ALL ABOUT SPARKS, ABOUT YOUR EYES


I'll always look out for you
That's what I do
And I saw sparks 
I saw sparks
...

Bung, 
catatan ini sepertinya cukup aman dititip-kirimkan padamu lewat angin subuh ini. Di penghujung pukul lima, ketika berjam-jam sudah aku terjaga hanya mendengarkan suara-suara dalam kepala sendiri, tanpa kopi. Cuma ada setengah botol minuman bersoda dan seorang teman yang menumpang tidur di kamar dan menolak berbaring di atas kasur dengan alasan kegerahan. Di luar sana, mungkin banyak mahasiswa nokturnal kelaparan kabur ke Burjo mencari 'kehidupan' dari suapan-suapan MSG, juga gadis-gadis yang kelelahan membaca quotes tentang friendzone, pun manusia-manusia random lainnya yang tengah mendamba sepercik inspirasi.

Bung, 
senja kemarin kau tebar senyum. Ia terbawa angin, tersangkut di banyak pasang mata. Ditangkaplah ia oleh mereka, lantas disimpan rapat-rapat, dilabeli supaya terasa sedikit lebih khusus dan tidak terlalu terkesan 'untuk umum'. Maklum, senyummu ibarat kilat yang memutus rantai kelambatan atau kemalasan. Penggerak alami dosis tinggi. Mereka menganggap itu berharga dan tidak bernah basi untuk diingat-ingat kembali. 

Itu. Mata-mata itu--yang peka akan keberadaanmu, yang terbelalak sampai hampir keluar dari 'sarang'nya, menyambut kemunculanmu. Mereka susah payah mengeruk korneamu, berusaha menyentuh dasar pikirmu. Sebab, bukankah mata adalah sumber segala berita? Sedih-senang, sabar-berang, pun gusar-tenang, di situlah besar kemungkinan ada. Tapi kau memanglah bukan barang pasaran yang boleh dibongkar, dipreteli sampai detil. Kau (tampaknya) akan selamanya menjadi danau yang tenang dengan jutaan kemungkinan di dasarnya, sebab hanya bisa dirasa di permukaan, tidak pernah cukup terjangkau untuk bisa digapai sampai ke intinya. 

Mata-mata itulah Bung, yang bising tiap waktunya, tanpa kuminta. Mereka bercakap-cakap satu sama lainnya, sekalipun tidak kuberi tanggapan. Sungguhlah mereka memuja. Tidak mungkin tidak. Sesayu apapun rupa matamu, selalu ada kobar di pusatnya--sebuah percikan, entah mesti bagaimana aku gambarkan. Mereka bisa merasakannya--sebuah wibawa dan kegigihan yang bergumul menjadi sebuah kepribadian.

Sekalipun aku tahu, itu hanyalah kesan. Kau adalah percik dalam hening yang tak pernah cukup angkuh untuk minta diinterpretasikan seperti apa. Kau adalah ada yang sekadar berupa, tanpa pernah meminta untuk dieja. Kau adalah kau, dengan mata serupa fajar, sekalipun dalam gulita. 

Dan, Bung, 
itulah yang kupertanyakan. Bukan sebab ini sebuah masalah, tetapi terasa sebagai suatu yang tak biasa. Benarkah sepasang matamu yang diakui luar biasa itu pernah singgah begitu lama di sepasang mataku yang berkantung? Yang ditikam malam, yang dibuat lesu oleh pilu, yang mencari sembuh, yang sampai detik ini masih tampak lusuh. 

Sungguhkah tatapmu jatuh di situ? 

Jawab aku. Sebab, tak mungkin kucari sendiri jawab di matamu itu. Sudah terlalu sesak oleh banyak tatapan. Aku sungkan berdesakan dengan milik orang, bisa-bisa tersesat dan malah tenggelam tak bisa melepaskan diri, lupa diri malah berenang dalam jernih tatapanmu sendiri. 

Sekali lagi kutanyakan: Benarkah?


Semarang, Mei 2017
Dinar Astari



Catatan
Terinspirasi oleh lagu dari album pertama Coldplay, Sparks, dan hal-hal lainnya, termasuk imajinasi selewat sebelum beranjak mengerjakan tugas. 

Comments

Popular Posts