DEPARTURE II



Bagian 2
Secangkir Kopi yang Membuatku Menangis

Aku ingat kau pernah menganalogikan matahari, hujan, kebahagiaan, dan kesakitan. Katamu, saat pagi, matahari kadang terlalu terik, amat bersemangat memancarkan sinarnya. Langit kepanasan, jadi sorenya ia menyerah, lalu mendung, dilanjut hujan deras tak tertahankan. Kita--manusia-manusia munafik yang cinta pembelaan--kadang-kadang suka terlalu berbahagia, sulit mengontrol diri, lupa berjaga-jaga. Hingga akhirnya teramat kesakitan kala terluka.

Kini, tak peduli soal berjaga-jaga. Aku, kau, kita, adalah keping-keping kegagalan yang melayang-layang, berserah diri pada angin sembari berpikir. Kau berpikir tentang kepergianmu dan aku berpikir tentang hidupku nanti tanpamu. Kelak, kita akan mendarat di tempat berbeda. Kau memilih merantau lebih jauh lagi, sementara aku memastikan diri bisa kembali dan sebisanya mendengungkan alamat rumah untukmu kembali pulang. Persetan soal antisipasi. Jelas-jelas aku sudah kehilangan durasi.

Barangkali saja kau akhirnya bisa berubah pikiran.

Kau memang senang membubuhkan jeda, menarik jarak saat kaupersilakan aku mendekat. Kau mencipta selisih, melahirkan celah, padahal jelas kau yang membawaku ke dalam bentalamu. Kau mau aku meninggalkanmu saat kau malah mematung di tempat, memerhatikan punggungku sampai samar dilihatmu. Kau takhlik dirimu menjadi sesuatu yang dengan cara apapun, atas alasan apapun, dapat terus bersemayam tenang dalam benakku, sebagai ukiran yang terpatri jelas. Dengan sedikit mengingat saja, ukiran itu mencipta khayal, memutar balik waktu, memastikan aku melihat dengan jelas lagi dan lagi apa-apa yang sudah pernah kita lewati. Bagai tanda lahir yang bahkan kalau disetrika pun malah semakin jelas rupanya, hanya saja menyisakan perih yang mulai saat itu mengajarkanku untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak coba-coba lagi untuk berusaha menghilangkan jejak, melainkan belajar ikhlas dan tabah saja. 

Sialan. 

"Aku adalah matahari, tak peduli seberapa tak tertariknya kau pada terikku. Yang jelas, kau cinta hujan dan kau amat mendambanya. Coba pikirkan lagi, sejak kapan bisa turun hujan tanpa pernah matahari memancarkan sinarnya terlebih dahulu? Bagaimana bisa kau bersamaku tanpa sebelumnya bertemu dulu?" katamu, "Mana mungkin bisa kau melupakanku sebelum kau sempat mengingatku?"

***

Malam minggu kali ini, toko buku tidak seramai biasanya. Kulihat orang-orang berlalu lalang dengan bebasnya, tak terikat dengan siapa pun di sudut-sudut lantai ini.

Aku menyusuri satu demi satu rak buku, berharap menubruk sebidang punggung berbalut jaket jins biru, sebuah pertanda nyaring bahwa khayalanku tentang keberadaanmu bukan sekadar skenario ala diriku, namun memang kenyataan yang alam transmisikan menjadi kode alami sebagai informasi berkelajuan tinggi yang berloncatan antar neuron otakku, menggiringku datang kemari. Tapi, bahkan sepertinya tak satu pun laki-laki berbalik badan untukku. Mereka semua—percaya atau tidak—membaca buku dengan posisi serupa, menghadapku. Oleh karena itu, tentu dengan mudah kusimpulkan, kau tak ada di situ.

Kutunggu lagu sendu terputar, tapi yang muncul malah lagu-lagu sarkas dengan lirik penuh sindiran. Tentang kebungkaman, keengganan hati untuk mengaku, bahkan segenggam harap yang dikuburhidup-hidup.

Ah, semua memihakku—maksudnya, tak memahami sulitnya jadi aku. 

Terdamparlah aku dengan tangan bergenggamkan buku. 

Napasku memburu, mataku mengabur, lidahku kelu. 

Beginikah rasanya memaksakan sesuatu? 

Beginikah rasanya memalingkan wajah dari sesuatu yang begitu ditunggu?

Aku memaksakkan diri untuk berhenti mengabari, mulai menjauhi, menghindarkan diri, dan menikmati kesendirian ini sembari diam-diam masih berharap kau sesekali memastikan aku baik-baik saja di sini mempersiapkan perpisahan yang seakan kaucita-citakan. 

Aku memalingkan wajah dari rupamu yang sekarang ini cuma seperti bintang jatuh. Muncul tak diduga, membuang waktu jika didamba. Sekalinya ada, melesat pesat, menggores permukaan kulitku yang sedingin malam musim penghujan, membuat perih. 

Entah untuk alasan apa, lagi-lagi aku mengenangmu. 

Dan, ini cangkir keduaku. Tidak, aku tidak minum tequila apalagi martini. Bukan, aku bukan pecandu Amanita sp. yang dipanen dari taik sapi itu. Aku cuma minum kopi, meski sudah dua kali. Aku sendiri, tidak dengan siapa-siapa. Di kamar, tidak ke kedai. 

Haha. Rasanya, berat untukku pergi ke kedai kopi sejak aku tahu kau tengah sibuk berkemas untuk perpisahan yang kaujanjikan tanggalnya tanpa pernah bertanya bagaimana jika aku keberatan. Aku tidak berhenti minum kopi, sebagaimana yang kauketahui. Aku hanya tidak sanggup harus menerima berbagai tikaman gaib yang menyakitkan tiap kali mataku singgah pada pemandangan-pemandangan yang terlalu "kau".

"Belum pernah kemari?" kau terdengar terkejut saat kubilang aku belum pernah mengunjungi satu kedai kopi pun. "Pecinta kopi harus pernah ngopi di kedai, dong. Setidaknya, sekali seumur hidup!" lanjutmu penuh semangat, dalam sekejap membuatku menyesali keudikkanku ini.

"Aku tak pernah bilang aku pecinta kopi. Aku... cuma penggemar? Pengagum?" balasku ragu.

Kau tertawa kecil, lalu berhenti berjalan seraya menoleh. "Kalau... aku? Dikagumi atau dicintai?"

Saat itu, entah bagaimana wajahku bersemu, yang jelas tak kujawab dirimu barang sepatah kata pun. Bagaimana bisa kudeskripsikan perasaanku sementara tatapmu membekukanku, juga tanganmu begitu sigap menggenggamku, membuyarkan lamunanku.

Denganmu, aku seperti selalu tak punya kekuatan dan kendali atas waktu. Aku selalu kehabisan kesempatan untuk melakukan yang kumau. Yang aku tahu, aku bahagia bersamamu. Cukup.

Saat itu, tak sedikit pun terpikir dalam otakku, bahwa lama setelah itu, aku akan menangis mengingat perkataanmu, sembari tersenyum, tetapi juga kesakitan karena rindu. 

Seperti sekarang ini. 

Seperti sekarang ini aku masih berpikir bagaimana caranya menahanmu untuk tidak pergi.

Dan, ini cangkir keduaku. Tidak, aku tidak akan nambah. Aku tahu satu cangkir lagi berarti cari masalah. Ah, tapi benar juga, aku tergoda. Aku masih mau.

Bagaimana ini? Mengenangmu itu butuh waktu dan energi. Kalau waktu takkan habis, tapi tenaga bisa.

Kenapa kubilang waktu takkan habis? Ya, malam ini aku berhenti jadi pengikut mazhab Sapardi yang bilang “yang fana itu waktu, kita abadi.” Sejak bidang pandangku kausinggahi, aku jadi mengerti. Panjang-pendek dan fana tidaknya sesuatu itu ujung-ujungnya relatif, kan?

Sepertinya cangkir kedua ini membuatku mabuk. Kurasa, aku mulai setuju kalau ada yang bilang bahwa selalu ada yang terletak di antara. Selalu ada tengah dari dua ujung yang tarik-menarik. Selalu ada cemas saat berharap. Selalu ada bungkam setelah tanya. Sebab, tak selamanya jawaban dapat membahagiakan.

Dan aku telah memilih untuk bahkan tidak bertanya atas apa yang sudah kurapal di luar kepala. Berapa kali pun kauajukan pertanyaan untuk memastikan, sudah barang tentu kan kujabarkan sampai tuntas.

Kenyataan bahwa kau masih belum juga melupakannya saat aku mulai menyadari telah jatuh kepadamu--

dalam sepi,

juga ramai,

saat ceria,

pun berduka,

kala hujan,

bahkan badai,

bila denganmu,

maupun sendiri,

tanpa alasan.

Sekarang, kuputuskan untuk membuat secangkir kopi lagi. Kali ini bukan untukku, melainkan untukmu. Biar kau tahu bagaimana pahit yang kurasa sedari tadi, selama ini. Biar kau rasa sulitnya menghalau resah dikala retas seluruh harapku. 



Sebagaimana yang kau telah sampaikan,

"Menunggu dan berharap itu berbeda. Kalau menunggu, setidaknya kau menggenggam sesuatu yang sempat dijanjikan, ada bekal sepanjang perjalanan penantian. Kalau berharap, sepenuhnya hanya menerka saja."

Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, mencari kelegaan dalam sesak yang mengeringkan tenggorokanku.

"Dan aku rasa, sekarang kamu cuma sedang berharap," ucapmu.

Aku terguncang.

Kali ini, kutemukan secangkir kopi yang membuatku menangis. Kali pertama. Dari begitu banyak nama kopi yang kausebutkan, dari begitu banyak cangkir yang pernah kita habiskan, dari berbagai macam kekhasan tiap aroma dan cita rasanya, belum pernah sebelumnya ada secangkir kopi yang bisa mengaduk-aduk perasaanku. Aku sendiri yang membuatnya, aku sendiri yang menangisinya.

Haruskah aku berhenti menikmatinya? Menikmati kepahitan ini? Meski masih ingin kuminum, meski aku sanggup mewakili kau untuk menghabiskannya dalam sekali teguk. Biar kucukupkankan segala kelam yang tercipta tiap aku mengingat tentang kita. Biar melelahkan bagiku, tapi semua akan segera tamat. Biar saja.

Aku masih menangis.

Ternyata, bibir cangkirnya pun tak sampai tersentuh. Tak kuasa kulakukan itu.

Maaf, sepertinya aku memang harus membagi secangkir kopi ini untukmu. Singgahlah dan rasakan getirnya, betapa sulit menghabiskannya. Sebab, ada aroma yang kita suka dalam setiap hela napas kita saat meneguknya. Selalu ada hangat yang menjalar pelan ke sekujur tubuh kita kala kedua telapak tangan bersentuhan dengan permukaan cangkirnya. Tak pernah seutuhnya hilang manis yang terasa sesaat setelah pahitnya tiba di ujung lidah. Tak selamanya kopi itu tentang hitam, legam, suram, dan temaram.

Ingat, memoar kita bukan sekadar ampas.

Tak selamanya kesedihanku perihal kau adalah sesuatu yang harus kuhilangkan, kubuang jauh-jauh. Meski kau tengah berkemas, aku tak akan habiskan kopi ini. Sebab, terlalu banyak yang ingin aku sisakan untuk kukenang di kemudian hari. Terlepas dari kegigihanmu untuk angkat kaki sesegera mungkin, membiarkanku tertinggal jauh, tanpa peta dan kompas, berharap takkan pernah kutemui kau di arah angin manapun. Sebab, tersesat adalah yang kauharapkan sejak lama. 

Yang kaucari sebenarnya tak benar-benar bisa disebut "ada".

Dan aku di sini, menerawang dari jauh, masih menangis hanya karena secangkir kopi,

hanya karena kau--

yang teramat berarti,

tanpa alasan.



Bersambung....



Catatan.
Bentala=dunia
Takhlik=cipta

Comments

Popular Posts