(CERPEN) CEMPAKA AKARSANA



Lelaki tua itu bernama Akarsana. Setidaknya itulah yang diketahui oleh para tetangganya di komplek perumahan modern yang katanya berpenduduk modern pula. Akan tetapi, entah mengapa mereka tak pernah logis dalam berpendapat, terutama pada Akarsana yang sudah renta itu.

Pada awalnya, taman yang tepat berada pada titik nol koma nol, perpotongan sumbu x dan y di komplek perumahan yang gersang ini ramai oleh anak-anak kecil. Ada yang bermain sepeda, lompat tali, kejar-kejaran, sampai bangku taman saja disulap jadi rumah saat bermain "anjang-anjangan" dengan sehelai kain gendongan bayi. Namun, saat Akarsana sampai di sana dengan sebuah sekop dan beberapa pot dengan perdu yang masih pendek-pendek di gerobaknya, keheningan seketika menggantikan riuhnya celoteh anak-anak itu. Semuanya membisu dengan air muka kaku, mengingat pesan orang tua masing-masing yang selalu mewanti-wanti untuk berhati-hati pada kakek tua jahat bernama Akarsana.

Belum sempat Akarsana menyapa, mereka menjerit histeris dan berlari ke segala penjuru, membuat gaduh para ibu. Ada yang langsung meninggalkan dapur dan membiarkan kran air terbuka, ada yang berhenti mengecat kuku, ada pula yang melempar asal baju ke dalam lemari demi membawa pulang sang anak.

Makhluk-makhluk kecil nan lucu itu semuanya hilang dari pandangan. Hanya sebuah sebuah sepeda beroda tiga yang tertinggal di sana, tak sempat terselamatkan saking paniknya atau mungkin sang ibu terlanjur asyik dengan acara infotainment kesukaannya. Entahlah.

***

Adalah hal yang biasa bagi Akarsana--dikucilkan dan diperlakukan sebagai seorang yang tak berharga, bahkan diwaspadai keberadaanya oleh para kepala keluarga yang umumnya orang kantoran--yang berpendidikan, berstrata tinggi--sebagai seorang penjudi yang bersembunyi dari kejaran para penagih hutang. Setiap kali Akarsana mencoba menyapa, mereka langsung membuang muka, curiga akan dipinjam uangnya.

Para ibu sudah kehilangan simpati sejak 10 tahun lalu, kali pertama Akarsana menginjakkan kaki di rumah cicilannya bersama almarhumah sang istri, hanya karena tak memberi hadiah perkenalan semacam bolu dan kue kering sebagai tetangga baru. Sebegitu mudahnya Akarsana dinilai tak punya sopan santun. Mereka tak tahu lelaki tua itu bahkan tak makan beberapa hari setelah sampai di rumah baru itu, saking tak punya seribu rupiah pun.

Setiap pagi, saat Akarsana menyiram berbagai tanaman di halaman rumahnya (satu-satunya) yang asri, para baby sitter selalu menghadiahinya tatapan menghujam, sebab sang majikan mencuci otak mereka bahwa Akarsana adalah pedophil.

Waktu terus melaju. Anak-anak tumbuh menjadi remaja, sebagian lagi bahkan sudah dewasa. Para orang tuanyalah yang malah menua tanpa pendewasaan berarti. Terus larut dalam pekerjaan, lupa dengan kesehatan dan lingkungan, tak peduli lagi dengan gersangnya halaman. Tak khawatir dengan udara penuh polusi yang membuat bayi-bayinya terkena flek.

Dan Akarsana tetaplah Akarsana. Lelaki yang hidup sendiri, tetapi seperti tak pernah kesepian dan tak pernah kesulitan memaknai kebahagiaan. Pohon cempaka kesenangan istrinya yang bertahun-tahun ia rawat adalah bukti apa yang sudah ia lakukan untuk bumi. Dan mencintai alam, tak perlu balasan detik ini juga. Akarsana tak pernah berubah.

Sampai suatu hari, Akarsana tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Tak pernah lagi menyapu dedaunan kering di halaman dan beranda rumahnya. Tak pernah lagi  membangunkan tetangganya dengan suara gunting rumputnya. Tak pernah lagi mengurusi pohon cempaka wangi yang ditanamnya mengelilingi taman komplek.

Kemana dia? Mungkin pertanyaan itu terbesit dalam pikiran orang-orang seisi komplek, walaupun kenyataannya mereka satu sama lain terus berpura-pura tak peduli dan jika bertemu, mereka saling mengucap sukur atas hilangnya kakek aneh itu.

"Bagus lah, komplek kita jadi aman dari penyembah pohon itu."

"Kalau dia mati, semoga saja ada yang menguburkan, ya."

Kemudian sebuah mobil Toyota Alphard hitam berhenti tepat di depan kerumunan itu. Sang supir segera keluar dan membukakan pintu untuk atasan-atasannya yang duduk di belakang.

Seorang lelaki berusia tiga puluhan dengan potongan rambut mirip Tom Cruise segera menyihir mata para ibu muda.

"Kami kemari untuk memberitahukan letak makam almarhum Bapak Akarsana."

Kemudian, senyap. Hanya debaran jantung yabg terdengar dalam kerumunan itu.

***

Jam menunjukkan pukul 6 petang, tetapi para warga komplek itu masih enggan berlalu dari pusara yang masih terlihat anyar itu. Masih terdengar isakan beberapa orang di belakang setelah seorang bocah laki-laki bertanya pada ibunya. "Jadi, kakek itu nggak jahat ya, Ma?" Mungkin ia ingin memastikan apa yang didengarnya dari para aktivis lingkungan yang datang dengan mobil mewah tadi--yang jauh lebih mengenal sosok Akarsana ketimbang orang tuanya selama ini.

"Yang berlalu biarlah menjadi pelajaran. Kini, saatnya kita menikmati dan merawat hasil jerih payah Almarhum, agar lingkungan kita--setidaknya, komplek ini--tetap terjaga keasriannya. Ikhlaskan kepergiannya, do'akan ia tenang dan bahagia di sana. Hargai jasanya dan bersihkan namanya mulai sekarang..."

Semua mengangguk setuju. Satu per satu dari mereka pun akhirnya mulai pergi meninggakan bukit pemakaman itu, berusaha memaafkan diri mereka masing-masing. Angin senja berhembus lembut--meliukkan dahan-dahan pohon cempaka yang tak pernah mereka sadari sudah sebesar dan serindang ini. Bunga-bunganya sudah bermekaran. Ada yang putih, ada juga yang kuning.

Sebagian dari mereka pun kembali menangis saat berbisik memohon maaf pada Akarsana dalam hati dan terjawab oleh harum bunga cempaka yang semerbak ke segala penjuru pemakaman, mengantarkan pesan pada mereka yang masih hidup bahwa manusia turun ke bumi untuk menjaga bahkan memperbaiki apa yang ada. Bukan merusak dan membiarkan hamparan keindahan ini lenyap secara perlahan.

Orang yang harum namanya semasa hidup, belum tentu orang benar-benar baik hati. Akan tetapi, orang yang harum namanya setelah ia tiada? Renungkanlah lagi.

***

23 Januari 2015.

Lasmi, apa kabar kau di sana? Apa kau senang aku kemari? Jangan marah ya, aku kembali lupa mengganti bunga kantil di pusaramu, karena sibuk menaburi pusara yang lain--yang tak diurus oleh keluarganya.

Lasmi, beberapa waktu lalu aku dapat banyak sekali pesanan bibit pohon cempaka. Rupanya semakin banyak orang yang ingin halaman rumahnya harum, seperti rumah kita dahulu, juga rumah kita (yang tanpa kau) di sini sekarang. Oleh karena itu, aku berangkat subuh ke pusat kota untuk mengantarkan pesanan dan pulang larut malam karena sorenya singgah dulu di Komunitas Hijau, tempatku berbagi banyak hal dengan banyak pecinta pohon lainnya sepertiku.

Lasmi, aku tak tahu uang hasil penjualan tanaman ini untuk apa. Aku tak lagi punya istri. Aku tak pernah punya anak. Aku tak punya siapa pun untuk diwarisi hartaku yang tak seberapa ini. Oleh karena itu, uang itu kupakai untuk biaya perawatan pohon cempaka di taman komplek dan di bukit pemakaman ini. 

Sekarang mereka sudah besar-besar. Apakah kau merasa lebih sejuk? Kelak, jika aku sudah satu dimensi lagi denganmu, aku bisa merasakan sejuk dan harumnya angin yang membawa aroma kantil dari bawah sana.

Lasmi, setelah membersihkan seluruh pusara di sini, aku akan pergi lama ke banyak tempat. Komunitas Hijau menunjukku sebagai perwakilan dari kategori lansia untuk ikut menanam pohon di hutan-hutan. Jangan sedih, aku pun selalu ingin pulang. Kaulah rumahku. Tempatku akan merasa nyaman dan berharga. Sekaranh, biarkan aku berbakti pada bumi ini. Hamparan keindahan yang Tuhan titipkan pada kita. Dengan begitu, lunas sudah kewajibanku.

Aku takkan membiarkan longsor merenggut banyak kehidupan orang-orang desa itu--seperti yang menimpamu. Takkan, Lasmi. Takkan..

Dan lelaki itu terus memunguti daun-daun cempaka yang berguguran bagai salju di tengah gurun. Tubuh ringkihnya tak pernah membuatnya berhenti berbuat baik pada sesama, pada alam tempatnya hidup dan belajar tentang kebesaran Tuhan.

Akarsana bernyanyi untuk mengisi kesunyiannya. 

Sendiri.

Lir-ilir, Lir-ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angonpenekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro, dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono, jlumatonokanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane , mumpung jembar kalangane
Yo surako surak iyo


Comments

  1. Indah sekali :') Esensial dan tidak biasa, aku suka!

    *bahkan ada karya digitalnya Daniel, hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uh.. makasih fia :') makasih. Berkali2 aku baca surat Akarsana untuk almh.Lasmi, aku juga jadi ingin nangis. Cerpen ini masih banyak kekurangan tp entah kenapa aku memang simpati sama tokoh yg aku bikin sendiri :'( mhn kritik dan sarannya, jgn bosan baca yaaa..

      Delete
  2. dinaaarrr. kamu makan apa sih bisa bikin cerpen keren kayak gini? ikutan bikin antologi cerpen deh. atau buat novel sekalian. seriusan. ini keren banget. pesannya bagus. dan berkelas.
    aku jadi fansmu deh. haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bang Zegaaaa. Makasih udah mampir lagi ke blog dinar, padahal lg sibuk ya? Makasih banyak bang. Awalnya cerpen ini untuk ikutan lomba nya EcoYouth dari Toyota. Tp entah kenapa servernya jelek dan nggak sampai trs naskahnya. Yah daripada dianggurin, dipost deh. Siapa tau dpt saran. Aku malah ragu pd awalnya sama cerpen ini.

      Uh... aku punya fans keren? Hihihi.

      Delete
  3. Apakah kata kata bisa bernyanyi?
    Ataukah irama irama yang bisa beraksara?

    Akarsana tak tahu itu semua,
    hanya kata yang engkau rangkai yang mampu.

    Jaga untaian rasa itu.
    Buat Akarsana bangga.

    ReplyDelete
  4. Terima kasih sudah mampir kemari. Dengan begini, kamu juga sudah buat Akarsana senang.

    Semoga aku selalu bisa mengusahakan yang terbaik. Mohon doa dan dukungannya. Jangan bosan main kemari.

    Sampai bertemu lagi.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts