AKU MENIKMATI HUJAN SORE INI
Seseorang
mungkin sudah menunggu postingan ini. Jadi, izinkanlah aku menjelaskan apa yang
membekas di ujung retinaku. Gambar-gambar yang nyaris putih abu—berembun—khas saat
diingat kembali.
Senin,
7 Oktober 2014.
Mungkin
semestinya aku mengatakan ini sejak dulu, tapi...ya sudahlah. Aku
menikmati hujan sore ini.
![]() |
Sumber |
Bukan berarti aku tak menikmati hujan-hujan yang dulu. Bukan. Bukan begitu maksudku. Akan tetapi, senja ini bibirku memang begitu saja merekah—sejurus setelah menyantap habis ramen bakso ikan yang sampai aku pulang pun uap dari kuahnya masih menguarkan aroma khas.
Kau tahu? Penjualnya yang baru saja menjadi seorang ayah—selalu percaya meninggalkan tenda mungilnya denganku. Lelaki muda itu menukar uang ke beberapa warung di sepanjang jalan menuju kosanku dan kembali dengan kurva yang lucu—menekan pipi bulatnya—saat aku duduk merunduk, menahan pedas yang menjalari lidah seraya sibuk mencari penghapus butut di bawah kertas-kertas kotretan. Saat itu, seketika saja aku lupa dengan segelas teh lemon yang bisa jadi penawar panas.
Bukankah itu merupakan sebuah fenomena alam yang menyenangkan? Di saat kemacetan kota menjadi alasan paling mainstream bagi orang-orang untuk mengumpat pada keadaan, berghibah antar sesama pengguna jalan, bahkan sampai menunggangi trotoar semaunya, lelaki satu ini masih saja tampak ramah, padahal jelas-jelas wajahnya sudah sangat lelah. Aku sering memergoki sepasang kelopak matanya hampir mengatup saat ia bosan menunggu air mendidih atau pasangan muda-mudi dari kampus di seberang jalan yang biasa promtime di jam-jam segitu. Maklumlah, ia banting tulang mencari nafkah. Belanja susu formula dan popok bayi bukanlah hal yang mudah.
***
Aku
menikmati hujan sore ini. Biarlah rintik-rintiknya menjadi motif polkadot yang
saru dengan warna kemeja putihku—yang kusam seperti jarang dicuci, padahal
jelas tanganku perih terlalu keras menguceknya—dan tetap tak banyak berubah.
Maka dari itu, aku tak marah saat belasan motor menerabas jalan, menyedekahkan sebagian air dari banyak kubangan di jalan setapak.
Aku mencoba pasrah.
Aku sudah cukup lelah.
Dan—ya sudahlah.
***
Mungkin
diam-diam sebuah tanda tanya menyebrangi pikiranmu, iseng bertanya mengapa aku
menikmati hujan sore ini.
Sebab karibku ada di sini. Selalu ada untuk menggenggam erat salah satu lenganku—menyeretku agar tak menghalangi lalu-lalang ojek gang sempit ini—ketika lenganku yang satu lagi mendekap setumpuk buku pelajaran.
Sebab karibku ada di sini. Selalu ada untuk menggenggam erat salah satu lenganku—menyeretku agar tak menghalangi lalu-lalang ojek gang sempit ini—ketika lenganku yang satu lagi mendekap setumpuk buku pelajaran.
Perkenalkan, karibku Angin. Sebenarnya kau tahu dia, tetapi belum menyelami kesehariannya. Di sini,
kuperkenalkan nama akrabnya: Bayu.
Mulai
sekarang, aku ingin kau juga memanggilnya Bayu, sebab menurut kami nama Bayu terdengar lebih bagus.
Oh ya, satu
yang perlu dan harus selalu kau ingat. Bayu tak pernah hilang dari siklus
hidup manusia berjuta-juta tahun lalu. Tetap setia sampai pada titik
ini untuk membuat noktah tanda persahabatan dengan kita dan di waktu-waktu senggang ia senang mencari sudut paling asik untuk membantu kita menjalankan me time di senja sepulang
ujian tengah semester.
Ia
selalu ingin lebih dalam mengenal kita.
Selalu
ingin mendekatkan kita pada kampung halamannya: langit.
Selalu
ingin mempertemukan kita pada kawan lamanya: hujan.
Dari Atas Tempat Menjemur Baju Captured by Fanny Deantri |
***
Bagiku,
nasihat Bayu adalah yang utama selain dari ayah-ibu, guru agama, wali kelas dan para sahabat. Sebab ia tidak membual. Ia selalu berkata benar, meski tak
digondol keinginan untuk diapresiasi sebagai makhluk teladan.
Bayu sanggup bicara lantang saat hiruk pikuk kota semakin sesak oleh radikal bebas. Ia mampu berbisik lembut saat aku mengantuk di pelajaran terakhir hari-hari di awal minggu. Dan ajaibnya, suaranya selalu terdengar, walau aku terlelap dalam tidur berkepanjangan.
Bayu sanggup bicara lantang saat hiruk pikuk kota semakin sesak oleh radikal bebas. Ia mampu berbisik lembut saat aku mengantuk di pelajaran terakhir hari-hari di awal minggu. Dan ajaibnya, suaranya selalu terdengar, walau aku terlelap dalam tidur berkepanjangan.
Kau juga tak boleh lupa bahwa Bayulah yang
selalu sigap mengantar jemput hujan seraya menyapaku dari kejauhan, walau beberapa
hari ini kakinya sempat kram karena hujan tak kunjung menghubunginya, sehingga akhirnya ia
hanya bisa lalu lalang dari barat ke timur Indonesia untuk mengisi waktu senggang.
Begitu seterusnya, sampai hujan membuat sebuah panggilan, ragu-ragu meminta, “jemput aku di utara kota Bandung,” katanya.
Bayu Sedang Menyberangi Genting Captured by Fanny Deabtri |
Begitu seterusnya, sampai hujan membuat sebuah panggilan, ragu-ragu meminta, “jemput aku di utara kota Bandung,” katanya.
Dan Bayu dengan sigap mengiyakan. “Apa yang tidak untuk sahabat lama,” jawabnya menyenangkan.
Oleh
karena itu aku menikmati hujan sore ini.
Karena
aku kembali menemukan ketulusan. Bayu (lagi-lagi) mengajarkanku tentang
keikhlasan. Berbuat baik tidak untuk dilihat. Rasa sayang tidak untuk dipajang.
Ketulusan—biarlah cukup dirasakan.
***
Benarlah
ini memang hujan pertama di bulan Oktober. Oleh karena itu, aku menikmatinya.
Ini
kemunculan pertama Bayu bersama penduduk langit sejak “putus” sebulan terakhir.
Mungkin mereka kehabisan kuota karena asik bermain game online—menubruk-nubrukkan awan-awan elektron, bertaruh siapa
yang benar tebakannya. Awan mana yang akan kesakitan dan menangis duluan.
Aku
menikmati hujan sore ini. Tak
peduli penduduk langit mana yang dapat hadiah atas tebakan jitunya.
Aku selalu suka hujan. Aku selalu suka berbagai hal nostalgistic yang mengundang perih—mengalihkanku dari gaya gravitasi kasur empukku, sehingga aku bangun, kemudian membuka soundcloud. Memutar musikalisasi puisi yang itu-itu saja. Terus-menerus, hingga aku terlelap berbantalkan dinding yang dingin.
Aku selalu suka hujan. Aku selalu suka berbagai hal nostalgistic yang mengundang perih—mengalihkanku dari gaya gravitasi kasur empukku, sehingga aku bangun, kemudian membuka soundcloud. Memutar musikalisasi puisi yang itu-itu saja. Terus-menerus, hingga aku terlelap berbantalkan dinding yang dingin.
Sedingin
high five hujan sore ini.
Hujan
yang mungkin bisa menjadi penutup scene bulan
September—bulan galau lokal bagiku dan seseorang lain di seberang sana. Yang
mungkin menjadi live music paling
indah bagi banyak umat manusia. Mengalahkan banyaknya populasi homo sapiens modern
yang membenci matematika hanya karena merasa bodoh tiap kali melihat hasil
ujian.
***
Aku
menikmati hujan sore ini. Betapa
tidak, kemunculannya semakin menguatkan indikasi kita semua pada hukum
kekekalan masa lampau. Pada hukum kekekalan dua sisi kehidupan. Tak lupa pula,
hukum kekekalan tawa.
Aroma
tanah basah yang mengalahkan menu favorit kopi Starbuck dan ketukan kaki anak langit di kusen jendela jelas-jelas
adalah sebuah pintu serbaguna yang selalu bisa menghantarkan kita pada puluhan
bab, ribuan halaman dan jutaan catatan kaki soal perasaan yang terpatri di kitab kenangan—yang berdiri sekuat tenaga di pojokan slot paling sibuk di sudut kepala—di
entah berantah.
Koin-koin
yang terjatuh—meluncur pada rok abu-abu-ku—tak meminta ingin mendarat dalam
posisi bagaimana. Sebab, dunia ini sesungguhnya telah mematenkan dua sisinya.
Hanya manusialah yang tak mengerti bagaimana cara menghormati keduanya. Memaknai
semua lawan kata.
Aku
menikmati hujan sore ini. Aku menahan tawa, saat berpikir tanggapanmu tentang
ceritaku ini. Apakah aku semakin “berbeda” di matamu? Atau bahkan aku menjadi
lebih normal dari yang kau sangka?
Energi mekanik 1 = Energi mekanik 2.
Jumlah tawa sore ini akan sama dengan jumlah tawa di sore-sore lainnya. Jika detik ini aku tergelak, mungkin kau mendapat giliran untuk bungkam dan hanya berkesempatan untuk tercenung—heran atas apa yang kupikirkan.
Komando
hipotalamus seketika menghentikan total usaha kalbu—menukik cepat ke arah slot
itu—membentak sebisanya:
“TIDUR!”
***
Mungkin semestinya aku tidur sekarang, tetapi
aku tak mau kalah begitu saja. Aku masih ingin bercerita bahwa aku menikmati
hujan sore ini.
Sebab aku benar-benar “hidup” kembali.
Lewat helaan napas lega yang dijinjing kuat-kuat oleh Bayu selepas magrib, mungkin aku bisa sedikit berpesan pada orang-orang pilihan, yang dengan ajaibnya “memahamiku” lebih dari diriku sendiri (mungkin).
Aku sudah baik-baik saja.
Andai
kau mau mendengar. Bayu adalah daur ulang dari bisikan perasaan yang tersapu
oleh debu keikhlasan. Dan
ketika kau sudah mengetuk keikhlasan, tunggulah kejujuran. Kejujuran
tentang kesendirian—yang hanya dapat teratasi oleh kesendirian lainnya. Seperti hujan yang
tak pernah berhenti sebelum ia turun. Langit takkan cerah jika tidak pernah
kelabu.
***
Aku
menikmati hujan sore ini. Walaupun melodinya tak sama dengan instrumen lagu-lagu
Greenday yang jelas-jelas tak mungkin bernyanyi khusus untukku. Akan tetapi, seseorang
telah menggantikan lagu itu dengan tawa yang cukup renyah suatu waktu:
“Bangun
Nar! Sudah Oktober!” ujarnya mengejutkanku.
its amazing and speechless .......terharu karena untaian katanya menyiratkan makna " Ikhlas itu milik-Nya hanya diberikan kepada orang orang terpilih..."
ReplyDeleteMasya Allah.. maaf baru nyadar ada komen di postingan ini. Makasih udah baca ya. Monggo mampir ke postingan2 lain. Semoga kita termasuk orang2 terpilih itu ya.. :) Amin.
DeleteSuka banget sama kalimat pertama aragraf terakhir. :))
ReplyDeleteHehehe.. makasih mas. Berkunjung lagi yaaa. Sorry jg baru nyadar ada komentar mas di sini :')
Delete