RUMAH

Episode 4
Gadis Itu Ingin Menamparmu Lagi


"Jika keikhlasan memang sudah semestinya hadir saat ini, maka aku merasa payah hari ini. Bahkan payah dalam kepayahanku. Salahkah jika aku ingin ia menghadirkanku di antara mereka, untuk melihatnya menikmati buah tanganku sendiri?" -Saila

Aku ingat terakhir kali aku menggumam, kapan Saila dan Yakta bisa bersama? Jawabannya sudah ada di depan mata.

Sekarang.


Kulihat Yakta dan Saila muncul dari perpusatakaan--berdua saja--dengan sebuah kotak makan besar yang nampak dipenuhi sesuatu.  Tak lama kemudian mereka berpisah,menuju  tempat berbeda.

"Hai, Ta!" seketika buyar lamunanku oleh suara dari arah belakang. Alih-alih takut merasa ge-er, kucoba tetap mempertahankan posisi terakhir. Jika benar seseorang menyapaku, ia pasti menampakkan diri.

"Duh, seriusnya. Liatin apa sih, Teh Ta?"

Tuhkan benar. Seseorang menampakkan diri tak lama setelah aku berstrategi.

"Tehta..tehta.. Maaf ya, aku bukan saudaranya Sin sama Cos!" ujarku mencoba melawak, yang malah dibalas dengan wajah lucu--menekuk--khas Ghandi saat hendak minta maaf.

Laki-laki yang minggu kemarin mendapat bunga dari Saila itu sudah benar-benar seperti hendak sungkem padaku--di koridor yang ramai ini.

"Sudahlah, anak muda. Tegakkan badanmu dan lakukan kegiatan yang lebih bermanfaat ketimbang sungkem di depan orang banyak seperti ini," kataku dalam dialek batak yang dibubuhi sedikit tawa khas inang-inang di pasar.

"Kegiatan bermanfaat? Contohnya?"

"Sujud di kakiku," jawabku sekenanya yang malah membuatnya berekspresi kocak.

"Teganya kau," ucapnya hampir menyerupai nada kecewa kekasih tokoh utama yang ditonton nenekku semalam.

"Maaf, maaf.." ujarku seraya menepuk bahunya yang cukup jauh dari bahuku. "Lebih baik, jawab pertanyaanku sekarang," sambungku nyengir kuda.

Kemudian aku pun bertanya dan ia menjawabnya. Bertanya lagi, lalu dijawab lagi. Begitu seterusnya sampai ia pamit kembali ke kelas dan sebelumnya mampir ke koprasi untuk membeli air mineral.

Jadi, katanya Saila dan Yakta sudah kembali sering bersama akhir-akhir ini. Entah mengapa grafik kebersamaan mereka naik turun dengan ekstrem setiap pekannya. 

Yang jelas, aku turut bahagia jika gadis itu bahagia.

***

Tapi, entah mengapa akhirnya kulihat kebahagiaan yang tak sempurna dam raut muka Saila. Aku yakin ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sekalipun ia sudah kembali terlibat dalam beragam obrolan dengan orang yang diinginkannya.

Pulang sekolah, sengaja kuhampiri ia. Kukatakan apa yang kuamati darinya sejak pagi kudapati ia bersama Yakta keluar dari perpus.

"Kita nggak bener-bener barengan, Ta. Itu cuma sedang lucky. Aku cari dia, dia ternyata ada di perpustakaan," terangnya dengan wajah mendung.

"Tapi, lumayan kan? Seminggu kemarin kalian malah sama sekali nggak ngobrol banyak di ruang ekskul," ujarku berusaha menghibur.

Nyatanya, Saila sendiri yang tahu kebenaran sesungguhnya.
"Siapa bilang kita ngobrol banyak, Ta. Kita cuma.." gadis itu seperti menerawang ke langit. "Apa ya?" Kemudian kehilangan kata. "Hanya nggak sengaja berada dalam satu topik. Kita nggak bener-bener bicara satu sama lain. Cuma barengan ngomentarin omongan orang lain," jelasnya makin sedih.

Baiklah, aku tak punya apapun untuk dilontarkan sekarang. Gadis itu makin nampak tak karuan sejak langkahnya terhenti, sekitar 15 meter dari koridor ruang ekskul yang perlahan ramai oleh tawa dan ucapan terima kasih.

***

Jadi, Yakta sudah menghabiskan biskuit choco chips buatan Saila bersama teman-teman ekskul sementara Saila bahkan belum menapakkan kaki di sana.
Jelas sekali kekecewaan itu menyelubungi Saila yang kini mematung dengan bibir bergetar di sampingku.

Ia hendak menarik tanganku dan menjauhi tempat itu sampai akhirnya tawa orang-orang di sana terhenti seketika.

Kemudian, senyap.

Saila berlari secepat kilat dan menceburkan diri ke dalam danau kecil buatan yang kedalamannya di atas 2 meter itu--tak jauh dari gedung ekskul sekolah.

Dan tak lama kemudian, Yakta pun diseretnya menepi untuk menenangkan diri.

***

Gadis itu ingin menamparmu lagi. Ya, lagi. Kau harus tahu betapa sulitnya ia berpisah denganmu. Bahkan kalaupun ada pilihan, untuk menapaki trotoar usang belasan kilo dari sekolah, ia akan memilihnya. Asal denganmu. Asal dengan tawa asikmu. Tak peduli puluhan bis kota sudah mencibir. Tak peduli senja sudah menyuruh pulang. Karena terjebak dalam "bingkai" matamu adalah yang terbaik yang pernah ada. Yang bisa mengalihkannya dari kubangan teori kekekalan memori.

Gadis itu ingin menamparmu lagi. Ya, lagi. Di telapak tangannya, ada aliran amarah yang mungkin arusnya hanya akan sampai di kerah. Selanjutnya ia tak bisa apa-apa.

Di telapak tangannya ada benang rasa. Yang kadang polanya lebih rumit dari gambar teknik semester empat. Rasa yang meletup; namun takkan sampai pada puncak strobilus. Mana mungkin ia bisa secepat ini berpersepsi, selama sebagian dari lorong hatinya masih berpenghuni. Bergemakan tawa renyah yang kini terbawa bayu menuju peraduan.

Di telapak tangannya ada bekas hapusan nama. Yang dulu dengan bergetar ia upayakan. Demi ujian lari. Demi harga diri.

Di telapak tangannya kini mengalir peluhmu yang bercampur dengan dingin air hujan yang terbendung di sana. Lembut telapak tangannya menyusuri lekuk-lekuk wajahmu, memastikanmu dapat bernapas lega lagi.

Kulihat kecemasan dan kemarahan berfusi sempurna di air mukanya.
Gadis itu ingin menamparmu lagi. Ya, lagi. Sebagaimana yang ia lakukab dalam drama tugas sekolah tahun lalu. Agar kau tahu ia kecewa. Agar kau peka matanya berkaca-kaca. 

Setidaknya agar kau mau membaca, apa yang mungkin sulit tersurat di air muka.  

Dengusannya sungguh bukan karena hukum hund yang membuat peningku menahun. Tapi rahasia hati yang terlanjur terkonfigurasi.

Gadis itu ingin menamparmu lagi. Karena ia benci mendapatimu setengah bersembunyi. Di balik kesibukanmu yang tanpa henti; seperti riak yang tak dapat ditebak. Padahal ia ingin kejelasan.

Hai, kau yang matanya berbingkai. Jangan kau paksakan kejenuhanmu berperang dengan harapanku. Jangan sampai kau de javu, akan dosa sepele masa lalumu. Ia tak masalah dengan semua babak tragedi ini. Selama kau masih peran utama. Walau memang pada awalnya kau peran pengganti.
Gadis itu ingin menamparmu lagi. Ya, lagi. Ingin sampai ke pelipis. Agar ia tahu hangat-dinginnya peluh dari keningmu. Yang tetap takkan membuatmu tampak lesu. Kuyakin, ia ingin selalu menjagamu. Menjaga setiap jengkal alur cerita yang hasilnya apa mau dikata.  

Bukalah kembali buku lusuhmu itu. Mungkin ada yg terselip. Perasaannya yang sedari dulu ia titip.

***

"Jangan sekali-kali kamu kayak gini lagi, Yakta. Nggak semua candaan itu lucu," kurasakan kegeraman jelas hadir sebagai tekanan dalam perkataan Saila. 

Teman-teman yang tadi bercanda di pinggir danau dengan Yakta seakan tertampar secara bersamaan juga. "Ayo pulang," lanjut Saila, refleks menarik tangan Yakta.

Entah apa yang terjadi, tapi yang jelas, genggaman itu terlepas. Saila pun berlalu dari kerumunan itu, pulang sendiri dalam keadaan basah kuyup.

Gadis itu ingin menamparmu lagi. Ya, lagi. Akankah kau mengizinkannya?

Sumber

Bersambung...

Comments

  1. Baru mampir udah suka sama tulisannya :)

    www.fikrimaulanaa.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Kak/ Mas Fikri udah berkunjung lg ke sini. Jangan bosen bosen ya.. aku jg main2 kok ke blog Kak/ Mas Fikri ;)

      Delete
  2. Udah baca dr yg 1. Bagus sekali klimaksnya :O

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waw..makasih udah nyempetin waktu main ke sini. Jgn bosen bosen ya.. kan masih ada episod lanjutan jg (walaupun gatau kpn). Tunggu aja ya..

      Delete
  3. Gambar tehnik semester empat? Sayangnya sekarang diganti tata boga ya?
    Ngomong-ngomong tak peka sekali si Gandhi itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah jujur saya takjub Anda baca postingan ini. Nantikan episod selanjutnya ya. Digatinya gamtek dengan tata boga tak serta merta membuat semua berhenti dan segala keganjilan digenapkan. Soal gandhi hmm.. saya gak bilang dia ga peka loh. Hya saja, ada anonim sebelumnya yg berharap gandhi peka ;)

      Delete
  4. Fun Fact:

    1. Aku pernah nampar Yakta. Dia bukannya nggak peka, dia peka, tapi dia nggak bertindak apa-apa. Dan itu yang bikin aku kesel. Aku pernah lari-lari muterin sekolah cuma demi mukul Yakta. Mukul dengan segenap hati. Tapi masalahku yang ini menyangkut ekskul.

    2. 'Cewek Aneh' adalah predikat yang Yakta kasih buat 2 orang; aku dan Mala. Lol. Makanya kenapa dia bales dipanggil 'Cowok aneh.'

    3. Yakta, Gandhi dan Saila, tiga orang yang aku seret sekaligus buat masuk ekskul. Ternyata sekarang ketiganya terlibat cinta heksagonal yang mengagumkan. They grow up~

    Saran:

    Kalau Saila kesel, sebenernya dia punya wilayah leluasa untuk nampar Yakta sesuka hati. Masalahnya pas aku paksa, "Ya udah lakuin aja..."

    Dia jawab, "Gak tega, Zi..."

    Because Saila will always be Saila. :")

    ReplyDelete
  5. Fun Fact:

    1. Aku pernah nampar Yakta. Dia bukannya nggak peka, dia peka, tapi dia nggak bertindak apa-apa. Dan itu yang bikin aku kesel. Aku pernah lari-lari muterin sekolah cuma demi mukul Yakta. Mukul dengan segenap hati. Tapi masalahku yang ini menyangkut ekskul.

    2. 'Cewek Aneh' adalah predikat yang Yakta kasih buat 2 orang; aku dan Mala. Lol. Makanya kenapa dia bales dipanggil 'Cowok aneh.'

    3. Yakta, Gandhi dan Saila, tiga orang yang aku seret sekaligus buat masuk ekskul. Ternyata sekarang ketiganya terlibat cinta heksagonal yang mengagumkan. They grow up~

    Saran:

    Kalau Saila kesel, sebenernya dia punya wilayah leluasa untuk nampar Yakta sesuka hati. Masalahnya pas aku paksa, "Ya udah lakuin aja..."

    Dia jawab, "Gak tega, Zi..."

    Because Saila will always be Saila. :")

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts