampu untuk datang ke konser ekslusif atau ikut study
tour ke Eropa. Tapi saat kita mendapati diri ini sepi—terlebih kesepian.
Ares
menghela nafas—mengomeli keadaan. Di pagi yang sesejuk dan semenyenangkan itu,
di mana semestinya ia bisa dengan nyamannya tidur
di pojok kelas, ia harus harus pergi ke perpus hanya
demi menghentikan omelan gurunya yang marah karena ia tidak pernah mengerjakan tugas-tugas.
Sekali lagi, ia terpaksa.
“Sialan tuh nenek-nenek! Pagi-pagi gini udah ngerjain gue! Kebanyakan ngomel,
bisa collapse tuh ntar sore!” hujat Ares tanpa rasa bersalah.
“Vektor-vektor-vektor…” sambungnya seraya menyusuri rak-rak raksasa
di sekeliling ruangan utama.
“Jenius! Ini kan, area filsafat,” sindir seseorang dari balik rak tengah.
Setan, pikir Ares pendek.
***
Setelah berpuluh-puluh menit mengubek-ubek seisi perpus, Ares akhirnya menemukan buku
yang diminta oleh sang guru. Sebisa mungkin ia merapikan tulisan ceker gajahnya sembari membaca
kata per kata. Menuruti perintah sang guru yang berharap kali ini ia bisa menjelaskan teori dengan literatur
yang baik dan tertata. Pasalnya, meskipun ia sangat cerdas, tapi
ia sangat malas. Sudah bagus ia mengotret. “Oke… contohnya sebuah kapal—terbang dari arah timur dengan sudut kemiringan—”
“Kapal
kok, terbang?” ada interupsi dari seseorang dari arah depan.
“Kan,
kapal terbang,” Ares dengan santainya menjawab.
“Ya kalau kapal terbang,
disebutnya pesawat!” sanggahnya.
“Nah
itu nyebut kapal, kan?” sambut Ares.
“Bahasa lo nggak efektif!” komentarnya
menyebalkan.
“Perfeksionis! Sok
peduli!” hujatnya.
“Sombong!”
balasnya tak kalah.
Tiba
– tiba saja hening, lalu…
“Siapa sih
lo?!” serentak keduanya sambil menjulurkan kepala dari balik sekat pembatas.
Duak!!! Kepala
keduanya saling bertabrakan. Secara refleks mereka mengaduh dan mengelus kepala
masing-masing.
***
Pertama
kali aku melihatnya, tiba-tiba saja seperti angin menampar mukaku. Dia charming sekali.
Dan aku jadi ciut berhadapan dengannya.
Ya
Tuhan... Mengapa Kau ciptakan dia? sekonyol itulah pertanyaan tertahanku
waktu itu.
Kupikir
dia obesitas dengan bekas piercing di alis, bibir, dan telinga. Atau
setidaknya berambut jabrig tak terurus. Nyatanya aku seolah menyesal telah
mendebatnya.
Sebagai
seorang gadis keong (baca: kuper) di sekolah, aku hanya cukup sadar bahwa aku
adalah minoritas disana. The unintended invisible beast. Aku jadi
bosan mencoba menerobos rasa kikuk untuk kenal dengan cowok-cowok keren untuk
sekadar tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Naif sekali pikiranku.
Dan
cowok resek itu menatapku lekat. Aku menyerah.
***
Ares
menatap dua manik mata yang entah tegang—mungkin kesal—atau apalah itu.
Sepertinya cewek aneh itu tidak cukup siap dengan ronde dua debat
kapal terbang. Tetapi, setelah sadar bahwa mereka menjadi tontonan
menarik seluruh pengunjung perpustakaan, keduanya jadi malu.
Cewek itu segera berlari meninggalkan perpustakaan.
“Malah
lari lagi lo!” teriak Ares seraya berlari mengejar cewek itu.
Bruk!
Sekali lagi Ares menabrak, tapi kali ini sosok pria dewasa dengan muka
geram di hadapannya.
Ares
mati-matian membela diri dan terus meyakinkan sang petugas perpus akan
kesalahan cewek itu.
“Cowok
harus sportif, dong. Salah ya salah. Jangan salahkan orang lain. Bawa-bawa
siswi lagi!” omelnya sudah menyiapkan hukuman. Mampus, batin
Ares—tahu akan ada kesialan lain.
Ares
hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dengan malas ia
mengekori petugas perpustakaan tersebut ke gudang di dekat kebun sekolah, yang
keberadaannya seolah di planet antah berantah.
***
Gue
duduk bersandar pada pintu gudang dengan baju berdebu dan rambut berjaring
laba-laba. Seketika berasa menjadi Spiderman dadakan. Gue habis
ngerapiin gudang buku sekolah yang kelihatannya belum dibersihin
bertahun-tahun, atau bahkan belum pernah dibersihin sejak sekolah ini ada. Amit-amit pokoknya.
Memang,
selama ini gue nggak pernah tahu kalau sekolah gue punya gudang buku. Kelas
terdekat dari sini cuma kelas gue. Tapi gue yakin gue pasti pengunjung perdana
dari kalangan siswa se SMA yang nginjekin kaki, bahkan ngubek-ngubek seisi
gudang.
Seperti
kebanyakan gudang, gudang ini terlihat angker dengan cat terkelupas dan
tumbuhan liar di sekelilingnya. Lumut yang berkerak entah sejak zaman apa
nemplok disana. Cuma satu yang menaik perhatian gue. Pohon maple besar di
sebelah gudang. Tidak seperti di dekitar gudang, tumbuhan di sekitar pohon
maple cenderung rapi, seperti selalu dirapikan seseorang.
Ah,
nggak mungkin. Siapa juga yang mau pergi ke tempat aneh kayak gini. Tukang
kebun aja cuma nata taman, pikir gue singkat.
Gue
mencoba duduk di bawah pohon maple itu. Ternyata rumput di sekitar pohon maple
itu sangat empuk dan dedaunannya rindang, membiaskan cahaya matahari yang
hangat. Ajaib sekali tempat itu. Temaram, misterius, tapi bisa jadi menakjubkan dengan
kehadiran pohon yang daunnya menjadi lambang Negara Kanada.
Saat
sedang asik tidur, tiba-tiba gue mendengar suara dari belakang. Kedengarannya
seperti yang di perpus tadi. “Kok lo nongol lagi, sih?!”
Awalnya
gue ngira itu setan penghuni pohon maple itu. Ya, kembaran setan perpus tadi,
kali. Tapi setelah gue ngeliat ke belakang, ternyata yang datang lebih parah
dari setan. Cewek tadi!
“Lo
ngapain ke sini? Pengen gue makin sial? Jahat ya lo!” tanya gue yang masih kesel
banget sama cewek satu itu.
“Lo
kali yang jahat ngejajah wilayah gue,” balas cewek itu.
“Ceilah...
Belagak preman. Nggak cocok lo!”
Dasar
cewek aneh. Udah ngedebat nggak kira-kira, ngeloyor tiba-tiba, nanggepin
omongan gue seenaknya nggak ada raut muka. Ini cewek, apa cewek?
“Rumput
serapi ini, emang bisa cukuran sendiri? Ini perjuangan gue!”
Bener
juga, batin gue setuju.
“Ah,
lebay, ah!” sergah gue nggak pikir panjang. “Eh, tapi kenapa juga disini? Kan
banyak tempat di sekolah,” lanjut gue keheranan.
“Di
sini indah. Nyaman, bisa sendirian,” katanya yakin.
“Idih,
doyan sendirian. Ngapain aja disini? Nggak takut kemasukan, lo?”
“Bengong
aja. Nggak.”
Seketika
gue ikut bengong.
“Permisi,”
cewek itu ngibas-ngibasin kedua tangannya. Gue jadi kayak ayam nyasar.
“Sini
aja, deh, lo. Gue udah nggak bisa geser,” perintah gue nunjuk ke sebelah.
Cewek
itu nampak sungkan sebelahan dengan gue. “Yeh... Sekarang jadi ngatur-ngatur.
Keras kepala!” cewek itu akhirnya merengut. Nah, ini yang gue tunggu-tunggu.
“Lo
kali yang keras kepalanya. Nih, liat benjol gue masih ada!” sindir gue.
Rupanya sindiran itu berhasil. Muka cewek itu berubah jadi iba. Perlahan dia duduk di sebelah.
“Mm...
Maaf, dong. Ngg... soal pesawat—eh itu kejedot, beneran ngga sengaja,” mukanya
jadi memelas.
“Gapapa.
Lupain aja. Ngomong-ngomong, sayang banget tempat sebagus ini cuma dipake
bengong,” komentar gue ringan.
“Ya
emang mau ngapain lagi coba?”
“Maen game,
kek! Atau... denger musik aja.”
“Maen game bisa
di rumah. Kalau musik... Duh, musik itu berisik!”
Sebagai
seorang pemain cello profesional, tiba-tiba aja gue pengen membantah.
“Negative
thingking aja. Nggak semua musik itu berisik!”
Ia
begitu ngotot. “Musik ya musik. Berisik. Titik.”
Rasa
kesal gue yang segede gaban tiba-tiba aja beralih jadi penasaran. Gimana
caranya gue bisa ngerubah tuh cewek. Biar nggak forever alone. Biar
jiwanya nggak terlalu “kosong”. Biar dia cantikan dikit, kek, pakai senyum.
***
Aku
merasa aku sudah menanggapinya dengan kurang baik sebelumnya. Maka dari itu aku
menjaga sikap agar dia tetap bertahan disini saja. Aku mengganti gaya bicara
kamu-aku menjadi gue-lo demi tetap ngobrol. Jujur saja aku senang akan
kehadirannya.
“Nih,
nih, denger dulu musik klasik favorit gue. Komposernya buat nih lagu buat minta
maaf ke seseorang di bawah pohon, lho. Perfect banget,” cowok itu
jadi tiba-tiba promosi.
“Nothing’s
perfect,” ujarku benar, tapi salah menurutnya. Dia tak peduli. Dia begitu saja
menekan layar i-pod. Perlahan terdengar bunyi tuts-tuts piano yang lembut.
Aku tidak menolak dia memutarnya.
Lagu
itu nyaris habis. Ekspresiku sebenarnya tidak banyak berubah. Akhirnya aku
mencoba berkomentar.
“Biasa
aja. Nggak ada liriknya, lagi.”
“Namanya
juga instrumental. Lo, kok, buta musik banget?”
“Emang,”
anggukku setuju.
“Musik
klasik itu justru sebenarnya lebih tepat buat orang-orang kayak lo. Yang
punya pandangan lain soal dunia. Yang punya tempat tersendiri untuk bisa
ngerasa berarti. Anggep aja lirik musik klasik itu cerita hidup lo yang
tersembunyi,” tuturnya membuatku terperangah.
***
Sejak
saat itu aku sangat menantikan kemunculannya di sela-sela keramaian sudut-sudut sekolah. Aku ingin bertemu lagi. Kadang memohon-mohon dalam do’a dengan
berjanji kali ini ini saja. Padahal nyatanya aku tak ingin ada yang terakhir.
Aku ingin bertemu dengannya dengan hawa yang selalu segar. Selalu baru. Selalu
menarik perhatianku sendiri. Selalu seperti pertama kalinya.
Dan
Tuhan mengabulkannya. Nyaris setiap jam istirahat, setidaknya pandangan kami
bertautan. Ternyata senyumnya benar – benar menyenangkan. Aku suka. Ya, aku
suka.
Apa?
Aku—
Seketika
aku terperanjat dari lamunanku yang seenaknya saja. Seseorang mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku. Dan tak salah lagi dia yang sedari tadi
kutunggu.
“Eh—hai—kenapa?”
untuk kesekian kalinya (sejak awal pertemuan-pertemuan kami yang tak
direncanakan seperti ini) aku bertanya dengan gelagapan. Dan ia—dengan
menyebalkan—hanya nyengir tak bermakna. Aku sempat terpekur memikirkan air
mukanya yang kadang tak terduga. Tapi membuang waktu saja, bukan? Jadi lebih
baik kunikmati saja keramahannya.
“Ngelamunin
lagu ‘itu’, ya?” terkanya.
Aku
sendiri masih kurang connect dengan pertanyaannya. “Lagu apa?”
“Lagu
‘itu’…”
“Ngg…
nggak,” singkatku antara ragu atau berdusta.
Jujur
saja aku suka lagu itu sejak pertama kali kudengarkan kembali di rumah. Kuputar
berulang – ulang, tanpa henti, sampai alarm pagi pun terkalahkan alunannya.
Tapi yang lebih jujur lagi adalah—bahwasannya—tak ada yang lebih menarik untuk
dipikirkan sekarang selain dirinya.
“Wah,
payah juga gue.”
Payah
apa? Apa yang payah dari seorang Ares?
Oh
ya, sehari setelah obrolan kami di pohon maple baru kutahu namanya Ares. Dan
baru kuperkenalkan namaku, Luna.
“Okay,
tiket ini buat kamu, deh. Aku bakal ubah mindset kamu. Aku yakin aku
bisa bikin kamu jatuh cinta—”
Apa?!
“Sama
musik klasik,” sambungnya, melambatkan debar jantungku.
Berapa
harga masuknya, dimana lokasinya, bagaimana menempuh perjalanan kesana—bisa –
bisanya—tak kupikirkan. Aku cukup bahagia mendapat ajakannya. Sungguh tak sabar
menantinya.
“Prepare
your ears, change your feeling,” ujarnya seraya mundur beberapa langkah,
menenggelamkan diri di antara kerumunan yang sesak.
***
Gerutuan
itu kini menjelma menjadi lirih. Bunyi rintik hujan yang terdengar mengerikan—melunturkan
harap yang menggelembung di antara luapan bahagia.
Jika
ini mimpi, Luna berharap ia segera terbangunkan suara bel yang
tersentuh telunjuk Ares. Membujuknya turun, meninggalkan balkon yang tepat
mengarah ke gerbang rumah. Tapi jika ini kenyataan, Luna hanya
berharap ia bisa cukup kuat terjaga sampai akhirnya Ares datang
dengan “maaf, aku telat”nya yang pasti akan mengubah seonggok kekecewaan yang
mulai mengakar di dasar perasaan.
Kalaupun
konser itu takkan ada, tak apa.
***
Lagu Under
The Tree masih mengalun lembut ke sudut-sudut kamar yang kental dengan
aroma kekecewaan. Seorang gadis tertidur di lantai balkon, dengan tangan menggenggam
lemah selembar kertas kusut. Baju terusannya sedingin angin semalam. Rambutnya
berantakan—menyapu tralis yang berdebu.
Kelopak
matanya yang bengkak—sungguh berat dibuka. Air liurnya terasa pahit. Sementara
dahinya pening. Dingin menjalar ke sekujur tubuh.
Luna menghela
napas panjang dengan hidung tersumbat.
Kecewa.
Adakah diksi yang lebih mewakili perasaan Luna saat ini? Ia hanya
butuh kehadirannya semalam. Terserah buat apa.
***
Gue
keliling sekolah nyariin dia. Nyesel banget udah ngelupain janji gue sendiri.
Gue nggak nyangka dia bakal langsung ngilang hari ini (walau sebenarnya memang
jarang kelihatan).
Gue
langsung mengambil langkah seribu ke “tempat itu” dan langsung ngerasa ada yang
salah. Gue emang salah. Bodohnya, gue cuma sadar.
Setelah
menghabiskan setengah jam istirahat, akhirnya gue ketemu dia—yang
anehnya—sedang sibuk sendiri, melamun di keramaian bazaar.
Napas
gue masih nggak karuan. Tapi gue tetap berjuang buat langsung bicara saja.
“Luna, maafin gue, ya? Gue ngg... nggak maksud. Ya, gue sadar ini fatal. Lo
pasti kecewa berat,” cerocos gue nggak beraturan.
Cewek
itu hanya merunduk. Gue jadi cemas dia nggak bisa kasih maaf karena alasan basi
gue yang hanya bilang “nggak maksud.”
Gue
lanjut ngomong. “Oke, oke, gue jujur, nih. Semalaman gue cuma tidur pulas dan
nggak ingat lo sedetik pun. Tapi sumpah, Lun. Gue panik banget pas bangun. Gue
langsung buka hp, buka email, chat, semuanya! Tapi setelah itu gue baru
sadar—kita nggak pernah kontak. Gue nggak tahu harus gimana ngehubungin lo!”
nada bicara gue jadi ngotot. “Gue kecapean futsal, Lun...” lanjut gue nyesel.
Dan
gue masih aja dikacangin. Cewek satu ini sibuk menenggelamkan pikiran selama
nunduk—membiarkan gue ngos – ngosan minta diberi maaf.
“Luna...
lo marah banget, ya?” gue makin cemas.
Lama
banget gue nunggu. Tapi akhirnya perlahan Luna ngangkat kepala juga. Berat.
Terdengar isak yang bikin gue makin nggak tega.
Dan
dia nangis.
Seketika
gue kebingungan.
***
“Lun,
lo gapapa, kan?” tanya Ares dengan cemasnya. Aku sendiri tak tahu keadaanku.
Cuma perih yang terasa.
“Cuma
nggak enak badan,” jawabku singkat saja setelah tangisku reda.
“Kok
cuma? Udah minum obat?” sahutnya cepat, lalu tiba – tiba lirih. “Pasti gara-gara nungguin gue semaleman,” lanjutnya seolah bicara sendiri.
Dan
tak mungkin lagi kupungkiri hanya dialah yang kuingini. Seperih apapun batin
ini kudapati, pada akhirnya kata maaf pun cukup mengobati.
Lama
kita berdiam dalam ramai dan sibuknya orang berlalu lalang. Segelas teh manis
hangat yang Ares pesan baru sanggup kuseruput sekali saja. Aku hanya ingin
menenangkan perasaan.
“Gue
nyesel banget, Lun. Semalem harusnya gue datang biar perasaan gue juga lega,”
dia bicara lagi.
Aku
tetap diam. Perasaan apa?
“Gue
suka sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?”
Peluhku
yang dingin mengucur dari dahi ke pelipis. Aku harus bilang apa? Seorang
sepertiku mesti jawab apa?
Si
kuper akhirnya berani menatap lekat kedua matamu, Ares. Si anti sosial sedang
merangkai frasa yang sekiranya nyaman kau dengar. Ragu yang menyulut perasaanku
sebisa mungkin kukesampingkan dulu. Yang terpenting adalah kamu.
Musik
itu telah mengubahku. Menarik garis simetris antara lembah kesepian dan bukit
yang ceria. Dulu aku sendirian. Sekarang tidak lagi. Mulai sekarang tidak akan
lagi.
Aku
akan berusaha mempercayaimu lagi. Memulihkan luka hati dengan tawa yang kau
bagi. Asal kau bisa membuatku bangga pada diriku sendiri.
“Ya.”
Aku
tak percaya aku telah mengatakannya.
Aku
tak percaya tatapan hina itu kini memojokkan kita. Memojokkanku, sebenarnya.
“Lagi
ngapain lo, Res?”
“Anak
mana, nih?”
Menyakitkan.
Kuharap kamu bisa menyanggahnya seperti dulu kau menampik pendapatku habis –
habisan. Ayo, Ares!
“Ngg…
Ini… Ini Luna. T-temen, lah, guys!” ujarmu begitu saja.
“Temen?”
Bukannya
tadi aku udah bilang “ya”?
“Oh…
ngg… nggak pada kenal? Eh, kamu nggak terkenal, ya? Hehehehe…” sambungmu makin
membuatku muak.
“Res,
tadi itu apa maksudnya?”
“Ak—aku—kan iseng
aja, Lun. Biar kamu berhenti nangis,” jelasmu tak dapat kuerima.
“Sorry ganggu,
ya. Ngg… mau pada kenalan, nih?” bicaramu makin terbata – bata pada mereka. “Lun,
ngg…” kamu nampak tak keruan. Apalagi aku.
“Aku
lagi nggak bisa iseng—maaf—maksudku nggak bisa diisengin.”
Cukup.
Aku kecewa lagi.
***
Beberapa
minggu kemudian. Gue masih terjebak rasa kesal. Dan Luna—entah kemana dia.
Jika
benar kesempatan kedua itu memang ada dan tersedia saat ini juga, gue
memang sedang berjuang menggenggamnya. Dengan berbekal kejujuran, gue ingin dia tahu
yang sebenarnya.
Gue memang
terlalu pengecut. Menyesali kebodohan hanya dengan wajah kusut. Tapi sungguh,
itu karena gue terlalu takut membuat lukanya menganga makin lebar.
Biar—biar aku disini dulu sampai waktunya kubisa hilangkan raguku.
***
Tak
sengaja, kudengar sudah beberapa minggu ini Ares seringnya menghabiskan
waktu istirahat sendirian. Bukan di bazaar, apalagi perpus. Di tempat
yang orang-orang tak tahu. Sempat terbesit dalam pikirku tuk menemuinya
di pohon maple. Tapi aku takut kecewa lagi. Kecewa tak mendapatinya
disana. Atau mendapatinya bersama gadis lain disana.
Hidupku
penuh dengan rasa takut, memang. Meskipun sudah sangat luar biasa bisa bertahan
sendirian di bazaar—yang notabenenya bukanlah “wilayah”ku sejak dulu. Tapi demi
menguatkan perasaan, kulakukan apa saja.
Entah
kenapa sore ini aku tak ingin langsung pulang. Aku ingin ke pohon maple lagi.
Aku sangat merindukan harum kayu disana. Aku ingin memain-mainkan dedaunan yang
buatku adalah gulali yang lucu. Aku kehilangan separuh “diriku” sejak
melupakan tempat itu.
Aku
ingin diriku kembali “utuh”. Terlepas dari apa yang akan kudapati disana nanti.
Derap
langkahku terdengar jelas. Lorong sekolah sudah sangat hening dan dingin. Dan
benar saja—tak kutemukan ia disana.
Tubuhku
merosot perlahan. Menikmati dingin batang yang menyejukkan. Aku
terlalu lelah. Terlalu lemah. Walau sakit itu hadir lagi, setidaknya aku
puas telah berada disini.
Mataku
terpejam, napasku pun hangat dan panjang. Tapi sesuatu yang “lain” menyergap
kesunyian.
Musik.
Aku suka.
Kudengar
lagu klasik itu lama, sampai mataku dengan sendirinya berair.
“Maaf,”
seseorang dengan gemetar menyentuh pundakku.
Aku
mendapatinya. Di sampingku—tepat. Alat pemutar musik itu ia dekatkan ke
telingaku sejak tadi. Dan aku tak tahu harus pergi atau tetap disini. Aku
merindukannya.
“Kamu
mau nggak jadi pacarku lagi?” tanyanya lirih.
Sesuatu
menarik bibirku tuk sebentar saja melengkung. Mataku makin bersimbah. Aku
menyesal mendiamkannya.
“Bukannya
emang masih?”
Seketika
kulihat matanya berbinar. Aku suka itu. Aku suka dia.
Tuhan
memberikan cara terindah menghadirkan cinta. Dan Tuhan menghadiahkan cara
terindah untuk menyembuhkan luka hati.
Bandung,
30 September 2013
@AlifCo_oL dan @Ta_Nara7
Catatan:
Karya ini pernah diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen duet yang
diselenggarakan oleh DivaPress dan @Unsaku27 dengan tema "Cara Indah Tuhan Menghadirkan Cinta".
Ga tau harus ngomong apa teh.. cuma bisa senyum gimana dong..
ReplyDelete