3 SHOTS OF ESPRESSO

New Message 
Recepients: xxxxxxxxx@rocketmail.com
Subject   : Truth Told by 3 Shots of Espresso(Part 397)

Hei, Kau.
Kelak kau akan tahu mengapa ratusan—mungkin besok-besok akan jadi ribuan—draf surel ini membanjiri kotak masukmu. Kalau catatan-catatanku sudah sampai dan mendarat dengan selamat sampai bisa kau baca saat waktu senggang, berarti aku sudah cukup berani untuk kau hardik lagi. Bukan kau hardik karena aku tak sanggup melupakan laki-laki itu. Akan tetapi, karena aku berani-beraninya membahas laki-laki itu kembali, dengan serentetan informasi yang tak pernah sebelumnya kubagi padamu. Maaf, aku dulu belum siap.
Kau tahu, ada pribadi yang sama. Selalu, di sudut yang sama, bergerak tapi tak berpindahAku tidak mamputidak pernah mampu, tepatnya—menyingkirkannya dari semesta pikiranSupaya dihisap lubang hitam atau ditubruk benda asing, pecah jadi keping-keping. Aku tidak pernah rela ia yang kusuka tawanya, aku senangi candaannya, harus lenyap begitu saja dari hidupku yang juga entah berisi apa sebenarnya.
Omong-omong, aku pernah bermimpi suatu kali. Dalam mimpi itu, ia menulis namanya di setiap lembar buku bacaanku, entah untuk apa. Aku menafsirkannya sebagai pertanda bahwa ia tidak ingin kulupa. Kemudian, ia juga menulis namaku pada permukaan cangkir-cangkir koleksi ibunya yang tersimpan di lemari dapur. Aku tahu, itu cangkir-cangkir yang biasa dipakainya untuk menyeduh kopi. Ah ya, ia pakai tinta hitam untuk cangkir berwarna cerah dan tinta cerah untuk cangkir-cangkir yang berwarna gelap.
Sejenak, aku tidak paham mengapa ia melakukannya. Dalam mimpi, kita hanya terduduk di kursi, berhadapan tanpa ekspresi. Tapi sorot matanya perlahan menjabarkan sesuatu. Aku tidak tahu apakah itu benar-benar maksudnya, atau aku yang akhirnya selesai menyimpulkan saja. Akan tetapi, kemudian terdengar suara yang menggema dan tahu-tahu membuatku mengangguk tanpa ragu.
Katanya, kelak kalau aku merindukannya, dan rindu hanya menjadi istilah yang tak pantas aku bahas, aku bisa membaca ulang buku itu sampai mengantuk, sampai kewarasanku membangunkanku. Dan kelak, kalau ia membutuhkanku, ia bisa minum dari cangkir-cangkir itu. Tak apa jika ia meminta kekasihnya yang menyeduh kopi untuknya. Tangannya takkan menghapuskan dialog antara kami kala diteguknya larutan itu, penuh perhitungan. Kami akan sama-sama merasakan jarak begitu banyak bercerita, sehingga tidak ada waktu untuk mengumpat. Setiap detik yang ada akan terisi pertanyaan dan keinginan untuk berjumpa, sekalipun misal itu tak layak lagi dirayakan. Tak apa, pikiran adalah ruang temu paling leluasa.
Begitu. Begitulah. Sudahkah kau mengerti mengapa aku tak pernah sanggup melupa?
Sebab laki-laki itu kau. Tidak pernah yang lain. 
Salam, sahabatmu (yang mungkin tak tahu diri). Sampai bertemu di bagian 398 dan seterusnya. 

***


Aku tidak pernah tahu tiga shot espresso yang disiram ke es batu dan dihabiskan dalam waktu 2 jam dapat membuatku mengurut-urut dahi. Pusing, pening, bahkan perlahan aku mulai merasa sedikit mual. Entahlah. Barangkali, ini yang namanya kalap. Tapi, anehnya degup jantungku masih normal saja. Apa aku baru naik level, dari penikmat kopi jadi penjinak kopi? Pertanyaan konyol itu muncul saat aku meneguk satu mok air mineral dengan susah payah, karena perutku sudah makin begah.
Berat juga, memang, 3 sloki espresso, diminum tengah malam. Kepalaku bahkan mendadak jadi ‘berisik walau kini aku sudah berbaring di lantai kamar kost. Melamun, memandangi atap kamarku yang mau seribu tahun diperhatikan pun mungkin takkan pernah jadi seindah langit senja. Satu per satu hal yang ingin kulupakan barang sejenak, malah bermunculan secara bergantian, bagai bocah-bocah menunggu angpao di hari raya. Sabar, mereka menungguku sanggup memikirkannya satu per satu.
Aku meraba meja belajarku, masih dalam posisi berbaring. Kudapati handphone-ku masih bergetar, tanda panggilan masuk.
“Halo?” sapaku sekenanya.
“Gila. Beneran belum tidur lu?” tanya seseorang di seberang sana.
Aku bangun, kemudian duduk di bangku. “Kalau udah tidur, gue nggak akan chat lu barusan. Emang parah ini espresso.”
“Lu minum espresso? Nggak tahu diri emang!” hardiknya, terdengar sembari tertawa.
“Heh, sekata-kata emang lu. Denger dulu!” ucapannya seolah membuat kepalaku semakin cenat-cenut. “Accident, tahu! Gue niatnya nyoba varian baru, tapi nggak minta masnya buat jelasin dulu.”
“Makanya, dengerin dulu penjelasan dia….”
“Aih! Macam gue sama dia mau putus aja.”
Akhirnya, nasihatnya muncul juga. “Ya udah, minum air putih yang banyak, ya!”
“Udah.”
“Tiduran di lantai, biar kepala dingin.”
“Udah.”
“Lupain dia.”
Aku terdiam.
“Udah?” tanyanya, lembut.
“….”
“Hei. Udah belum?” ia mengulang.
“Belum…”
Gila. Degup jantungku tiba-tiba jadi abnormal. Ternyata, bukan kopi. Ini perihal situasi. Dijebak pertanyaan macam tadi, respon tubuhku langsung begini.
“Kapan bakalan lupa?” ia masih kekeh menanyakannya.
“Nggak tahu, lah,” sahutku seadanya.
Pikir saja. Kau bukan orang yang mudah jatuh cinta. Sekalinya kau jatuh, kau jatuh sejatuh-jatuhnya. Jauh, dalam, bagai terperosok ke dalam jurang. Tidak, lebih dari itu, ke dalam palung. Di sana begitu asing, rasanya. Dingin, gelap, hanya kau sendiri, bersama perasaanmu yang mungkin satu-satunya jadi kekuatan di sana.
Kau berbisik, berbicara, berteriak, mengaduh, menangis, tak ada yang menyadarinya. Sampai kau lewati sekian waktu yang amat sangat panjang sendirian, dengan beragam emosi, kau mulau meragu. Apa kau salah palung? Apa kau salah jatuh pada orang itu?
“Nggak tahu apa nggak bakal?” pertanyaannya membuyarkan monologku.
“Nggak tahu…. bakal apa nggak,” jawabanku pasti makin menjengkelkannya. Dia hanya belum pernah merasakan betapa susahnya ada di posisiku. Dipaksa melakukan sesuatu yang sama menyiksanya dengan bertahan saja. Misal dalam perang, mungkin aku hanya tengah penekan pelatuk. Menggantung.
“Niat nggak sih lu lupain dia?”
Tidak. Tentu saja tidak. Secuil kejujuran hanya sanggup aku bisikkan dalam diri saja. Ia tahu, selalu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun tidak benar-benar tahu apa yang aku rasakan. Kejujuran versinya adalah apa yang aku katakan. Maka, apa yang tidak sanggup kulontarkan takkan jadi kebohongan selama aku tidak mengubahnya saat kusampaikan. Selamanya akan sama, sebab aku hanya cukup menguburnya dan tidak mengungkitnya.
“Pantesan. Kalau ampe nanti pagi lu belum tidur, lu tahu pikiran lu menyumbang banyak faktor kenapa lu insom. Ya, walaupun tuh espresso juga lumayan keras.”
“Tiga shot, Cuy…” entah mengapa, aku ingin lebih banyak ngobrol mengenai kopi ketimbang serba-serbi perasaan basi dengan sobatku ini. Hardikannya tidak akan serta merta membuatku tiba-tiba sanggup melupa.
“Wah gila, sih. Three shots of Espresso plus longing equals insomnia. Awas cepet mati, ah. Gue nggak bisa ke pemakaman lu kalau tiket pesawat mahal begini.”
“Taik!”
“Udah, ya. Gue mau tiduuur. Take care. Gue cek lu nanti pagi. Kalau laki-laki itu macem-macem, matiin aja, lah!”
Aku tersenyum mendengarnya. Tidak akan, laki-laki itu tidak akan macam-macam. Ia bahkan akan jadi seseorang yang menanyakan kabarku nanti pagi. Yang menyuruhku melegakan hati dengan mengikhlaskan perasaan yang mungkin sampai kapanpun tidak layak dinyatakan. Yang mengkhawatirkan kejatuhanku pada palung yang salah. Padahal ia sendiri palung itu. Ialah jiwa yang aku relakan untuk mengisap kewarasanku demi sebuah kesempatan mencintai tanpa alasan dan tanpa tapi, sekalipun takkan pernah diketahui.

Juni, 2018
Dinar Astari

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Dinar! Ah, makin cerdas saja dikau meramu diksi. Kangen, btw. Hehehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fia! Apa iya? Makasih udah baca. Kesini lagi ya, aku pengen nulis-nulis lagi. Kangen kamu jugaaa. Sangat!

      Delete

Post a Comment

Popular Posts