KIDUNG SENDIRI





Adakah lagu cuma berupa tanya? Ah, tidak. Sesungguhnya ini juga terselip cerita. Perihal satu dua yang mungkin dilupakan. Meski tak penting, tak salah juga jikalau diingat-ingat.

Pernahkah kau pandangi langit pagi yang sesak oleh awan, menyembunyikan fajar bagai sebuah kejutan rahasia yang pada akhirnya tak kita terima? Aku pernah. Hampir--bahkan mungkin selalu--setiap hari.

Pernahkah kau ratapi guguran daun kecoklatan yang bahkan tak sempat kita kagumi saat masih kemuning, meski tak jua kita kecup saat masih hijau muda? Aku pernah. Hampir--bahkan mungkin selalu--setiap aku melihatnya jatuh.

Pernahkah kau mematung di depan sebuah komplek pemakaman? Membatin penuh lirih, barangkali tanah basah yang berupa gundukan itu baru saja mengubur orang-orang yang masih menyimpan kabar dan salam untuk kita? Aku pernah. Sesekali, lalu bersedih karenanya.

Pernahkah kau pergi ke kedai kopi hanya untuk menyesap aroma khas keheningan di saat senja menuju malam? Nekat mengorbankan jatah makan royal dari sebuah warteg dekat kosan? Aku pernah--sering, lebih tepatnya. Aku sudah "tinggal" di sudut favoritku saat bahkan muda-mudi masih sibuk dengan chatnya, saling meyakinkan bahwa satu sama lain akan datang tepat waktu ke sana. Saat para workaholic sudah menghabiskan bercangkir-cangkir espresso demi wi-fi, seolah pengiriman file bisa menyamai kecepatan cahaya. Mereka terlalu lama mengacuhkan desert pesanannya, daripada menunda obrolan dengan klien di seberang sana. Menghanguskan banyak gulungan tembakau hanya untuk membunuh kecemasan dalam persaingan tender, padahal jelas-jelas produsennya sudah bilang bahwa mereka tengah dalam proses pembunuhan atas dirinya sendiri.

Pernahkah kau merasa ada yang salah dengan helaan napas kita sekarang? Tiap molekul senyawa yang berkeliaran bebas di udara, seakan rusak oleh keluh kesah. Mereka masuk secara terpaksa, bukan karena kita ingin hidup, tetapi karena kita tak ingin mati. Alhasil, ketakutan pun menyergap bagai razia dadakan. Tak ada semangat. Tak ada antusiasme. Kau sadar apa yang tengah menguasai sekujur tubuh ini?

...

Ya, benar. Nafsu. 
Dan aku sadar, aku sering dirusak olehnya.

Pernahkah kau merasa hancur saat sebuah rencana rusak oleh sebuah keterlambatan kabar? Aku pernah--tak terhitung seberapa sering. Kalau boleh aku berhiperbola, kenyataan bagai sebuah godam raksasa dengan permukaan yang panas, licin, nan berkilat. Saat menyentuh kalbu, rasanya--ah, bayangkan saja sendiri. Seperti ada yang memanggang tubuh ini dengan teganya. Panas. Mungkin itu amarah, mungkin juga kecewa dalam versi tak biasa. Dan retakan hati itu seperti sendi yang dihantam-hantamkan pada beton. Awalnya yang kau dapati hanya memar yang indah (baca: lukisan abstrak dengan warna-warna yang bergradasi--merah jambu, hijau toska, biru gelap, juga indigo), namun lama kelamaan kau dapati dirimu kesakitan, karena terlalu lama terpukau oleh pemandangan itu, bukan cepat-cepat menyembuhkannya. Mungkin memang hakikatnya, manusia sering mengutamakan keindahan ketimbang kedamaian. Sebagaimana para raja yang berani mengambil risiko memilih banyak selir ketimbang bermonogami dan hidup tenteram dengan anggota keluarga yang sedikit.

Pernahkah kau memadamkan seluruh lampu ruangan dan hanya menyisakan cahaya lampu di meja belajar? Aku pernah--setiap kali aku merasa butuh melakukannya. Standar "butuh"ku, mungkin berbeda denganmu. Lalu kuputar lagu-lagu nostalgistic yang menyihirku dengan cerita-cerita implisitnya. Yang membungkamku dengan kemacetan dalam kepala. Terlalu banyak memoar yang terkuar, terlalu sedikit energi yang tersisa. Hingga akhirnya kita hanya bisa terkapar di sudut sana. Mungkin untuk menangisi kebodohan di waktu lampau. Mungkin juga untuk mempertanyakan alur cerita rekaan kita yang teramat stagnan. Mungkin juga, untuk kembali sekadar bertanya, apa yang salah?

Pernahkah kau mempertanyakan apa yang tidak dipertanyakan oleh orang lain? Rela disebut overthinking, bahkan dibilang terlalu peka, demi sesuatu yang berkelebat secara sembarang di ekor mata. Aku pernah. Baru-baru ini, mungkin--atau bisa jadi, dulu juga. Hanya aku yang rasa. Hanya aku yang yakini. Hanya aku yang mampu menangkapnya. Atau kau percaya aku? 

Terlalu sederhana untuk diberi label "misteri", tetapi terlalu dramatis untuk disebut sebagai sebuah kebetulan. Aku sendiri benci terlarut dalam dongeng fiksi yang menjerumuskan. Aku selalu berdo'a, semoga Tuhan membimbingku dalam kereta perjalanan ini, agar bijak sebagai seorang pembaca. Tidak menyebrangi batas antara yang nyata dan yang semu. 

Sebab pada akhirnya, setiap asumsi yang salah hanya akan menghasilkan rasa malu yang teramat menyembilu. Ah, jadi semua ini hanya akar pangkat dua dari -1?

Hah?

Iya. Akar pangkat dua dari -1.

...

Imajiner. 




'B' Coffeehouse & Eatery, 16 Agustus 2015


Comments

  1. banyak sekali pertanyaan disini :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan bukan pilihan ganda. Jadi, silakan jawab kalau mau. Kalau tidak juga, silakan jawab kapan kapan hahaha.. trims udah baca :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts