"Judge a man by his questions
rather than by his answers." -Voltaire
Aku meraba dada
sebelah kiri, merasakan detak jantung yang perlahan tapi pasti-memburu seakan
mengisyaratkan sesuatu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit.
Semestinya aku segera bersingut meninggalkan toilet yang miskin air ini karena
menunda beberapa menit saja bisa menjamin nanti kami akan pulang kemalaman.
Tapi, nyatanya,
aku masih mematung, tercenung memandangi wajahku (yang tidak banyak berubah)
dengan tatapan kosong. Samar-samar, aku hanya melihat warna kehitaman di
sekitar mata. Hal yang tak perlu kupermasalahkan sebab sudah lama ada di
sana.
Kudengar, seseorang berjalan ke arah toilet maka segera kubuka pintu. Gadis
dengan rambut terurai itu nampak sibuk dengan hidungnya yang berair. Ah, efek
musim hujan rupanya.
Tempat les masih saja ramai seperti pasar ikan. Aku bahkan sampai kesulitan
mencari seseorang yang tinggi badannya relatif di "atas".
Mana dia?
...
Dan, waw. Sudah siap rupanya.
Ia membawa ranselnya dengan sebelah tangan dan tak lama kemudian berlalu,
menerabas kerumunan orang-orang, pertanda kami memang harus segera
berangkat.
Sampai di luar, aku bertanya "Masih hujan, ya?"
Ia tidak menoleh. Sepertinya, aku memang tak perlu menanyakan apa yang sudah
kuketahui jawabannya.
Kuperhatikan ia tak membawa payung "khas"nya. Payung hitam
bertuliskan nama tempat pengiriman uang yang selalu tampak begitu siap
melindungi keluarga program KB dari hujan sederas apa pun, meski nyatanya air
langit selalu punya cara "menyentuhku", entah dengan menjadi genangan
di jalan raya yang tak sengaja kuinjak sepanjang perjalanan atau karena payung
itu tersangkut dan akhirnya aku tetap basah. Waktu itu aku pernah berlindung di
bawah payung itu, bersamanya, sudah lama sekali.
Kulihat ia mulai membuka payungnya. Warnanya sama-sama hitam, tetapi ukurannya
jauh lebih kecil.
"Cuma sebesar ini," katanya padaku.
"Nggak apa-apa," jawabku sembari mengeluarkan payung biruku dari
ransel berat ini.
Sembari menungguku merapikan isi tas, ia benar-benar tak melepaskan tatapannya
dari langit berawan ini. Malam memang sedikit nampak lebih kelam sejak kami
memasuki musim penghujan, tetapi tentu saja suasana seperti ini memberi
kehangatan lain bagi sebagian orang--dengan cara mereka sendiri tentunya.
Matanya nanar, seperti menemukan kesalahan pada bidang pandangnya.
"Don't be angry with the rain;
it simply does not know how to fall upwards," aku terkekeh setelah selesai
membuka payung.
Ia pun menoleh, menghadiahkan tatapan
versi lainnya. Aku tidak tahu tatapan apa itu, maka kulanjutkan saja, "Itu
kata Vladimir Nabokov," ujarku sambil tersenyum.
"Aku nggak ada masalah sama
hujan," katanya sambil berlalu.
Aku pun melenggang cepat, berusaha
berjalan sejajar dengannya. Langkahnya cukup lebar, aku sedikit terengah-engah
untuk menyamakan langkah.
"Kalau gitu, lipat lagi aja
payungnya," spontan kujauhkan payung dari kepalaku.
Kami berdiam, entah berapa detik
lamanya, sampai ia berjalan kembali mendahului. Aku masih diam, dengan payung
terlipat di genggaman, tak bergeming.
Ia berbalik dengan mata berkilat, tak
habis pikir.
"Kamu seriusan?" nadanya
tinggi, entah kesal atau terkejut. Sesaat, aku tak benar-benar memikirkan
reaksinya, bahkan saat payungnya benar-benar sempurna menghindarkanku dari
hujan dan justru ialah yang kini kehujanan.
Aku tertawa, balik bertanya.
"Kenapa harus bercanda?"
"Kenapa nggak?" sahutnya tak
mengalah.
Dan aku tahu, ia tak mengizinkanku
hujan-hujanan.
Kami pun kembali berjalan, cepat,
menerabas hujan dengan angin yang menggigit kulit. Sesaat, kulihat wajahnya
"mendung" lagi, bahkan menyaingi cuaca malam ini. Aku tidak tahu apa
yang "mengganggunya". Kuharap tak lama lagi akan kutemukan
jawabannya.
"Kamu mau pesen apa?"
"..."
"Eh, mau
minum apa? Nanti pesen doang,
nggak diminum."
"Kamu pilihin aja, ya. Kita samaan aja,"
jawabnya benar-benar tak mau berpikir bahkan melihat daftar menu
sekalipun.
Aku membaca
dalam hati tiap-tiap nama minuman yang--ya ampun, mereka pasti nggak se-spesial
namanya.
"Kamu mau
yang manis atau asem?"
"Bebas,"
singkatnya sembari menyalakan laptop.
"Oh...
kalau mocktail gimana? Cocok buat kamu yang lagi nggak berwarna malam
ini," usulku sedikit bercanda. Ia malah nyengir
kuda, tak menolak maupun mengiyakan. Melihat reaksi seperti itu, aku malah
makin yakin tak akan memilih minuman itu. Terlebih, kurasa ia bahkan tak tahu apa
itu mocktail.
Beberapa menit
berlalu. Kudapati matanya menerawang ke arahku yang belum juga melepaskan diri
dari daftar menu. Tatapannya seakan bertanya 'lagi ngapain sih sebenarnya?'. Oleh karena itu,
aku pura-pura tak sadar sedang diperhatikan dan malah mulai menyebut menu-menu
lain.
"Hmm... chocolate mouse? Lembut banget
ya, nggak cocok buat pesilat kayak kamu."
"..."
"Wah, ada milkshake afogatto!" my inner-goddess shouted it loudly.
"Eh, kamu kan sore tadi udah ngopi. Mana ini espresso pula...,"
lanjutku mengurungkan niat.
"..."
"Oh... smoothies segar ya? Mau banana, strawberry, atau..."
"SINI,"
tangan itu merebut buku menu dari genggamanku. Aku sudah was-was, curiga air
mukanya jadi kecut atau apa. Tapi rupanya, ia masih kalem dan malah kemudian
membaca menu. Perlahan, ia mulai tersenyum sendiri. "Kayaknya emang
mending milih sendiri. Teh tarik aja," ujarnya lembut.
Tuhan, semoga
ada hikmah di balik penghamburan waktu dengan membaca bolak-balik daftar menu,
batinku.
Pesanan sudah datang dan aku masih berkutat dengan kegelisahanku sendiri. Iya,
aku tercenung lagi. Menerawang jauh ke entah berantah--layar notebook yang kini mati. Seperti menemukan micro black hole di sana.
Pernah nggak sih kamu mikir kenapa kamu mikir?
"Pernah."
Hah?
Aku terperangah. Apa yang barusan kudengar?
Ia mengibaskan tangannya di hadapanku. "Kenapa?"
"Siapa yang tadi jawab?"
"Mikirin kenapa kita mikir?"
"I...ya..." jawabku terbata-bata.
"Aku," singkatnya.
Bleh. Kupikir, ada "sesuatu" dalam micro black hole tadi yang menjawab renunganku.
Sesaat, aku sadar aku masih menapaki dunia nyata dan harus menunda beberapa
lama lagi untuk berfantasiria di pulau kapuk.
Kemudian, hening. Kulihat, matanya matanya tak lagi berlabuh pada monitor
laptop. Kenapa?
Ia tak menjawab.
Ah, rupanya aku hanya bertanya dalam hati, tak sampai meluncur melamapui
bibirku yang mengering karena dingin.
Hujan turun
cukup deras, membuat perasaanku semakin campur aduk. Satu sisi, aku semakin
paham konsep "berdoalah dan perhatikan ketetapan manakah yang lebih tepat
untukmu". Beberapa hari lalu, aku mengikuti rangkaian salat Istisqa
(memohon turunnya hujan) sebab tanah gersang, banyak daerah kekurangan air
bersih, terlebih kabut asap yang parah melanda pulau tetangga. Giliran hujan
seperti ini, banyak orang mengeluh. Jemuran susah keringlah, jalanan macetlah,
baju cepat kotorlah, dinginlah, beceklah, semua berisikan keluhan.
Akan tetapi,
bukan itu yang kupikirkan.
Sungguh, bukan
itu yang kumaksud. Ada kegelisahan "lain" yang sayangnya tak bisa
kukonsultasikan pada seseorang. Tidak sampai akhirnya aku yakin akan
kuterjemahkan sebaik mungkin dan kubagi dengannya.
"Aku mau
tanya."
Ia menoleh,
bagai melihat tanda tanya bertebaran menyesakkan udara.
"Apa?"
"Yip yip,
terbang!" jawabku dengan wajah serius.
"Aish!"
Ia
sungguh-sungguh tersedak.
Kuperhatikan gerak-geriknya mulai
"biasa" lagi, tak sekaku tadi.
"Aku serius, Nar..." ujarnya,
berusaha meyakinkanku.
"Aku juga serius, Bung,"
sahutku dengan ekspresi penuh kesungguhan.
Dan ia malah kebingungan.
"Mm... maksudku, lempar jauh-jauh
lelucon ngeselin itu dan bertanyalah,"
tuturnya mulai greget.
Aku menghirup aroma daun mint dari strawberry mojito pesananku, berharap ada sesuatu
yang bisa membuatku lebih tenang sebelum berbicara.
Sayangnya, tidak.
"Well..., agak susah
diterangkan ya. Tahu nggak sih rasanya jadi orang yang kadang over-thinking? Terlalu... peka.
Terlalu 'ngeh sama hal-hal di sekitar yang
jangan-jangan sebenarnya cuma ilusi diri sendiri."
"Maksudnya, semacam jadi anak
indigo gitu?"
Aku menepuk jidat. "Eh, nggak gitu
juga sih. In the different way,
tentunya. Intinya sih, di saat-saat tertentu jadi sering ngerasa nggak keruan
soalnya hal-hal kecil yang orang nggak hiraukan pun kerasa banget imbasnya ke
psikologis kita..." aku berharap ia dapat menangkap maksudku.
Ia tampaknya berusaha berpikir keras.
Sambil memasukan tangan ke saku jaket hijau armynya,
kulihat ia memutar bola mata seakan mencari hidden
words di sekeliling kedai
mungil ini. Sementara itu, angin bertiup cukup kencang, membuatnya sedikit
teralihkan. Malam ini aku cuma memakai cardigan tipis. Mungkin itu sebabnya ia
jadi menatapku sesaat dengan tatapan "memerika".
"Aku rasa, itu emang bawaan
manusia. Udah dari sananya. Mikirin hal kayak gitu bisa bikin nggak bisa tidur
atau mungkin sebaliknya, jadi kelelahan sendiri sampai ketiduran," ia
bahkan belum benar-benar menjawab poin inti pertanyaanku.
Aku menunggunya bicara lagi.
"Ya, aku
rasa aku juga pernah ngerasain itu atau mungkin lagi ngerasain itu."
See.
Something went wrong with him, Guys. I knew it.
"Terlepas
dari kenyataan kalau aku sebenarnya nggak peka," sambungnya seperti
mengakui sebuah tindakan kriminal.
Haha. Aku tidak
tahu kalau lelaki kadang merasa bersalah atas ketidak acuhannya. Padahal,
perempuan juga banyak kok yang careless.
Ia membetulkan
posisi duduknya, menjadi lebih tegak. Tampaknya, ia mendapatkan sesuatu lagi
untuk diperbincangkan.
Ya. Aku yakin,
aku akan perlu berpikir dalam-dalam untuknya, sebelum mengangkat tangan dan
mengaku tak bisa memberinya jawaban segera atau bahkan mungkin tak akan pernah
memberi sama sekali.
"Apa kamu
pernah berpikir, gimana jadinya kita kalau kita 'ada' tapi nggak pernah 'terlahir'?"
See. It
happens again.
Aku memutar
otak, mencari slot kosong untuk menaruh pertanyaan ini sebab rasa-rasanya tak
mungkin bisa segera kami dapatkan jawabannya, meski tetap saja aku berusaha
memikirkannya.
"Gimana ya
rasanya?" ia benar-benar mempertanyakannya, rupanya. Aku makin yakin ia
sama sekali tak sedang bercanda apalagi membodohiku dengan menjadikan pertanyaan
tadi sebagai teka-teki lelucon yang bisa dijawab dengan jawaban 'ya jawab aja
kali, ya atau nggak'.
Desepsi murahan, solusi untuk mengakali orang yang "linglung" dengan
isi kepalanya sendiri semacam aku malam ini.
"Kayak...
misalnya kita malah ditakdirkan hidup di dunia jadi ayam, gitu? Bukan
manusia?"
Ia langsung
menyergahku. "Ayam masih terlahir, Nar!"
Ups. Kebodohan... kebodohan.
"Kukira,
maksud kamu tuh nggak terlahir sebagai manusia..." jawabku sebisa mungkin
menutupi fakta bahwa aku memang keluar dari track pembicaraan dan memang mabuk dengan pikiranku sendiri yang
kadang-kadang diselipi bayangan to
do list pekan ini untuk
memperbaiki nilai eksak ini-itu di sekolah,
Gimana
jadinya kalau kita 'ada' tapi nggak pernah 'terlahir'?
"Dan tetap
punya kesadaran," tambahnya.
Dan punya
kesadaran, batinku menambahkan kalimat baru ke slot tadi.
Gimana
jadinya kalau kita 'ada' tapi nggak pernah 'terlahir', tapi tetap punya
kesadaran?
Kurasa, aku
memang tak punya jawaban saat ini.
"Kita di
antara hidup dan mati?"
"Ya,
semacam itu..."
"Hidup dulu
atau nggak?"
"Nggak."
"Mati
jadinya?"
"Nggak."
"Terus?"
"Kita cuma
ada... dan sadar..."
Aku tersentak.
"Kok kayak Tuhan?!"
"ASTAGFIRULLAH!!!" pekiknya, mengejutakan tiga perempat orang di
teras kedai.
Aku menyerah.
"Entahlah," singkatku yang kemudian menenggelamkan wajah di antara
lipatan tangan.
***
Kupikir, jika kebersamaanku dan dia
menjadi sebuah file dalam folder sejarah kehidupan umat manusia, barangkali
cara cepat menemukan kami adalah dengan mengetik kata "tanya" setelah
menekan CTRL-F. Entah ada berapa banyak tanya selama lebih dari tujuh puluh
delapan juta delapan ratus empat puluh ribu detik yang sudah kami lewati.
Sebagian terjawab dengan alasan-alasan logis, sebagian lainnya hanya
membutuhkan waktu untuk terjawab karena salah satu dari kami hanya stuck karena terlalu terburu-buru,
sebagian lagi melahirkan jawaban sederhana oleh sebab aku panik sendiri,
sebagian "menggantung" lama di udara karena dia bersikukuh mencari
jalan lain, sebagaian lagi bahkan mungkin telah menguap dan ikut mengembun di
langit sana, turun sebagai hujan dan mengalami siklus tak berkesudahan, abadi.
Sebagian orang merasa ragu, segan,
bahkan gugup saat berhadapan dengannya terutama di saat-saat penting
membicarakan sesuatu. Ia sudah tahu perihal itu. Mereka memilih tidak ambil andil terlalu banyak dan larut
dan obrolan yang kadang akhirnya berbuah perdebatan sebagaimana yang kadang
terjadi antara dia dan mereka selama ini. Sebagian orang mungkin kapok,
menyerah dan tak pernah maju lagi untuk memulai perbincangan baru. Ada juga
yang bersembunyi sementara menyiapkan amunisi dan tiba-tiba mengerahkan
semuanya atas nama harga diri (baca: balas dendam).
Ia tahu. Ia tahu banyak orang sadar ia
amat kritis.
Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa
aku menjadi salah seorang yang berani melangkah bahkan menelusup jauh hingga
saat ini dan mungkin akhirnya ikut berenang untuk mencari jawaban,
dengannya.
Hal semacam ini mungkin dianggap remeh
oleh sebagian orang. Seperti sebuah kegiatan sia-sia yang ujung-ujungnya hanya
membuahkan keingintahuan yang semakin dalam, semakin gencar mendesak otak untuk
menyelesaikannya. Sebagian orang juga mungkin menganggap ini di luar jangkauan
mereka, sedang mereka sendiri sesungguhnya tengah berdiam, stagnan, tanpa usaha
apapun untuk mendekat dan mengenal nikmatnya berendam dalam kubangan
tanya.
Aku tak tahu pertanyaan itu berwujud
apa. Padat, cair, atau gas. Yang kutahu, kadang mereka menjadi batuan keras
yang menghantam pikiranku. Kadang begitu licin seperti liquid dan membuatku
terpeleset dalam berbagai keraguan dan kesalahpahaman. Kadang ia jadi bagian
dari udara. Aku tahu ia ada, tapi orang-orang takkan melihatnya sebab aku
menjadikannya rahasiaku sendiri, atau mungkin tanpa kusadari sebagian telah
kubagi dengan orang lain.
Hujan mulai reda. Kini, tak terdengar
lagi petir dari berbagai arah mata angin. Kilat pun tak lagi muncul di langit
hitam pekat yang menyembunyikan bulan dan bintang mungkin untuk beberapa bulan
ke depan.
Mojitoku kuteguk dengan cepat,
menyisakan beberapa helai daun mint yang tak lunglai di dasar gelas. Rasanya
aneh, tapi aku harus bertanggung jawab atas apa yang aku inginkan.
Kulihat ia sudah kembali dari kassa dan
memberi isyarat padaku untuk segera meninggalkan kedai ini karena malam sudah
mulai larut. Aku mengacungkan telunjuk, memintanya menunggu sebentar karena ada
satu buah stroberi utuh di dalam gelas yang sayang kalau kulewatkan. Aku
memasukkan stroberi itu ke dalam mulut dan kutelan segera setelah dikunyah tak
sampai lima kali.
Aku senang melihat wajahnya tak
se"mendung" tadi, meski tetap saja aku yakin ada sisa endapan bahan
pikiran yang membuatnya tak benar-benar lega. Kurasa, semua akan menjadi normal
lagi saat ia sampai di kamar dan melakukan rutinitas seperti biasa atau bahkan
semua akan terasa ringan kembali saat ia kembali memainkan RPG (role play
game)nya lagi.
"Aku ngeselin ya?"
Pertanyaan yang--ya ampun, kenapa dia
tanyakan.
"Gara-gara banyak nanya?"
Ia tak mengiyakan, tapi kurasa ada
kaitannya dengan itu.
"Soal kebanyakan nanya dan komplain
di kelas, silakan tanyakan ke guru ya. Tapi soal kebanyakan nanya yang ya...
topik-topik kayak tadi, hmm... aku rasa nggak ada limitnya deh," jawabku
serius.
Ia hanya tersenyum.
Aku lanjut bicara, "He who has a
why to live for can bear almost any how," tuturku perlahan supaya tak salah
dalam pengucapannya.
Ia tersenyum lagi, kini lebih lebar.
"Itu kata Friedrich
Nietzsche, loh, aku dapat di Goodreads, hehehe..."
Sekarang, ia
malah terkikik. "Kalau itu kata kamu pun, aku nggak akan nyanggah
kok."
Aku tersenyum
simpul, merasa lega telah menemukan cara untuk setidaknya meringankan beban di
hati. "Well, sorry for being too talkactive sometimes,"
tuturku agak malu.
"Apa?"
Ia tak jadi membuka payung.
"Nggak,"
jawabku.
Ia berusaha
membuka payungnya lagi sembari bertanya, "apa?"
Aku menggeleng,
untuk pertanyaannya dan untuk payungnya. Aku tak membiarkannya memayungiku, pun
tidak berusaha memayungi diriku sendiri.
"Aku mau
hujan-hujanan, ah!" kataku sambil berlalu.
Tak lama
kemudian, kulihat ia tak lebih dari beberapa senti di belakangku, tanpa payung.
Biarkan kita
kuyup, oleh apa yang memang seharusnya membasahi kita. Biarkan kita hidup dalam
pertanyaan yang sesungguhnya terkadang membuat kita sadar gunanya kesempatan
terlahir dan hidup kemudian berkesempatan untuk melalui kematian, tidak sekadar
ada dan sadar bahwa kita ada.
Singing in the rain
I'm singing in the rain
And it's such a fucking glorious
feeling
An unexpected downpour and I am just
giving myself into it
Because what the fuck else can you
do?
Run for cover?
Shriek and curse?
No--when the rain falls you just let it
fall and you grin like a madman
and you dance with it because if you can
make yourself happy in the rain,
then you're doing pretty alright in life
Jadi apa yang pertama kalill kaum adam lihat dari kaum hawa?
ReplyDeleteYa mukanya lah, gak mungkin kaki juga kan, terus mereka ngeliat ke bawah terus kan?
Dari"Unknown (Google)" :D
Masya-Allah, adik, sukses, pembukaannya sudah bagus banget
ReplyDelete