BERBINCANG DENGAN LAKI-LAKI



Sesaat, aku tak melihat luka. Binar matanya menjadi terang dalam temaram pojok kedai kemarin. Satu per satu cerita mengalir bagai pancuran air yang menggantikan dahaga--ketidaktahuanku. Merajuk ia padaku supaya bisa bebas menghabiskan kreteknya dan sembunyi dari dingin ruangan yang membuahkan gigil di jeda-jeda kisahnya. Tapi, aku bersikeras tetap di dalam.

"Anjing! Tega lu. Kedinginan gua!" makinya, sementara aku tetap santai memandangi layar ponsel yang tidak ada apa-apanya. 

Kubiarkan dingin menjalar sesukanya. Sekalipun aku tahu, aku mulai tersiksa karenanya. Tapi, bukankah di dunia yang penuh kekejaman ini siksa dan bahagia itu kadang berdampingan? Dibuat susah aku oleh suhu ruangan, dibuat girang pula aku oleh tenang yang dilahirkannya sepanjang senja.

Ah, lelaki yang bersamaku itu perlahan mulai tak lagi mengeluh perihal keinginan-keinginannya yang tak tercapai. Lama-lama, ia mulai berceloteh tentang kesabaran dan ketidakmengertiannya harus bersabar dengan semua ketidaksukaannya akan hal-hal yang mengganggunya. 

Rumit. Jelas, aku paham kalau orang lain mungkin akan menghindari bahasan-bahasan macam itu. Tapi, aku tak pernah berusaha kabur dari topik yang selalu kami perbincangkan berulang-ulang itu. Menurutku, obrolan yang bermanfaat adalah obrolan yang memberi kita pemikiran baru, yang membuat kita tidak berpuas diri mengungkung kepala di ruang sempit berisi keluhan-keluhan usang. Sebagai seseorang yang tidak pernah berhenti mengevaluasi diri, terutama atas kebodohan-kebodohan dan keteledoran dalam keseharian, aku sangat butuh informasi-informasi mengenai kehidupan orang lain sebagai pembelajaran. 

"Ngerti, kan?" tanyanya. 

Lantas, aku mengangguk.  "So far, you're kinda an opened book," ucapku. 

Aku bilang, aku tak perlu lagi mengomentari. Susah senangnya ia sampaikan padaku. Kuat lemahnya ia pun dijabarkannya sendiri. Ia punya banyak rahasia, tapi soal itu aku tahu ia terbuka. Kemudian, giliranku bercerita. Ia terbahak-bahak karenanya. Katanya, kegoblokanku membuatnya tak merasa
tolol-tolol amat.

"Kampret," cuma itu kata kasar paling maksimal yang bisa aku lontarkan.

Ia berkata, "Lu kadang menyedihkan, memang."

Benarkah? batinku bertanya pada diri sendiri. Kalau dia mengerti, pasti dilanjutkannya perkataan tadi.

"Yah, kopi secangkir, kesel sekompi. Nyeduh kafein tuh lagi happy kali-kali!" katanya dengan cengiran kuda.

"Ya lu juga ngajak ke sini (kedai kopi) cuma pas desperate doang!" sahutku sekenanya.

"Anjir, nggak gitu ya!"

Dan begitulah seterusnya, sampai habis lagu-lagu sendu, mengabu segala rindu, mengendap juga perkara-perkara jemu. Hampa campur pilu, mungkin itu yang angin bawa malam itu.

Berkata lagi ia setelah kedai ditutup resmi oleh pemiliknya. Katanya, tak ada salahnya kalau aku berkawan sesekali dengan ramai. Secerewet-cerewetnya aku, tak akan mampu untuk asyik bicara sendiri. Oleh karenanya, lahirlah janji-janji ngopi di lain hari, untuk membahas kembali hal-hal trivial macam tadi, juga mungkin lagi-lagi soal gadis manis yang beberapa waktu lalu dibuatnya menangis. Sebab, kopi tak pernah hambar. Akan selalu ada rekaan cerita yang tergambar di genangnya yang tenang.

Seusai bincang-bincang, ia tak bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku tidak tahu juga mengapa ia tidak mempertanyakannya. Sejelas apakah kecemasan yang terpatri di bola mataku, atau justru sesamar apakah gundah dan bahagiaku?

Berbincang dengan laki-laki membawa kisah sendiri. Memang, sesekali membahas lekuk tubuh wanita dewasa. Sempat juga memperdebatkan mana yang lebih diprioritaskan; tidur atau main game online. Sampai-sampai membicarakan masa depan macam ayah-ibu yang bersantai menyelami senja sembari menggendong cucu-cucunya bergantian di kursi halaman belakang rumah. 

Ia menyeringai, membayangkan betapa menyenangkannya itu semua, memenangkan pergulatan waktu dengan berton-ton tragedi tak diinginkan sepanjang masa-masa perkuliahan dan pencarian pekerjaan. Sementara itu, aku--entah mau memilih topeng yang mana. Sadar bahwa sebagian khayalannya bahkan sempat tak berani kubayangkan. Ada hal-hal yang seringkali terlihat tak masuk akal di kepala. Mengingat sejarah dan masalah tiap-tiap kita terkadang beda.

Maka, ia bertanya mengapa.

Kubilang, "Kita kan beda."



Semarang, 11 April 2017
Dinar Astari

Comments

Popular Posts