JUMAT, SABTU, MINGGU


Akhirnya, menulis lagi. 

Salah satu hal yang cukup membayangiku setiap akhir pekan adalah perasaan cemas bahwa aku tidak lagi lekat dengan dunia tulis-menulis. Jujur saja, sebagai seseorang yang jelas bukan workaholic, pekerjaan korporat cukup menyita perhatian, menguras tenaga fisik dan mental, serta membuatku ngantukan, hahaha. Jadi, hanya di akhir pekanlah aku bisa dengan betul-betul sengaja meluangkan waktu untuk membiarkan jemariku menari-nari di atas keyboard laptop, melanjutkan draf novelku yang sudah 'berdebu' atau sekadar membuat catatan random di akun Instagram @kerancuan_. Tapi, kali ini, oleh sebab banyak hal di kepala, aku iseng membuka kembali blog lamaku. Aku ingin bercerita mengenai beberapa hal menarik dan menyenangkan di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu awal bulan Maret ini. 

Hari Jumat kemarin, sepulang kantor, aku dan beberapa senior kantor pergi karaoke. Hampir dua jam kami jadi biduan dadakan. Setelah lelah 'manggung', aku pulang ke kosan untuk mandi dan ganti baju, lalu berkunjung ke kost salah satu teman kuliah. Kami main gitar, ngobrol ngaler-ngidul, menyeduh drip bag coffee sampai subuh, lalu tidur dan terpaksa bangun pagi karena aku ada agenda untuk menjenguk istri rekan kerja yang baru melahirkan. Jujur, di cuaca yang panas, keluar kost bukan ide bagus dan aku sendiri cukup ogah-ogahan. Motivasiku ke sana benar-benar untuk turut bersuka cita atas kelahiran bayi seberat 4 kg dengan TB 51 cm yang tentu saja langsung melumerkan hatiku saat aku sampai di sana. 

Bayi yang sangat anteng. Saking antengnya, saat semua orang tertawa membahas kelakuan kocak ayahnya, makhluk mungil yang hobi nyusu itu betul-betul asyik merem. Ia bahkan sangat santai dan tidak terganggu saat aku menggenggam tangan dan mengusap jemarinya, lalu mengambil foto.

Kami bergenggaman tangan.

Sungguh, menyentuh bayi adalah sebuah terapi. Tiba-tiba saja aku merasa panas-panasan dan bergumul dalam kemacetan adalah harga yang tidak seberapa untuk momen indah ini. Dalam benak, aku juga bertanya-tanya, apakah suatu hari aku akan memegang tangan mungil seorang bayi, tetapi bayi itu betul-betul pernah hidup 9 bulanan di dalam tubuhku. Apakah aku akan cukup percaya diri untuk mengatakan pada orang-orang bahwa aku adalah ibunya. Apakah aku tidak akan ciut setiap kali anak itu menatap mataku, sebab sampai per hari ini saja--saat aku hanya menjenguk anak orang lain--aku masih merasa bahwa aku mungkin tidak cukup pantas menjadi seorang ibu. 

Sepulang dari sana, aku tidur cukup lama sampai sore dan malamnya aku melakukan rutinitas akhir pekanku seperti biasa. Mengikuti kelas mengemudi, hahaha. Jelas, ini bukan kelas formal yang biasa orang lain hadiri, dengan serangkaian aturan dan juga perjanjian biaya. Jujur, ini adalah kelas paling aneh, walau dalam artian yang baik, karena hampir setiap kelas ini berlangsung, agenda berbincang kami selalu punya bobot yang lebih banyak dibanding mengemudinya. Bahkan, pelatihnya tak jarang tampak lebih bersemangat dan pantang menyerah dibanding muridnya sendiri (baca: aku), sebab aku seringkali tegang dan lupa bernapas saking kerasnya berusaha mengendalikan kopling, juga sedikit mudah ciut hati setiap kali mesin mati tepat di persimpangan jalan atau lampu merah. Pelatihku ini tidak mau dibayar dan tentu sampai mati enggan membiarkan aku membelikannya bensin. Kalau dipikir-pikir, kami seperti melakukan aktivitas transaksional--dia mengajariku mengemudi mobil manual, aku memfasilitasinya konseling. Kedua aktivitas ini tidak punya limit waktu. Tapi, karena aku tidak punya lisensi konselor, aku lebih pede untuk menyebut kegiatan ini sebagai stand up comedysampai sesi terakhir mengemudi. Entah lucu atau tidak, tapi sepertinya aku cukup menghibur. Aku sering khawatir ia akan tersedak amandelnya sendiri saking hebohnya terkikik. Kalau kami bercanda di tepi jurang, aku tidak akan heran kalau ia sudah sejak awal terjungkal. 

Well, tentu saja ini hanya candaan, ya. Tidak ada yang benar-benar bisa kulakukan untuk membalas kebaikannya. Bahkan segepok uang yang secara nominal nilainya puluhan kali lipat lebih besar dari jasanya untuk (nanti) membantuku dalam proses membuat SIM, tetap tidak akan cukup mendekati apa yang kuterima selama ini. Kebaikan adalah keindahan, yang nilainya selalu menuju tak hingga, ketika kita mencoba kembali mengingat dan mengenangnya. Jadi, setidaknya untuk sementara, yang bisa kulakukan adalah memastikannya tahu betapa bersyukurnya aku. 

Kupikir hanya hari Jumat dan Sabtu yang akan terasa sangat menyenangkan. Ternyata, tepat setelah aku bangun siang di hari Minggu, aku mendapati hujan baru saja berhenti dan perutku yang dangdutan (maksudnya lebih heboh dari keroncongan) memberikan aku urge yang begitu besar untuk segera mandi dan pergi ke restoran jepang tak jauh dari kost-ku. Ternyata, chef-nya betulan orang Jepang. Interior mereka juga cukup memberi nuansa yang kuat bahwa aku betulan sedang ada di Jepang. Mereka punya open kitchen, jadi aku dan pengunjung lain bisa melihat chef-nya memasak. 

Tumpukan piring, gelas, tatanan bar, dan oshibori (handuk basah yang mereka sediakan untuk membersihkan tangan sebelum makan) langsung membuatku bernostalgia dengan kenanganku saat pergi ke Sapporo, Hokkaido, tahun 2017 lalu. 


Jangan dipakai untuk kompres dahi ya, hahaha.

Saat itu, Hokkaido masih ada di penghujung musim dingin dan salju masih sesekali turun. Aku benar-benar ingat bagaimana suasana kedai ramen halal yang kukunjungi setelah berjalan berkilo-kilometer dan kedinginan di sekitar Jalan Tanukikoji. Mereka menyambut kami dengan ceria dan langsung menyodorkan handuk-handuk hangat. Sore ini, aku mengelap tangan dengan handuk basah sambil memutar kembali kenangan itu di dalam kepala. Ini memang air Jalan Bandengan Utara, Tambora, tapi hangatnya senyaman saat aku di Sapporo, hahaha. 


Bar ramen di area Tanukikoji, Sapporo (2017).

Oh ya, aku belum cerita tentang apa saja yang kumakan. Tadi aku memesan Wakame Salad dengan dressing à la Jepang yang terbuat dari campuran bawang-bawangan. Singkatnya, ini adalah salad beragam selada dengan sedikit tomat cherry, dan sejenis rumput laut. Segar! Mereka ternyata menyajikannya sepiring besar. Ya, jelas aku tampak seperti kambing kelaparan. Aku menghabiskannya dengan cukup cepat.

Aku suka saus ini!

Tepat setelah aku selesai mengunyah selada terakhirku, main course pesananku pun datang. Waw, sangat thoughtful, pikirku. Apa betul, mereka dengan cermat memerhatikan kapan aku selesai menandaskan appetizer-ku, ya? 

Untuk main course, aku memesan udon dengan topping ayam. Rasanya gurih, seperti pada umumnya kuah soyu, dengan top note rasa jamur Shitake yang cukup kuat. Makanan ini tidak mengejutkan, tapi jelas comforting sekali dan akan cocok ke segala jenis palate. Plus, cuaca sedang mendung dan udara cukup dingin. Est ist perrrrrfekt, kalau kata orang Jerman mah


Tampak dekat, hehehe.


Ada poached egg setengah matang juga!

Sepertinya, terakhir kali aku makan sup semacam ini di bulan November tahun 2021, tepat sebelum aku terbang ke Samarinda untuk pekerjaan pertamaku. Tujuh bulan setelah aku diwisuda. Dulu, aku makan berdua di Sushi Tei, tapi hari ini aku makan sendiri di tempat ini. 

Aku cukup yakin, porsi mereka tidak akan sedikit, tapi jujur aku tidak membayangkan mereka betulan akan memberiku satu panci besar. Kupikir, aku tidak akan sanggup menghabiskannya, tapi ternyata bisa, hahaha. Mungkin nanti malam aku sebaiknya konsumsi angin saja.


Seperti untuk sekeluarga ya, Bunda?

Ada seorang pelayan laki-laki yang melihat gelas kosong. Ia pun datang dengan secerek ocha. "Pulang kerja, Kak? Sendirian?" 

Aku pun tersenyum. "Oh, nggak Kak. Iya sendirian, sengaja ke sini aja..."

Ia pun balas tersenyum, bilang "Oh.. pengen makan udon ya," sambil berlalu. 

Perhatian sekali, pikirku. Kata-kata yang singkat itu cukup membuatku tidak merasa sendirian di sana. Memang, sejauh ini, restoran jepang masih paling cocok untuk agenda solo dine-in. Kapan-kapan, aku pasti akan kembali lagi ke sana. 


Aku dan pasangan kencanku.

Berhubung cuaca masih oke (baca: tidak turun hujan), aku melanjutkan perjalanan menuju Starbucks. Angin sepoi-sepoi membelai jidatku sepanjang jalan, hahaha. Sejuk sekali. Aku tidak henti-hentinya tersenyum selama mengendarai motor, memerhatikan langit yang biru bersih, walau berawan. Cahaya matahari sore tipis-tipis menerabas awan, tapi tentu saja tidak menggangguku. Aku justru sangat menikmatinya. Jalanan juga tidak macet. 

Semuanya sempurna dan semakin sempurna saat aku sampai di Starbucks, memesan minuman favoritku, Asian Dolce Latte dengan oat milk dan pilihan beans Sumatera. Aku naik ke lantai dua, duduk di kursi meja panjang yang biasa digunakan sebagai area kerja. Musik jazzy terputar, seolah menyambut gue yang sedang cosplay menjadi professional author, hahaha. Awww... C'est si bon


POV-ku.

Sekarang sudah jam 4.44 sore. Tepat saat lagu "Blue Sky Collapse" dapat giliran putar di Spotify-ku, aku menyelesaikan post ini dan akan kembali melanjutkan draf novel. Terima kasih sudah menyimak ke-random-an diriku. Have a blessed Sunday, everyone!

Penulis (yang semoga) kesayanganmu,
Dinar Astari a.k.a Metaforancu <3

Comments

Popular Posts