September


Hujan September 2021, di Halaman Kontrakan

September. September. September. Selalu sama. Selalu mendung, basah, nostalgic, dan agak muram, tapi gue suka. Setiap bulan punya kenang-kenangannya sendiri dan September adalah salah satu dari dua belas bulan dalam setahun di mana gue akan dengan amat sangat mudah menyebutkan hal-hal berkesan.

Terlepas dari kenyataan bahwa gue pernah menyukai laki-laki yang lahir di bulan ini, September selalu istimewa salah satunya karena harum petrikornya, yang kerap muncul selepas hujan, sangat menenangkan seluruh saraf tegang dari ujung kaki sampai ubun-ubun. 

September bagi gue adalah momen reflektif karena hujan rajin mampir tiap sore. Bikin chill. Hal-hal mainstream yang terasa monotonmenyiram tanaman, nangkring di ambang pintu ruang tamu, belanja ke warung, pergi ke tempat laundry, menambal ban, menulis draf novel, membaca bukutiba-tiba jadi terasa berbeda. Dalam benak, gue selalu berujar "Ah, ini September ya..." dengan ekspresi supergrateful. 

Tahun ini, 2021, bahkan lumayan banyak kejutan. Pertama kalinya dalam hidup, gue merawat tanaman anggrek merpati. Jujur, saat pertama kali ditawari bibitnya pun, gue nggak kebayang seperti apa kenampakannya. Gue hanya percaya tanaman ini (pasti) cantik dan (harusnya sih) punya seenggaknya satu hal yang lekat dengan karakteristik burung logo perawatan tubuh itu. Walau ragu apakah umurnya akan panjang di tangan gue, entah kenapa gue tetap sangat excited menimangnya, lantas membawanya pulang sampai kemudian gue rekatkan pada batang pohon mangga, di halaman kontrakan gue, yang udah ditebang setengahnya. Tapi, rupanya pesimisme itu terpatahkan oleh pemandangan malam ini (yap! tepat malam ini di mana gue menyusun post ini). Anggrek merpati gue mulai menunjukkan kuntum-kuntum kecilnya. Gue melompat-lompat kegirangan macam anak kecil yang menang balapan Tamiya

Sampai di sini, mungkin lo berpikir September gue kali ini sempurna. Sayang, jawabannya: nggak. 

Bulan ini agaknya gue cukup banyak nangis. Penyebabnya macam-macam. Mulai dari hal-hal besar yang nggak bisa gue apa-apakan sampai dengan remeh-temeh yang semua orang mungkin bisa anggap sebagai file junk dan segera menyingkirkannya dari memori kepala. Well, kenyataannya gue menangisinya. 

Lo pernah nggak menahan diri untuk nggak nangis dalam waktu yang cukup lama, karena merasa ada banyak hal penting harus lo tanganitapi kemudian sesuatu menampar lo dengan keras dan tanpa aba-aba, membuat lo terperosokdan tahu-tahu nangis aja? Itu yang gue lalui September ini. Ketika tamparan itu mendarat tepat di wajah, gue bahkan sempat bingungini airmata untuk apa? 

Gue nyaris lupa deretan hal mengecewakan dan taik-taik beberapa waktu belakangan saking sibuknya berusaha menjaga ketegaran. Setelah tertampar, ya... apa mau dikata? Nangis aja. Toh, memang sakit, kok. Kalau gue ketawa, malah agak aneh kan? Bahkan, demi tetap waras dan bertanggung jawab akan hal-hal yang memang diamanatkan pada gue, gue bahkan mulai nangis sambil melakukan hal lain. Terdengar konyol, tapi di gue pribadi, ini bukan ide buruk rupanya. Hasilnya lumayan oke juga, walaupun gue nggak merasa perlu merekomendasikan tindakan ini pada orang lain. Just info. 

Gue nangis sambil ngirim email lamaran kerja, mandi, nyeduh kopi, nyiram tanaman, nyapu lantai, berdoa, makan, cuci piring, dan banyak lagi. Dan gue bangga udah rela nangis, sekalipun sadar setelahnya seringkali gue kehilangan banyak tenaga. Ada harga yang harus dibayar setelah gue memanfaatkan 'fitur' nangis di sistem kerja tubuh gue ini. 

Sekarang, kalau gue mengingat momen-momen menyedihkan itunemu inbox email isinya iklan lagi, iklan lagi (bukan panggilan kerja), nonton teman sejawat berangkat ke luar pulau untuk kembali kerja di site setelah liburan, cengok mikirin gimana cara nambahin saldo di rekening sementara fee dari gawe serabutan belum jadwalnya untuk cair, tanaman-tanaman peliharaan gue layu dan busukgue bukannya kepingin nangis, tapi malah senyum. 

Semua terasa nyeri karena memang nyakitin. Nggak ada keharusan gue nolak apa yang ada di pikiran dan perasaan gue tiap kali bertemu dengan keapesan atau kegagalan. Merasakannya, sejauh ini gue rasa, adalah keputusan yang tepat. 

Akan ada waktu, sekalipun itu jauh dan tak terprediksi, di mana gue mampu mengingat kepahitan sebagai sesuatu yang berkesan aja. Contohnya sekarang. Gue nginget-nginget apa aja yang udah gue tangisi. Kehidupan nggak (pernah) sempurna, tapi seenggaknya gue punya segelas bandrek dan sepiring ubi sekarang. 

In the middle of September we'd still play out in the rain
Nothing to lose but everything to gain
Reflecting now on how things could've been
It was worth it in the end

Comments

Popular Posts