[FLASH FICTION] DIKSI
Dear, Awan.
Kuawali goresan penaku pada selembar kertas kotretan buram yang
berulang-ulang kuhapus dengan karet gelang. Karena aku tak tahu kapan kubisa mencuri
waktu, bila tiba-tiba jadwal remedial ujian tengah semester menyemprotku. Lagipula,
entah mengapa aku yakin bahwa Awan takkan peduli pada lusuhnya kertas ini—pun
pada cerita – cerita yang sepenuh hati kuhimpun.
Meski sebagian besar memori otakku dengan terpaksa terisi vektor, logaritma, kinematika, sampai konfigurasi
electron, selalu ada ruang sisa khusus untuk Awan. Pasalnya akhir – akhir ini aku
merasa ada yang asing menyinggahi hati. Jadi, kulanjutkan saja ritualku ini.
Omong – omong, aku memang suka pojok perpustakaan sekolahku ini.
Aromanya kental kayu mahoni. Lembabnya kekal, walau hujan hanya mengutus rintik
– rintik nakal. Aku juga suka pada lelaki yang memenuhi ruang kepalaku sejak beberapa
waktu lalu.
Mungkin tumpukan kamus sudah mendengus. Sedari tadi tak jua kutemukan satu kata yang merangkum semua. Jadi
kusebut apa, bila perih yang terpilih tuk bersemayam dalam temaram pojok peraduanku?
Perlukah aku membuat studi kasus hanya agar memahami rasaku sendiri?
***
Sebut saja Awan. Karena ada sebagian dari dirinya yang mutlak ia
pendam. Seperti awan yang sukanya mengembunkan air, hingga akhirnya hujan memaksa
menuruni kaki langit. Tak pernah ia biarkan aku menyentuh lebih dalam hidupnya.
Cukup melihat cover yang mentransfer hangat
dirinya—yang sebenarnya—kini tiba-tiba menghilang.
Aku merasa sakit mendapati kenyataan ini. Seperti mengukir luka sendiri.
Perihnya bercerita tentang satu rahasia yang pantang diumbar pada lain manusia.
Tiba – tiba saja aku merasa kecewa. Tiba – tiba saja aku merasa aku kehilangan
diksi.
Menurutmu, aku kenapa? Seketika mendengar ucapmu
seperti lagu. Tawamu pun membelenggu geretak hati yang menaut pikir tak berbalasku.
Karena satu waktu, gumamku hanya namamu. Kuhabiskan waktu hanya dengan termangu.
Menyusun angan, mengeja kenangan.
Setelah membubuhkan titik di akhir kalimat tadi, kutengok koridor.
Orang-orang yang berlalu lalang—dengan raut dan velocity berbeda—selalu menarik perhatianku. Diam-diam kuberdo’a agar
Awan terselip diantara mereka. Rambutnya yang “ringan” tersapu udara pasti sanggup
menentramkanku.
Karena, selelah apapun Awan, ia selalu muncul dengan menawan.
Berlari penuh energi. Pelipisnya yang
berkeringat benar-benar kuingat. Ia seolah selalu sanggup “bertahan” dengan buku- buku dan laptop di ranselnya. Baik untuk menongkrongi software pengolah kata, atau malah jahil mengedit foto teman –
teman sekelas.
“Bahagiaku ada disini. Bahagiamu ada dimana?” tanya Awan saat kumendelik
heran melihat ia terbahak-bahak sendiri dengan editan fotonya yang tak keruan.
Nampaknya ia selalu bahagia. Nampaknya aku benar – benar
kehilangan kebahagiaan. Kehilangan dia.
“Maaf, aku harus pulang.” Itu kalimat terakhir yang kudengar darinya.
Sisanya hanya sayup- sayup tak jelas saat keesokannya ia—seperti
biasa—bersemangat berbagi ilmu dengan kawan-kawan sekelasnya—menutupi
perasaannya yang sebenarnya.
Sempat aku berpikir, benarkah hanya aku yang memahami
keadaannya? Apakah hanya aku yang ditumbalkan untuk kehilangannya?
***
Pulang sekolah waktu itu, ia tak sedikitpun memberiku waktu tuk menyapa.
Dalam sekejap punggungnya menghilang dari kerumunan. Beberapa waktu berselang,
aku pulang sendiri melewati halte dekat sekolahku yang masih muram oleh guyuran
hujan. Halte nampak begitu sepi dan dingin. Disana, satu buket bunga dahlia (seperti
kesukaan kakakku) terlihat sayu bersandar pada besi yang berkarat. Dari jauh,
begitu jelas kulihat nama kakakku tertulis rapi.
Tulisan itu benar-benar tulisan Awan. Tapi bunga itu untuk
kakakku.
***
Seseorang membuka pintu, lewat seenaknya, dengan sepatu berbalutkan
lumpur. Anak pramuka yang kelelahan dan hanya mengincar sejuknya perpus untuk tidur.
Yang takkan pernah rela untuk meluangkan waktu menentukan diksi yang tepat atas
perasaanku ini. Sungguh aku tak peduli. Sekali lagi, aku tak peduli.
Suara hujan makin keras terdengar. Pembicaraan orang-orang di
perpus pun seolah tersensor dengan sendirinya. Pesawat yang hampir seperempat
jam sekali melintasi sekolah pun ikut meramaikan.
Tapi aku tetap merasa sepi.
***
Beri aku saran diksi paling tepat—waktu air
mukamu luntur perlahan, namun perasaanku menyeruak cepat. Kemudian kuberharap dirimu
ada, agar bersama—kita menengadah—menadahi hujan.
Sebab sungguh kubutuh hadirmu. Bukan sekedar
bayangmu. Karena nyatanya kusanggup menelan waktu, demi membuat nyata siluetmu di
bola mataku.
Sekian surat hari ini. Sungguh ku takkan pernah berhenti sampai
kudapati mata coklatnya yang kelam kembali menatapku dalam.
Jika nanti hujan berhenti, dan pandanganku
pun menepi, cukup satu yang kuingini—mendapatimu ada di sisi. Tanda kutak pernah
benar – benar sendiri.
Catatan : Flash fiction ini pernah diikutsertakan dalam event "Antologi Rindu tanpa Kata
Rindu" bulan Oktober 2013.
Catatan : Flash fiction ini pernah diikutsertakan dalam event "Antologi Rindu tanpa Kata
Rindu" bulan Oktober 2013.
hmm. keren ff nya.
ReplyDeleteini menang juga ya di eventnya?
tapi aku gak ngerti endingnya nih.
kalau ada waktu, main ke blogku juga ya
Wah, makasih :)
DeleteSayangnya nggak menang, hehehe. Cuma lolos tahap 1.
Oke oke :D
pemilihan diksinya keren (y)
ReplyDeletebtw, mampir juga ya ke blog aku :D
http://anisaoktariani.blogspot.com/
Thankuuuuy :)
DeleteOke oke
Ceritanya bagus
ReplyDeleteMakasih... :)
Deletehalo.. keren, aku suka baca ceritanya.. bikin terhanyut..
ReplyDeletemain-main ke blogku juga ya, makasi :D
Hai hai.
DeleteWah makasih ;)
Iya, oke Insya Allah ya
Ah, surat untuk awan ya. Hehehe kalo Ashima seringnya buat hujan, kadang cerita ngga penting, tapi rasanya jadi lebih lega setelah dituliskan.
ReplyDeleteTetap semngat menulis yuk! Pasti bakalan jadi lebih keren lagi dari ini, pasti dikasih kesempatan buat menang lagi kapan-kapan :))
Semangat menulis kawan! Baru pertama kali Ashima ke sini, hehehe. Salam kenal ya :))
Hai, salam kenal juga ;) Amiiin, do'akan ya! Hehe.
DeleteHmm.. Awan tuh nama cowoknya. Iya, aku juga suka hujan..
Hai, postingan yang bagus. Ijin blogwalking ya. :-)
ReplyDeleteAda lomba nulis nih. Check This and This!