CATATAN 9515: PERKARA LEDAKAN KEPALA



Kepada Awan.

Bukan maksudku membuatmu terbawa perasaan hingga mendung tak berkesudahan. Tapi aku memang bersedih, sudah sangat muak dengan semua kepura-puraan yang pada akhirnya hanya menyisakan penyesalan. Aku hanya tak kuasa menahan diri dari hal-hal yang kuinginkan.

Hai, Hujan.

Bukan maksudku membuatmu kelelahan, menjatuhkan diri dengan frekuensi tinggi dan tempo yang sama dengan nadi ini. Tapi kurasa kau memang bisa mengurangi kegundahanku. Maka turunlah, rebahkan sekujur tubuhmu di hamparan rumput. Bagunkan petrichor, buat ia semerbak masuk ke sela-sela jendela, bertapa sempurna di seluruh penjuru kamar. Menjadi dawat di dinding yang makin dingin.

Duhai, Daun yang Gugur.

Kau tahu, melepaskan diri dari tempat yang kita ingini adalah hal yang hampir saja kita pikir mustahil. Tapi kala kau menderai jauh, aku paham, semua hanya soal waktu. Aku tahu kau terkadang memang terbawa angin, tapi kiranya kau memang menghendaki. Jadi, apalagi yang mesti kuherankan. Semua memang sudah "lewat".

Oh, Lekuk Jalan Setapak yang Terhinakan.

Jangan salah sangka bila aku kadang tak memuliakanmu. Bukan berarti aku tak menganggapmu berharga. Asal kau tahu saja, meskipun kami bahkan tak pernah sama sekali berpikir untuk membuat prasasti, secara tidak langsung semua cerita yang dibalut tawa, bahkan kekonyolan-kekonyolan yang berbuah debat telah menjadi hamparan memori yang abadi. Kalaupun kami tak mengingatnya lagi, suatu saat mungkin akan datang déjà vu yang menerabas semak-semak kalbu. Mampir bagai lini, getarnya khas bak musik klasik musim semi. Hari itu, kan kutanyakan padamu dongeng manakah yang rela kau ingat atas diriku?

Bagaimana rasanya? Entahlah. Kami belum tahu.

Wahai, Debu yang merindukan Bayu.

Mungkin kau merasa teramat lemah tanpa hadirnya. Meski tak sampai hilang jati diri, tapi kiranya ada perih yang menjadi. Walau kau tak sendiri, aku paham mengapa kau merasa sepi. 

Sunyi berteman senyap,
hening berkawan dingin,
ia bersama bungkam
yang terkubur candaan.


Dan, Kau.

Hei, kau pikir aku benar-benar paham?
Aku tersenyum, sekadar memupus bingung. Ketaksaan ini agaknya terkadang membuatku limbung.

Kutanyakan padamu sekarang, bisakah kau jelaskan apa maksud garis takdir kita kau buat berpotongan?


Kurasa, tak lama lagi akan ada ledakan di kepala.
Tak butuh waktu lama untuk periuk api itu--
bum. Apa kau mendengarnya?





Keterangan:
Petrichor; suatu senyawa yang dihasilkan oleh sebagian tumbuh-tumbuhan, contohnya ilalang--yang mana akan menghasilkan harum khas setelah terguyur hujan.
Dawat; tinta.
Periuk api; ranjau.
Ketaksaan; ambiguitas; kekaburan makna suatu hal.

Comments

  1. Untuk sesaat, aku tak benar-benar mampu memahaminya.. :'

    Puisi yang bagus, Dinar :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh, trims sudah mampir ya. Maaf, mungkin kepala aku memang meledak jadi gitu deh ga jelas kata katanya. Wah, kok bilang bagus kalo ga bener 2 ngerti? Haha..

      Delete

Post a Comment

Popular Posts