THINKING OUT LOUD

Temaram melahirkan pertanyaan

Atas nama hidup yang terus diwawancarai
Dan kita, yang tak pernah ditanya--namun, dipersilakan untuk memilih

Andai riak air tidak semisterius itu
Mungkin kita bisa tahu apa kiranya yang membuat ia gundah
Mengapa begitu tenang wajahnya, namun menghanyutkan lakunya

Andai saja batu tidak bisu
Mungkin tiap lekuknya yang terkikis hujan, mau bercerita
Apa saja yang ia lihat sejak kutukan itu dianugerahkan
Benarkah diam itu emas?
Mungkinkah bergerak itu permata?

Andai saja daun yang gugur mau bersaksi
Apa yang langit rencanakan sepanjang musim kelabu?
Marahkah alam atas kosakata kota yang beterbangan?
Barangkali ia sempat mencuri dengar dialog di udara

Andai saja rerumputan hari ini tak perlu mandi di kolong langit
Andai saja ia punya waktu untuk menjelaskan, bagaimana petrichor menyerbakkan aroma khas hujan?
Takutkah ia katak-katak malah berhibernasi, tak kejar-kerjaran lagi--menginjakinya?
Semut-semut mulai menyebrangi sungai, tak pulang ke sarang yang mana selalu ada di antaranya?

Andai saja bintang yang redup itu hanya mati suri
Ia hanya lelah dan butuh tidur, sebagaimana kita
Setidaknya, sebelum ia pejamkan mata, aku ingin tahu apakah ia pernah cemburu pada bulan?
Pernahkah ia geram pada matahari?
Sempatkah ia tak percaya diri?
Percayakah bahwa ia begitu cantik?
Benarkah saat kita menikmati cahayanya, ia sudah lama tak bernyawa?

Andai bocah-bocah kecil paham mengapa aku melamun
Mereka bisa sentuh dasar benakku, merasakan berlikunya sabana di sana--kemudian tertidur dan bangun karena panasnya
Andai bocah-bocah kecil mengerti apa itu nestapa
Sungguh, akan menjadi serius semua permainan
Akan menjadi menyeramkan semua ayunan
Akan menjadi sayatan tiap candaan
Maka, mungkinkah jiwa-jiwa ini tak menua? Menjadi evergreen 
Dingin, tapi tak menusuk tulang
Lembut, namun bukan dusta

Andai diksi tak berbahaya
Mungkin sudah kubombardir keheningan ini dengan milyaran pertanyaan

Andai bertanya adalah amal
'Kan kusuguhkan semuanya tak tanggung-tanggung

Sebab, kaulah tamu baruku--yang senangnya bungkam, hobinya mendengarkan

Andai itu semua bukan hanya andai

Dan suatu waktu..

"Sebanyak itukah? Aku bahkan tak tahu harus jawab yang mana. Mungkinkah isi kepalamu sebanyak rumput di stadion?" katamu tersenyum ragu.

"Dan kau baru saja menambah pertanyaan yang ada. Kau menambah populasi manusia yang bertanya dalam tiap hembus napasnya," jawabku, balik tersenyum.

Kemudian, senyum.
Saja.
Tak ada kata.

Benarkah ini jawaban terbaik?
Or.. we don't even need an answer when we're thinking out loud?
In our own questioning class (?)

Comments

  1. saking takjubnya, nggak sia-sia baca :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wuh Ka Fikri bisa aja XD Doakan bisa berkembang lbh baik lagi yaaa.

      Delete
  2. Love your poem.

    Tapi kata-nya terlalu klise. But nice ritme.

    Mari menyambung silaturahmi dengan Liebster Award.
    Sambungkan talinya.

    Your Award in Here. Waiting for Your Respond.
    http://www.wignyaharsono.com/2015/01/menyambung-silaturahmi-via-lister-award.html

    Regards,
    Semoga Hidupmu Tak Sefiksi Ceritaku

    ReplyDelete
  3. aku berkunjuuung. tulisanmu baguuus :) salam kenal yaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai hai salam kenal juga. Jangan bosen bosen main kesini ya. Makasih udah berkunjung :))

      Delete

Post a Comment

Popular Posts