Bagaimana Patah Hati Bekerja

Sumber: Movie Scenes

And this is how heartbreak works on me. Lagu-lagu lirih terputar nonstop di dalam kepala, tak peduli aku tengah sibuk berbicara. Detak jantungku menjadi begitu cepat dan tak teratur, mendobrak pola dan semakin gila saat aku memikirkan penyebabnya. Ribuan pertanyaan berjatuhan ke dalam pikiran, seperti hujan rintik-rintik yang begitu panjang sejak pagi hingga petang. Airmata menggenang di kelopak, sekalipun aku sedang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tak lazim melibatkan kesedihan: makan nasi padang atau bahkan menonton show seorang stand up comedian

Ternyata, apapun penyebabnya dan kapan pun kejadiannya, patah hati memang begini. Tak peduli seberapa banyak tangan yang terulur di atas sana dan wajah yang dengan penuh harap menunggu, kau tetap sendirian di lubang itu. Lubang yang begitu dalam, gelap, dan dingin. Kau tak merasa sendiri, terberkati, dan didukung, tetapi realitas pertama yang kau sadari setiap kali membuka kedua mata adalah: kau sendirian menghadapinya. Patah hati ini, beserta nyeri dan gemetar yang dilahirkannya, hanya milik kau seorang, sekalipun kau sudah coba membagikannya ke satu per satu teman terdekat. 

Aku paham betul bahwa aku harus memulihkan diri. Kupikir, aku akan meledak dalam tangis saat ini terjadi, tetapi rupanya aku malah lebih banyak tertawa--terlalu banyak tertawa, bahkan--karena aku tidak cukup beruntung memiliki ruang sendiri untuk merilis kesedihan. Aku ada di dalam situasi di mana aku adalah spotlight dan ada peran yang secara alami kujalankan: menghibur banyak orang, melawak, menceritakan hal-hal lucu, atau meledek diri sendiri. Oleh karena itu, airmata datang secara acak, kapan saja, ketika aku hendak tidur, ketika aku membuka botol sampo, ketika aku menyeruput kopi, ketika aku membaca nama-nama itu di layar telfon genggam. Ketika aku bahkan nyaris lupa apa yang berhari-hari ini aku pikirkan. Seolah pikiranku kadang kosong sejenak, tetapi benakku terus mendesak untuk aku tidak berhenti kesakitan. 

Aku cukup yakin bahwa aku perlu menangisi ini, cepat atau lambat. Salah seorang kawan berkata padaku bahwa butuh satu, dua, atau belasan, bahkan mungkin puluhan tahun untukku sembuh. Besar kemungkinan, perjalanan itu harus dimulai dari menangis. Entah seperti apa prosesnya. Siapa yang tahu, kalau aku hanya perlu menangis tanpa henti selama dua-tiga hari, atau mencicil tangis sampai aku menjadi paruh baya. 

Realitas ini adalah tamparan keras yang jelas tidak bersahabat dari semesta. Tapi, mungkin beginilah cara paling tepat untuk aku diingatkan bahwa kedewasaan dibangun melalui banyak kepahitan dan siksaan, dalam banyak kejadian. Tidak bisa dinyana, sebagian orang nyaris gila saat menyebrang ke tempat selanjutnya. Ingin menyerah di tengah jalan. Terpikir untuk hidup di masa lalu dan tak melakukan apapun. Tapi, mereka bilang aku seperti rumput liar yang takkan pernah berhenti menjalar sekalipun jutaan kali ditebas. Aku macam kecoa yang akan selalu punya cara untuk bertahan sekalipun hidup sekalipun dalam katastrofi. Aku banyak berubah. Lubang yang muncul di dalam relung jiwaku mungkin akan menggerogotiku, tetapi aku akan terus hidup. Bukan sekadar bernapas. Pun bukan untuk membalas dendam. 

Aku meyakini bahwa kesialan-kesialan yang terjadi barangkali adalah penyeimbang kebaikan-kebaikan yang telah menyelimutiku sampai di usia sekarang. Kadang aku hanya perlu berjalan dan membiarkan kapasitasku perlahan berkembang hingga datang suatu masa di mana semuanya masuk akal dan kepingan-kepingan puzzle ini lengkap terangkai, menjadi gambaran utuh yang membuatku tak lagi bertanya-tanya apa yang salah dariku, apa yang kurang, dan apakah ini hukuman. 

Semua misteri. Adapun yang kutahu hari ini mungkin akan usang di lain waktu. Akan ada pengetahuan lain di depan, yang membuatku meralat kesimpulanku sekarang. Aku harus membuka diri untuk itu. Sebab semua orang berbuat dosa, tetapi sebagian bisa akhirnya keluar dari dalam kubangan dosanya, sebab ia menerima pencerahan-pencerahan, termasuk tentang pengertian baru tentang dosa itu sendiri. Aku akan berusaha memaafkan diriku dengan lebih sempurna lagi. Sebab itu jauh lebih berat ketimbang memaafkan orang lain. 

(Metaforancu, 2022)

Comments

Popular Posts