RUMAH
Episode 1
Bila Saja Kau Berubah Pikiran
"Akulah
gadis itu. Yang selalu menunggumu dari sudut itu. Menjaga siluetmu agar tetap
dalam ruang pandangku.
Kalau aku harus berlelah demi tetap denganmu—ya sudahlah." –Saila
Kalau aku harus berlelah demi tetap denganmu—ya sudahlah." –Saila
Seharian ini
Bandung tak begitu cerah. Tapi kesibukan dan kehampaan ini membuat Saila, chairmate-ku,
setengah gerah. Pelajaran terakhir ini taubahnya sebongkah anugrah. Akan
tetapi, ia kini bernapas lega. Tak lagi ia akan merengkuh heaven on earth-nya.
Tidur di angkutan umum, dengan headset tertancap kuat di telinga.
Lagu-lagu vocaloid akan memenuhi pikirannya—mengalihkannya dari segala
ketidak-keruanan ini.
Oh ya,
tanpanya.
Kau harus tahu,
kali ini tanpanya.
Mungkin untuk
ke depannya juga.
Entah mengapa
seperti sudah lama sekali mereka (Saila dan lelaki yang disukainya) seperti tak
punya “ikatan”.
Mereka hanya
bisa pulang bersama jika Saila meminta. Lelaki itu hanya bisa menunggunya jika
Saila memohon. Hanya paksaanlah yang mampu membuat lelaki itu beranjak.
Kata-kata
seperti: aku pengin tidur, mau main game sampe subuh, besok harus bangun
pagi, dan yang lainnya ada serangkaian frasa yang tentu saja membuat
telinga gadis itu pengang.
Bukan karena
kebenarannya. Tapi kenyataannya.
Setahuku,
sehebat apapun sebuah larangan--jika lelaki itu mau menghadangnya--sudah barang
tentu ia lakukan.
Menurutmu,
apakah Saila akan terus sendiri? Entah sejak kapan lelaki yang disukainya itu
memilih pulang sendiri. Hmm, maaf, mungkin terkadang dengan orang lain juga.
Gadis lain juga. Tak jarang aku melihatnya melenggang bersama orang lain. Tapi
aku tak akan pernah sanggup menyemburnya dengan seribu keheranan ini. Sedikit
saja kata meluncur dari bibirku, aku pasti jadi tak nyaman menyimpan jawaban
lelaki itu atas keheranan ini.
Buat apa kalau
akhirnya memancing kekecewaan Saila.
Hari ini Saila
ingin bisa “sendiri”. Menyamai hobi lelaki itu akhir-akhir ini. Ditinggalkannya
lelaki itu tanpa pesan. Melenggang pelan, membuang semua keinginan. Meremukkan
harapan.
Tapi, tunggu.
Kalau secepat itu,
ia pasti tak sanggup.
Setidaknya,
Saila bisa memandanginya barang sekejap.
Dan benar
saja...
Yah, sejak awal aku sudah tahu ini memang akan menyakitkan. Tapi gadis
itu memilih untuk menerjang badai sebelum badai itu menghampirinya
sekalipun.
Seberapa pantaskah kau untuk ku tunggu
Cukup indahkah dirimu untuk s'lalu kunantikan
Mampukah kau hadir dalam setiap mimpi burukku
Mampukah kita bertahan di saat kita jauh
...
Tapi aku s'lalu menunggumu di sini
Bila saja kau berubah pikiran
"Pulang
sendiri aja, La?" teriakku dari jauh. Selanjutnya terdiam, menunggu kata
apa yang bisa ia suguhkan senja ini padaku.
"Kamu
pulang ke mana sih, La? Rumahmu aja kamu tinggal di sini," sambungku
sambil terkikik. Aku paham betul kerinduannya pada lelaki itu. Maka pantaslah
jika ia hanya bisa melenggang tanpa sepatah kata pun. Ia mungkin tak sanggup
berlama-lama lagi di sekolah, apalagi tanpa nasib yang lebih baik--mendapat
teman pulang.
Senja ini,
sudah sampai langkah ke seratus pun tetap tak kudengar lelaki itu memanggilnya.
Sigh!
Note:
Paragraf yang
berhuruf tebal adalah
lirik lagu Seberapa Pantas dari Sheila On 7
lirik lagu Seberapa Pantas dari Sheila On 7
lo suka ya bikin cerpen, dimana ceweknya menderita karena cowoknya terlalu cuek atau gak peka gitu. haha
ReplyDeletekalimat lo seperti biasa, berupa puisi. kadang susah juga sih gua nerjemahinnya. tapi, kalau udah jadi ciri khas lo, kembangkan trus deh ya.
ditunggu lanjutannya
Ya, abang kan udah kukasih tahu asal usul menulis dengan alur gitu.
DeleteWalah, ketawa di atas penderitaan Saila nih.
Nggak akan ada yg nyalahin kita ketika punya pandangan beda saat baca kalimat yg cenderung nyastra. Jadi ya, berpendapat ajalah saat bacanya. Walaupun sebenarnya, itu sugesti bangjet aja kali. Nggak puisi-puisi amat ah.
Oke. Pantengin terus episod lanjutannya yaaa!
ditunggu kelanjutanya
ReplyDeletesiap anon.. pantengin terus ya, pengennya sih buruan publish kelanjutannya >.< thankuy yah!
DeleteWah... Keren nih cerpennya. Sampai ada silent reader yang nggak mau nyantumin namanya di komentar. Bagus tuh silent reader, walaupun terkesan misterius seperti silent rider. :3 #apaansih
ReplyDeleteWah.. makasih Mas AJ. Beneran keren cerpennya, atau gara2 ada komentator yang anonim nih? Huehe. Ya gapapalah. Kalimat berbelit-belit itu kadang lucu juga ;) Baca lagi ya kalo udah ada kelanjutannya.. Ntar dikabarin via jamban.
Deletemenarik nih. ada kelanjutannya nggak? manaaaaaaaaaa
ReplyDeleteAlhamdulillah kalo menarik. Ada doong.. ntar baca ya. Sabar.. Aku kabarin ntar via jamban. Oceh?
Deleteah blog ini wajib difollow! sukaaaaa. gue juga suka nyastra di blog gue :D
ReplyDeletehehehe.. OK makasih ya! Ditunggu jg komen2 di postingan lainnya. (y) Sama2 nyastra dong hihi..
DeleteWaaaa bagus banget dinaar ceritanya ������
ReplyDeleteWah.. makasih banget Del. Berkunjung terus ya.. Pantengin episod lainjutannya, baca2 jg postingan lama untuk revisi ke depannya. Thankuy sekali lagi ;D
DeleteIkut baca yaa.. :D
ReplyDeletepengeen buat cerita2 kayak gini.. tp waktunya belum ada..
belum ada ide juga sihh.. hahaa,
Oh silakan silakan.. hehe. Tamu agung harus dijamu ya. Baca2 lagi yg lain dong, hehehe. Iya saya juga blm lanjutin episodnya, sama2 ga ada waktu. Tapi ya mau gmn lagi, daripada gak sama sekali hihi. Makasih ya..
Delete