NOVEMBER: HUJAN TANYA

"Judge a man by his questions rather than by his answers." -Voltaire

Aku meraba dada sebelah kiri, merasakan detak jantung yang perlahan tapi pasti-memburu seakan mengisyaratkan sesuatu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Semestinya aku segera bersingut meninggalkan toilet yang miskin air ini karena menunda beberapa menit saja bisa menjamin nanti kami akan pulang kemalaman.

Tapi, nyatanya, aku masih mematung, tercenung memandangi wajahku (yang tidak banyak berubah) dengan tatapan kosong. Samar-samar, aku hanya melihat warna kehitaman di sekitar mata. Hal yang tak perlu kupermasalahkan sebab sudah lama ada di sana. 

Kudengar, seseorang berjalan ke arah toilet maka segera kubuka pintu. Gadis dengan rambut terurai itu nampak sibuk dengan hidungnya yang berair. Ah, efek musim hujan rupanya. 

Tempat les masih saja ramai seperti pasar ikan. Aku bahkan sampai kesulitan mencari seseorang yang tinggi badannya relatif di "atas". 

Mana dia? 

...

Dan, waw. Sudah siap rupanya. 

Ia membawa ranselnya dengan sebelah tangan dan tak lama kemudian berlalu, menerabas kerumunan orang-orang, pertanda kami memang harus segera berangkat. 

Sampai di luar, aku bertanya "Masih hujan, ya?"

Ia tidak menoleh. Sepertinya, aku memang tak perlu menanyakan apa yang sudah kuketahui jawabannya. 

Kuperhatikan ia tak membawa payung "khas"nya. Payung hitam bertuliskan nama tempat pengiriman uang yang selalu tampak begitu siap melindungi keluarga program KB dari hujan sederas apa pun, meski nyatanya air langit selalu punya cara "menyentuhku", entah dengan menjadi genangan di jalan raya yang tak sengaja kuinjak sepanjang perjalanan atau karena payung itu tersangkut dan akhirnya aku tetap basah. Waktu itu aku pernah berlindung di bawah payung itu, bersamanya, sudah lama sekali.

Kulihat ia mulai membuka payungnya. Warnanya sama-sama hitam, tetapi ukurannya jauh lebih kecil. 

"Cuma sebesar ini," katanya padaku.

"Nggak apa-apa," jawabku sembari mengeluarkan payung biruku dari ransel berat ini. 

Sembari menungguku merapikan isi tas, ia benar-benar tak melepaskan tatapannya dari langit berawan ini. Malam memang sedikit nampak lebih kelam sejak kami memasuki musim penghujan, tetapi tentu saja suasana seperti ini memberi kehangatan lain bagi sebagian orang--dengan cara mereka sendiri tentunya. 

Matanya nanar, seperti menemukan kesalahan pada bidang pandangnya. 

"Don't be angry with the rain; it simply does not know how to fall upwards," aku terkekeh setelah selesai membuka payung. 

Ia pun menoleh, menghadiahkan tatapan versi lainnya. Aku tidak tahu tatapan apa itu, maka kulanjutkan saja, "Itu kata Vladimir Nabokov," ujarku sambil tersenyum. 

"Aku nggak ada masalah sama hujan," katanya sambil berlalu. 

Aku pun melenggang cepat, berusaha berjalan sejajar dengannya. Langkahnya cukup lebar, aku sedikit terengah-engah untuk menyamakan langkah. 

"Kalau gitu, lipat lagi aja payungnya," spontan kujauhkan payung dari kepalaku. 

Kami berdiam, entah berapa detik lamanya, sampai ia berjalan kembali mendahului. Aku masih diam, dengan payung terlipat di genggaman, tak bergeming. 

Ia berbalik dengan mata berkilat, tak habis pikir.

"Kamu seriusan?" nadanya tinggi, entah kesal atau terkejut. Sesaat, aku tak benar-benar memikirkan reaksinya, bahkan saat payungnya benar-benar sempurna menghindarkanku dari hujan dan justru ialah yang kini kehujanan. 

Aku tertawa, balik bertanya. "Kenapa harus bercanda?" 

"Kenapa nggak?" sahutnya tak mengalah.

Dan aku tahu, ia tak mengizinkanku hujan-hujanan. 

Kami pun kembali berjalan, cepat, menerabas hujan dengan angin yang menggigit kulit. Sesaat, kulihat wajahnya "mendung" lagi, bahkan menyaingi cuaca malam ini. Aku tidak tahu apa yang "mengganggunya". Kuharap tak lama lagi akan kutemukan jawabannya. 

***

"Kamu mau pesen apa?"

"..."

"Eh, mau minum apa? Nanti pesen doang, nggak diminum."

"Kamu pilihin aja, ya. Kita samaan aja," jawabnya benar-benar tak mau berpikir bahkan melihat daftar menu sekalipun. 

Aku membaca dalam hati tiap-tiap nama minuman yang--ya ampun, mereka pasti nggak se-spesial namanya.

"Kamu mau yang manis atau asem?"

"Bebas," singkatnya sembari menyalakan laptop.

"Oh... kalau mocktail gimana? Cocok buat kamu yang lagi nggak berwarna malam ini," usulku sedikit bercanda. Ia malah nyengir kuda, tak menolak maupun mengiyakan. Melihat reaksi seperti itu, aku malah makin yakin tak akan memilih minuman itu. Terlebih, kurasa ia bahkan tak tahu apa itu mocktail. 

Beberapa menit berlalu. Kudapati matanya menerawang ke arahku yang belum juga melepaskan diri dari daftar menu. Tatapannya seakan bertanya 'lagi ngapain sih sebenarnya?'. Oleh karena itu, aku pura-pura tak sadar sedang diperhatikan dan malah mulai menyebut menu-menu lain. 

"Hmm... chocolate mouse? Lembut banget ya, nggak cocok buat pesilat kayak kamu."

"..."

"Wah, ada milkshake afogatto!" my inner-goddess shouted it loudly. "Eh, kamu kan sore tadi udah ngopi. Mana ini espresso pula...," lanjutku mengurungkan niat.

"..."

"Oh... smoothies segar ya? Mau banana, strawberry, atau..."

"SINI," tangan itu merebut buku menu dari genggamanku. Aku sudah was-was, curiga air mukanya jadi kecut atau apa. Tapi rupanya, ia masih kalem dan malah kemudian membaca menu. Perlahan, ia mulai tersenyum sendiri. "Kayaknya emang mending milih sendiri. Teh tarik aja," ujarnya lembut. 

Tuhan, semoga ada hikmah di balik penghamburan waktu dengan membaca bolak-balik daftar menu, batinku.


***

Pesanan sudah datang dan aku masih berkutat dengan kegelisahanku sendiri. Iya, aku tercenung lagi. Menerawang jauh ke entah berantah--layar notebook yang kini mati. Seperti menemukan micro black hole di sana. 

Pernah nggak sih kamu mikir kenapa kamu mikir?

"Pernah."

Hah?

Aku terperangah. Apa yang barusan kudengar?

Ia mengibaskan tangannya di hadapanku. "Kenapa?" 

"Siapa yang tadi jawab?"

"Mikirin kenapa kita mikir?"

"I...ya..." jawabku terbata-bata.

"Aku," singkatnya.

Bleh. Kupikir, ada "sesuatu" dalam micro black hole tadi yang menjawab renunganku. Sesaat, aku sadar aku masih menapaki dunia nyata dan harus menunda beberapa lama lagi untuk berfantasiria di pulau kapuk.

Kemudian, hening. Kulihat, matanya matanya tak lagi berlabuh pada monitor laptop. Kenapa?

Ia tak menjawab. Ah, rupanya aku hanya bertanya dalam hati, tak sampai meluncur melamapui bibirku yang mengering karena dingin. 

Hujan turun cukup deras, membuat perasaanku semakin campur aduk. Satu sisi, aku semakin paham konsep "berdoalah dan perhatikan ketetapan manakah yang lebih tepat untukmu". Beberapa hari lalu, aku mengikuti rangkaian salat Istisqa (memohon turunnya hujan) sebab tanah gersang, banyak daerah kekurangan air bersih, terlebih kabut asap yang parah melanda pulau tetangga. Giliran hujan seperti ini, banyak orang mengeluh. Jemuran susah keringlah, jalanan macetlah, baju cepat kotorlah, dinginlah, beceklah, semua berisikan keluhan. 

Akan tetapi, bukan itu yang kupikirkan. 

Sungguh, bukan itu yang kumaksud. Ada kegelisahan "lain" yang sayangnya tak bisa kukonsultasikan pada seseorang. Tidak sampai akhirnya aku yakin akan kuterjemahkan sebaik mungkin dan kubagi dengannya. 

"Aku mau tanya."

Ia menoleh, bagai melihat tanda tanya bertebaran menyesakkan udara. 

"Apa?" 

"Yip yip, terbang!" jawabku dengan wajah serius. 

"Aish!"

Ia sungguh-sungguh tersedak. 

Kuperhatikan gerak-geriknya mulai "biasa" lagi, tak sekaku tadi. 

"Aku serius, Nar..." ujarnya, berusaha meyakinkanku.

"Aku juga serius, Bung," sahutku dengan ekspresi penuh kesungguhan. 

Dan ia malah kebingungan. 

"Mm... maksudku, lempar jauh-jauh lelucon ngeselin itu dan bertanyalah," tuturnya mulai greget

Aku menghirup aroma daun mint dari strawberry mojito pesananku, berharap ada sesuatu yang bisa membuatku lebih tenang sebelum berbicara. 

Sayangnya, tidak. 

"Well..., agak susah diterangkan ya. Tahu nggak sih rasanya jadi orang yang kadang over-thinking? Terlalu... peka. Terlalu 'ngeh sama hal-hal di sekitar yang jangan-jangan sebenarnya cuma ilusi diri sendiri."

"Maksudnya, semacam jadi anak indigo gitu?"

Aku menepuk jidat. "Eh, nggak gitu juga sih. In the different way, tentunya. Intinya sih, di saat-saat tertentu jadi sering ngerasa nggak keruan soalnya hal-hal kecil yang orang nggak hiraukan pun kerasa banget imbasnya ke psikologis kita..." aku berharap ia dapat menangkap maksudku. 

Ia tampaknya berusaha berpikir keras. Sambil memasukan tangan ke saku jaket hijau armynya, kulihat ia memutar bola mata seakan mencari hidden words di sekeliling kedai mungil ini. Sementara itu, angin bertiup cukup kencang, membuatnya sedikit teralihkan. Malam ini aku cuma memakai cardigan tipis. Mungkin itu sebabnya ia jadi menatapku sesaat dengan tatapan "memerika". 

"Aku rasa, itu emang bawaan manusia. Udah dari sananya. Mikirin hal kayak gitu bisa bikin nggak bisa tidur atau mungkin sebaliknya, jadi kelelahan sendiri sampai ketiduran," ia bahkan belum benar-benar menjawab poin inti pertanyaanku. 

Aku menunggunya bicara lagi.

"Ya, aku rasa aku juga pernah ngerasain itu atau mungkin lagi ngerasain itu."

See. Something went wrong with him, Guys. I knew it.

"Terlepas dari kenyataan kalau aku sebenarnya nggak peka," sambungnya seperti mengakui sebuah tindakan kriminal. 

Haha. Aku tidak tahu kalau lelaki kadang merasa bersalah atas ketidak acuhannya. Padahal, perempuan juga banyak kok yang careless

Ia membetulkan posisi duduknya, menjadi lebih tegak. Tampaknya, ia mendapatkan sesuatu lagi untuk diperbincangkan. 

Ya. Aku yakin, aku akan perlu berpikir dalam-dalam untuknya, sebelum mengangkat tangan dan mengaku tak bisa memberinya jawaban segera atau bahkan mungkin tak akan pernah memberi sama sekali. 

"Apa kamu pernah berpikir, gimana jadinya kita kalau kita 'ada' tapi nggak pernah 'terlahir'?"

See. It happens again

Aku memutar otak, mencari slot kosong untuk menaruh pertanyaan ini sebab rasa-rasanya tak mungkin bisa segera kami dapatkan jawabannya, meski tetap saja aku berusaha memikirkannya. 

"Gimana ya rasanya?" ia benar-benar mempertanyakannya, rupanya. Aku makin yakin ia sama sekali tak sedang bercanda apalagi membodohiku dengan menjadikan pertanyaan tadi sebagai teka-teki lelucon yang bisa dijawab dengan jawaban 'ya jawab aja kali, ya atau nggak'. Desepsi murahan, solusi untuk mengakali orang yang "linglung" dengan isi kepalanya sendiri semacam aku malam ini. 

"Kayak... misalnya kita malah ditakdirkan hidup di dunia jadi ayam, gitu? Bukan manusia?"

Ia langsung menyergahku. "Ayam masih terlahir, Nar!"

Ups. Kebodohan... kebodohan. 

"Kukira, maksud kamu tuh nggak terlahir sebagai manusia..." jawabku sebisa mungkin menutupi fakta bahwa aku memang keluar dari track pembicaraan dan memang mabuk dengan pikiranku sendiri yang kadang-kadang diselipi bayangan to do list pekan ini untuk memperbaiki nilai eksak ini-itu di sekolah, 

Gimana jadinya kalau kita 'ada' tapi nggak pernah 'terlahir'?

"Dan tetap punya kesadaran," tambahnya.

Dan punya kesadaran, batinku menambahkan kalimat baru ke slot tadi

Gimana jadinya kalau kita 'ada' tapi nggak pernah 'terlahir', tapi tetap punya kesadaran?

Kurasa, aku memang tak punya jawaban saat ini. 

"Kita di antara hidup dan mati?"

"Ya, semacam itu..."

"Hidup dulu atau nggak?"

"Nggak."

"Mati jadinya?"

"Nggak."

"Terus?"

"Kita cuma ada... dan sadar..."

Aku tersentak. "Kok kayak Tuhan?!"

"ASTAGFIRULLAH!!!" pekiknya, mengejutakan tiga perempat orang di teras kedai. 

Aku menyerah. "Entahlah," singkatku yang kemudian menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan. 

***

Kupikir, jika kebersamaanku dan dia menjadi sebuah file dalam folder sejarah kehidupan umat manusia, barangkali cara cepat menemukan kami adalah dengan mengetik kata "tanya" setelah menekan CTRL-F. Entah ada berapa banyak tanya selama lebih dari tujuh puluh delapan juta delapan ratus empat puluh ribu detik yang sudah kami lewati. Sebagian terjawab dengan alasan-alasan logis, sebagian lainnya hanya membutuhkan waktu untuk terjawab karena salah satu dari kami hanya stuck karena terlalu terburu-buru, sebagian lagi melahirkan jawaban sederhana oleh sebab aku panik sendiri, sebagian "menggantung" lama di udara karena dia bersikukuh mencari jalan lain, sebagaian lagi bahkan mungkin telah menguap dan ikut mengembun di langit sana, turun sebagai hujan dan mengalami siklus tak berkesudahan, abadi.

Sebagian orang merasa ragu, segan, bahkan gugup saat berhadapan dengannya terutama di saat-saat penting membicarakan sesuatu. Ia sudah tahu perihal itu. Mereka memilih tidak ambil andil terlalu banyak dan larut dan obrolan yang kadang akhirnya berbuah perdebatan sebagaimana yang kadang terjadi antara dia dan mereka selama ini. Sebagian orang mungkin kapok, menyerah dan tak pernah maju lagi untuk memulai perbincangan baru. Ada juga yang bersembunyi sementara menyiapkan amunisi dan tiba-tiba mengerahkan semuanya atas nama harga diri (baca: balas dendam). 

Ia tahu. Ia tahu banyak orang sadar ia amat kritis. 

Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa aku menjadi salah seorang yang berani melangkah bahkan menelusup jauh hingga saat ini dan mungkin akhirnya ikut berenang untuk mencari jawaban, dengannya. 

Hal semacam ini mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang. Seperti sebuah kegiatan sia-sia yang ujung-ujungnya hanya membuahkan keingintahuan yang semakin dalam, semakin gencar mendesak otak untuk menyelesaikannya. Sebagian orang juga mungkin menganggap ini di luar jangkauan mereka, sedang mereka sendiri sesungguhnya tengah berdiam, stagnan, tanpa usaha apapun untuk mendekat dan mengenal nikmatnya berendam dalam kubangan tanya. 

Aku tak tahu pertanyaan itu berwujud apa. Padat, cair, atau gas. Yang kutahu, kadang mereka menjadi batuan keras yang menghantam pikiranku. Kadang begitu licin seperti liquid dan membuatku terpeleset dalam berbagai keraguan dan kesalahpahaman. Kadang ia jadi bagian dari udara. Aku tahu ia ada, tapi orang-orang takkan melihatnya sebab aku menjadikannya rahasiaku sendiri, atau mungkin tanpa kusadari sebagian telah kubagi dengan orang lain. 

Hujan mulai reda. Kini, tak terdengar lagi petir dari berbagai arah mata angin. Kilat pun tak lagi muncul di langit hitam pekat yang menyembunyikan bulan dan bintang mungkin untuk beberapa bulan ke depan. 

Mojitoku kuteguk dengan cepat, menyisakan beberapa helai daun mint yang tak lunglai di dasar gelas. Rasanya aneh, tapi aku harus bertanggung jawab atas apa yang aku inginkan. 

Kulihat ia sudah kembali dari kassa dan memberi isyarat padaku untuk segera meninggalkan kedai ini karena malam sudah mulai larut. Aku mengacungkan telunjuk, memintanya menunggu sebentar karena ada satu buah stroberi utuh di dalam gelas yang sayang kalau kulewatkan. Aku memasukkan stroberi itu ke dalam mulut dan kutelan segera setelah dikunyah tak sampai lima kali. 

Aku senang melihat wajahnya tak se"mendung" tadi, meski tetap saja aku yakin ada sisa endapan bahan pikiran yang membuatnya tak benar-benar lega. Kurasa, semua akan menjadi normal lagi saat ia sampai di kamar dan melakukan rutinitas seperti biasa atau bahkan semua akan terasa ringan kembali saat ia kembali memainkan RPG (role play game)nya lagi. 

"Aku ngeselin ya?"

Pertanyaan yang--ya ampun, kenapa dia tanyakan.

"Gara-gara banyak nanya?"

Ia tak mengiyakan, tapi kurasa ada kaitannya dengan itu. 

"Soal kebanyakan nanya dan komplain di kelas, silakan tanyakan ke guru ya. Tapi soal kebanyakan nanya yang ya... topik-topik kayak tadi, hmm... aku rasa nggak ada limitnya deh," jawabku serius. 

Ia hanya tersenyum. 

Aku lanjut bicara, "He who has a why to live for can bear almost any how," tuturku perlahan supaya tak salah dalam pengucapannya. 

Ia tersenyum lagi, kini lebih lebar.

"Itu kata Friedrich Nietzsche, loh, aku dapat di Goodreads, hehehe..."

Sekarang, ia malah terkikik. "Kalau itu kata kamu pun, aku nggak akan nyanggah kok."

Aku tersenyum simpul, merasa lega telah menemukan cara untuk setidaknya meringankan beban di hati. "Well, sorry for being too talkactive sometimes," tuturku agak malu. 

"Apa?" Ia tak jadi membuka payung.

"Nggak," jawabku. 

Ia berusaha membuka payungnya lagi sembari bertanya, "apa?"

Aku menggeleng, untuk pertanyaannya dan untuk payungnya. Aku tak membiarkannya memayungiku, pun tidak berusaha memayungi diriku sendiri. 

"Aku mau hujan-hujanan, ah!" kataku sambil berlalu. 

Tak lama kemudian, kulihat ia tak lebih dari beberapa senti di belakangku, tanpa payung.

Biarkan kita kuyup, oleh apa yang memang seharusnya membasahi kita. Biarkan kita hidup dalam pertanyaan yang sesungguhnya terkadang membuat kita sadar gunanya kesempatan terlahir dan hidup kemudian berkesempatan untuk melalui kematian, tidak sekadar ada dan sadar bahwa kita ada.  


Singing in the rain
I'm singing in the rain
And it's such a fucking glorious feeling 
An unexpected downpour and I am just giving myself into it 
Because what the fuck else can you do? 
Run for cover? 
Shriek and curse? 
No--when the rain falls you just let it fall and you grin like a madman 
and you dance with it because if you can make yourself happy in the rain, 
then you're doing pretty alright in life 
-David Levithan, Nick & Norah's Infinite Playlist





Catatan:
Sekali lagi, ini hanya fiksi. Jika ada kata-kata yang relatif aneh atau bahkan tidak rasional, mohon jangan dibawa ke penjara. Biarkan mereka melebur di tanah, ikut mengalir ke sungai, menguap di laut dan jadi hujan saja. 





Comments

  1. Jadi apa yang pertama kalill kaum adam lihat dari kaum hawa?
    Ya mukanya lah, gak mungkin kaki juga kan, terus mereka ngeliat ke bawah terus kan?

    Dari"Unknown (Google)" :D

    ReplyDelete
  2. Masya-Allah, adik, sukses, pembukaannya sudah bagus banget

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts