SEORANG PRIA DAN GENGGAMAN TANGANNYA

 
Pin on DATE NIGHT
Sumber: Pinterest
 
 
Nama coffeeshop itu Monolog. Aku berusaha mengunjungi berbagai tempat lain, tetapi pada akhirnya kembali ke Monolog dengan alasan yang sama: aku suka bicara sendiri. Dan sejalan dengan namanya, Monolog berisi barista-barista yang ramah tapi tidak terlampau ramah untuk mendekat padaku dan memerhatikanku lekang-lekang ketika menangis atau misuh-misuh. Alih-alih menjadi poin minus, aku malah semakin betah di Monolog karena hal itu. 
 
Berdasarkan pertimbangan tersebut, aku memutuskan untuk mengajak seseorang ke Monolog malam ini untuk menyepi dan mungkin tidak bermonolog sendiri-sendiri. Aku akan banyak bertanya padanya oleh sebab terlalu banyak beban yang dipikulnya belakangan. 

Namanya Kama. Pertemuanku dengannya terjadi tanpa rencana. Kama adalah kenalan lama pelanggan setia coffeeshop tempatku bekerja. Banyak orang percaya ia punya sebuah "kemampuan istimewa". Kepekaannya terhadap emosi seseorang di atas rata-rata orang pada umumnya.

Setiap kali kami berpapasan di sana, ia baru saja datang dan aku hendak pulang karena shift-ku sudah selesai. Tentu saja aku tipe pegawai "jalang". Maksudnya, kerJA-puLANG. Aku tidak terlalu senang bersosialisasi. Lebih senang bercengkrama dengan guling dan Netflix. Di pertemuan ketiga antara aku dan Kama, akhirnya Kama berujar, "Are you okay?".

Aku yang saat itu sedang buru-buru menstarter motor refleks mengernyitkan dahi. Ah, the gift, though.. Mungkin dia 'menyerap' emosi negatifku.

"Iya dan nggak," jawabku sekenanya. 

Kama tersenyum simpul dan aku tiba-tiba saja menyeletuk. "Are you?"

Pria itu terkikik sesaat dan berjalan menghampiriku yang sudah duduk di atas motor, siap menarik gas. 

"Bisa nggak kita... ngobrol?" tanyanya dengan gelagat ragu. 

Aku menggigit bibir bawahku, bingung. 

"Kapan-kapan, bukan sekarang," katanya. "Need some help," lanjutnya. 

Entah mengapa, matanya bicara lebih banyak kali ini. Aku tiba-tiba saja bergidik. Dalam pikiranku, Kama bergelantung di ujung tebing dan mengulurkan tangan padaku yang tidak sengaja lewat situ.

Dan begitulah awal-mula aku mengenal Kama. Sejak saat itu, Kama sering mampir ke tempatku bukan karena punya janji dengan kawannya, melainkan ngobrol denganku. Kama bercerita banyak tentang client-client yang pernah ditemuinya berikut segala macam permasalahan mereka. Hidup Kama dipenuhi oleh kisah-kisah rumit dan bahaya. Tak jarang ia harus standby kapanpun client membutuhkannya, sekalipun hanya untuk mendengarkan mereka terisak. 

"Mereka yang bermasalah lari padaku, tapi kalau aku yang bermasalah... aku harus ke siapa?" Kama tersenyum miris. 

"Aku rasa, kalau aku pergi, orang-orang akan lebih menghargai keberadaanku selama ini. Mereka akan lebih mensyukuri hidup. Hanya ada satu aku yang pergi, dia ribuan lainnya akan lebih mampu melanjutkan hidup." 

Wajahnya berubah murung dan matanya mulai mengucurkan airmata--mengisahkan lebih banyak hal daripada sepasang bibirnya yang kini bergetar sebagaimana kedua tangannya. Aku refleks mengeluarkan headset kemudian bertanya, "Kamu suka Norah Jones?" dan tentu saja ia tidak menjawab. "Diam artinya setuju," pungkasku seraya memasangkan headset sebelah kanan di telinganya dan yang kiri di telingaku. 

I waited til' I saw the sun.. 
Don't know why I didn't come
I left you by the house of fun.. 
Don't know why I didn't come

Lagu terus mengalun dan airmata pria itu semakin deras mengucur. Mungkin sudah sejak lama ia memendamnya. Mungkin airmata itu tak selamanya bisa ia tampung sebagai genangan. Mereka ingin meluncur menyusuri pipi dan keluar sebagai penghormatan kepada kesedihan.
 
"Terima kasih sudah bertanya-tanya tentang aku. Selama ini, orang-orang di sekitarku jarang--bahkan hampir tidak pernah--bertanya apakah aku baik-baik saja. Mereka yang berkeluh kesah padaku pun nyaris tidak pernah pernah berterimakasih setelahnya. Padahal, pertanyaan seringkali terasa sebagai sebuah hadiah, sebentuk perhatian. Dan terima kasih adalah penghargaan paling berharga di dunia," Kama tersenyum simpul. 
 
Beberapa jam setelahnya, kami masih menikmati lagu-lagu Norah Jones yang lainnya. Masih terdiam, saling menggenggam.

"Apakah harus mati dulu, untuk akhirnya bisa merasa dihargai?" tanyanya, entah padaku atau dirinya sendiri.

Comments

  1. Pendengar juga butuh didengar, divalidasi, dan diterima. Aku relate dengan ini.

    Terima kasih telah, membagi ini ya!

    Semoga harimu selalu weekend!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aww.. thank you. Semoga kamu juga selalu menemukan kebahagiaan.

      Delete
  2. Terimakasih udah membuat suatu kenangan yang manis dan membekas sampai detik ini, i’ll see you on top buddy!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts