RUMAH

Episode 5 (terakhir)
Pulang


Sebelumnya (episode 1)
Sebelumnya (episode 2)
Sebelumnya (episode 3)
Sebelumnya (episode 4)




Benarlah mungkin sabar tak ada batasnya--kecuali pada diri manusia. Terkadang membatasi sesuatu dan menundanya untuk hal yang lebih penting adalah keputusan yang tepat.

Sekarang Saila melupakan kesabarannya. Ia sadar, ia sudah terlalu lama menyiksa perasaannya sendiri. Luka yang kian lama kian menjadi itu tak ayal membuatnya ingin kembali.

"Kurasa, 'pergi' bukan solusi," terangnya padaku suatu hari.

Sudah berminggu-minggu Saila "pergi" dari Yakta. Menenangkan diri, pun ingin mandiri. Tak perlu lagi ia menunggu tiap pulang sekolah. Tak usah lagi ia membawakan lelaki itu berbagai camilan untuk dinikmati di dalam bus kota sepulag sekolah. Tak lagi memikirkannya dengan sengaja. Buat apa.

Saila kira lukanya sudah mengering. Tak lagi menganga, setidaknya. Akan tetapi rupanya, ia bahkan masih tak mampu memahami diri sendiri.

Kala hujan Februari turun dengan derasnya dan ia mematung kaku dengan bahu yang ringkih membawa ransel, ia tak tahan dengan senyap ini. Tak mau lagi sendiri.

Walau perbuatan konyol ini seakan mencincang habis seluruh harga dirinya, kakinya tak bisa berhenti berjejak.

Tap! Tap! Tap! Suara jejakan kaki gadis itu seakan menggema di lorong sekolah. Beberapa orang bahkan menyempatkan diri untuk memperhatikannya, teralihkan sesaat dari monitor-monitor gadget. 

Akhirnya tiba di gedung ruang ekskul.
"Yakta!" teriaknya parau. "Ayo pulang, Yakta! Kamu terlalu lama jauh dari rumahmu!" Saila bahkan sudah tak peduli dengan segerombol orang yang lalu lalang di seberang sana dengan pandangan heran.

Mereka yang berpayung, bahkan sempat berhenti melangkah demi memastikan apa yang baru saja dilihatnya. Cipratan air yang diciptakan para pejalan kaki sudah tak dirasa lagi.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki mulai terdengar dari lantai dua. Semakin lama semakin jelas dan cepat iramanya.

Saila merasan debar jantungnya mulai tak teratur. Rasanya, menghela nafas saja jadi sangat sulit.

Deg.

Mungkin semua sudah cukup menjelaskan bahwa Sail memang menyukai Yakta.

Deg.

Semakin dekat Saila dengannya, semakin kuatlah perasaannya.

Deg.

Tak lama lagi lelaki itu muncul.

Deg.

Belum sempat Saila menyebut nama, lelaki itu sudah mendekat ke arahnya.

Deg.

Bukan Yakta.


***

"Saila," pekik lelaki itu, seakan tak percaya gadis kurus itu basah kuyup hanya demi mencari laki-laki menyebalkan itu. "Yakta nggak di sini," lanjut lelaki itu.

"Terus di mana?" tanya Saila tak sabar.

"Entah. Sejak tadi siang juga nggak ke sini. Kamu sendiri kenapa nggak kesini seminggu ini? Kemarin-kemarin kan ada Yakta, tapi kamu yang hilang," tutur lelaki itu.

Hilang? Seminggu saja raganya tak mampir di tempat itu, Saila dianggap hilang. Lalu, hampir dua tahun ini Saila di samping Yakta, masih saja seakan tak nyata, batinku.

"Kok nggak tahu, sih? Kalian kan sahabatan. Apa iya di sini cuma aku yang peduliin Yakta?"

Kemudian hening. Dingin angin senja yang menggigilkan tubuh, membuat Saila akhirnya memilih duduk di tangga. Memeluk lutut--menenggelamkan wajahnya yang sudah merah padam sejak tadi.

"Jadi aku yang terlalu peduli?" lirih Saila, mulai menangis. Isaknya menggugah Gandhi untuk menghampirinya dengan hati-hati.

Datang kau lelaki sialan! Di mana batang hidungmu, heh? Aku ingin tahu, apa yang akan kamu rasakan saat sahabatmu sendiri yang menenangkan gadis yang menyukaimu. Ah, mungkin itu biasa pula bagimu, ya? Gumamku geram.

"Laki-laki memang gitu, La. Kamu jangan bikin aku bingung, dong. Gimana kalau aku dituduh ngapa-ngapain kamu sampai sesenggukan?" nada bicara Gandhi langsung berubah.

Semenit, dua menit, Saila belum juga mengangkat wajahnya. Gandhi sudah kehabisan akal. Diambilnya handphone dan segera ia sadar bahwa sudah 2 bulan ini Yakta tidak memakai telepon seluler.

"Memang kampret kamu, Yak!" gumam Gandhi dengan geramnya.

***

Suatu hari, di awal musim kemarau pertama Saila akrab dengan makhluk asing bernama Yakta. 

"Rumahmu di mana Yak?"

"Di Komplek Puri Agung, satu kali naik--"

"Bis kota ke halte G, terus naik angkot hijau-biru, kan?"

Sejenak, hening.

"Benar kan?"

"Iya, benar.."

"Waw, pertanda bakal ada yang bayarin aku ongkos bis nih," Saila tersenyum riang di balik punggung beransel besar yang berat oleh laptop dan tugas harian.

Kemudian, senyap. Lelaki itu bahkan seperti tak berniat untuk berpikir. Di situlah Saila akhirnya sadar, sejak pertama kali bersama Yakta pun ia sudah ditakdirkan untuk menunggu.

Game PSP itu akhirnya tuntas. 

"Jadi kita bakal pulang bareng nih?" Yakta masih bicara tanpa membalikkan badannya.

"Kalau nggak, ngapain kita jalan bareng dari tadi?" Saila tak habis pikir.

"Emangnya, kenapa nggak. Eh iya, rumahmu di mana?" 

Sekarang, sepi. Saila kehabisan diksi.
"Rumahku..."

***
"Yakta, kan?"

"Apa?" sepertinya semua ini memang sudah membuat Saila berantakan. Ia bahkan tak mendengar apa yang Gandhi bicarakan sejak tadi.

"Kamu nggak kesini selama seminggu ini karena Yakta, kan?"

Dan Saila bahkan terlalu lelah untuk bisa mengangguk.

"Kalau boleh aku kasih kamu saran, jangan sampai sikap Yakta yang nggak jarang membuatmu hancur, bikin kamu jauh dari teman-temanmu di sini, La. Apapun yang terjadi, sejauh apapun kamu pergi dari si brengsek itu, hidupnya baik-baik saja. Kaulah yang akan tersiksa--"

"Maksud kamu, dia sama sekali gak menganggap aku?"

Dan ketegangan dimulai lagi.

"Nggak begitu juga sebenarnya.."

"Ohya?" Saila sudah beranjak dari duduknya. Kini matanya menerawang jauh, kepalan tangannya makin kuat. Ia merasakan debar jantung yang kencang itu makin membuatnya geram. "Aku tahu kamu dan Yakta nggak bisa disamakan, Dhi. Tapi... serupa. Aku tahu kamu hanya cari kata-kata yang lebih lembut untuk menjelaskan ini, kan?"

Gandhi terdiam. Andai ia memang bisa menyarakan Saila untuk bertanya saja pads rumput yang bergoyang, ia pasti sudah melakukannya sejak tadi.

***

Apa aku pernah bilang bahwa hidup Yakta begitu ramai? Kalau belum, aku beri tahu sekarang. Hidup Yakta begitu ramai. Meski ia tak suka keramaian, tapi hal itulah yang terus mengiringi hidupnya sampai saat ini. 

Lelaki pintar itu seakan sudah ditakdirkan untuk jadi mercusuar di mana pun ia berada, bersama siapa pun ia di sana. Banyak orang di sekitarnya. Aku tak tahu apa motivasi mereka mendekati Yakta. Aku yakin tak semuanya "menerima" Yakta apa adanya. Dan tentu saja Yakta juga tak peduli akan hal tersebut. 

Termasuk soal perempuan itu.

Itu, perempuan mungil yang melenggang melewati Gandhi dan Saila. 

Saila mengubah posisi berdirinya saat gadis itu menyapa.

"Hai Gandhi, hai--" 

Krik. Krik.

Ah, Ya Tuhan... sekarang apa lagi?

"Seila ya?"

Kemudian, hanya senyum jawabannya.

Kukira sampai situ saja, tapi rupanya ada lagi.

"Maaf," Saila berjalan mendekati gadis mungil yang beberapa bulan ini baru Saila tahu bernama Nania. 

"Namanya Saila. Bukan Seila," tak disangka, Gandhi mencairkan suasana.

"Oh, ma--" Nania tertawa seraya berlalu. Dilihat dari jauh, Nania lumayan mirip dengan Mala. Bukan hanya ukuran fisik yang membuat mereka lucu, tapi juga gaya berpakaian mereka yang khas. Selalu modisda berani bermain warna. Mereka punya suara dengan tope serupa--cempreng khas gadis muda. Selalu berenergi saat menyampaikan sesuatu. 

Dan..

"Mana Yakta?" ujar Saila dengan wajah penuh tanya.

Dari sini, air muka Nania tak begitu berubah. Ia tak nampak terlalu tertohok, seakan sudah punya jawaban tepat dan pasti.

"Baru aja kita pisah," jawabnya singkat.

"Apa?!" 


***

Aku terperangah sebagaimana Saila an Gandhi.

Kemudian, tawa kecil itu terdengar lagi. Nania makin mirip dengan Mala. Benarkah perempuan-perempuan semacam ini akan terus mengiringi kehidupan Yakta--terus membuat Saila berbeda?

"Hahaha.. maksudnya, aku tadi emang sama Yakta, belajar untuk ulangan fisika besok, tapi nggak tahu deh sekarang dia kemana. Mungkin udah pulang..." terang Nania, hendak ambil langkah lagi. 

Namun, rupanya Saila masih ingin bicara. 

"Apa iya? Nggak ke sini?" lirihnya.

Nania hanya mengangguk pelan. Kemudian, ia perhatikan arlojinya lamat-lamat. 

"Udah lumayan lama soalnya. Nggak usah nungguin dia, kamu nanti capek sendiri," jelas Nania membelalakkan mataku, begitupun mata Gandhi dan Saila. 

Kupikir, sekarang akan benar-benar berhenti, tapi...

"Aku Saila. Bukan kamu. Bukan Mala. Aku nggak bisa gitu."

Bagai petir memecah senyap, kata-kata yang singkat itu terlampau jelas untuk dianggap biasa. Gandhi bahkan mundur beberapa langkah setelah mendengarnya.

Aku amat sangat mengerti apa maksudnya. Semuanya sudah tak layak lagi dipertanyakan. Saila menjabarkannya hanya dengan perbandingan sederhana. Itu bukan sarkasme, pun bukan intimidasi. 

Itu suara hati yang menguap lewat perkataan. 

Sebelum Nania balik bertanya, Saila sudah memilih pergi. Berlari (lagi) menerabas hujan yang kini makin lebat. Payungnya tertinggal di dekat tangga, membuat Gandhi mematung memandanginya. Sementara itu, Nania sudah hilang di balik pilar-pilar gedung itu.

***

"Yakta."

Benar, ia adalah Yakta. Lelaki itu rupanya masih ada. Punggung beransel besar itu masih terlihat di balik gerbang belakang sekolah.

Bayangkan gurun yang luas hanya punya satu oase. Bayangkan masih ada kemungkinan oase itu hanyalah fatamorgana. Lalu apa yang masih membuatmu bertahan hidup?

Kesabaran.

Keyakinan.

Dan keinginan untuk...

"Pulang," Saila berkata. Rupanya mata sembab dan wajah yang memerah itu telah menyihir lelaki bernama Yakta untuk mengekorinya sore ini.

Tak ada tanya, tak ada ragu. Mungkin mereka sama-sama tahu--tentang rumah itu.

***

"Gimana renangnya tadi?"

"Nggak gimana-gimana."

"Tesnya lancar?"

"Gerak aja nggak!"

"Kok gitu sih?"

"Aku juga ada lemahnya, Saila!"

"Kamu lupa ya? Pikiran negatif bisa lebih berkuasa dari sebuah kesalahan. Mungkin kamu bisa lebih tapi.."

"Aku udah nyerah dari lama."

"Kenapa? Mungkin kamu kurang sabar aja..."

"Nggak. Aku berusaha logis aja. Sesuatu yang jauh dari angka satu, hampir mutlak nggak mungkin terwujud."

"Nggak semua hal harus logis, kok. Sebuah perjuangan aja kadang nggak masuk akal. Kamu nggak boleh nyerah!"

"Eh, apa hak kamu larang aku buat nggak nyerah? Memang kamu tau susahnya ngejar sesuatu yang seakan nggak mungkin untuk kamu dapat?"

Dan, sepi.

"Tentu. Tapi bedanya, aku nggak akan pernah nyerah..."


***

Pernahkah kamu merasa rindu pada tempat di mana kau tumbuh dan menikmati seluruh nikmat hidup yang Tuhan beri? Bisakah kau jelaskan bagaimana rasanya--betapa tak keruan, tak terdefinisikan. Yang kau tahu hanyalah, kau ingin pulang. Ingin di sana.

Tak peduli seberantakan apa tempatnya. Sesunyi apa suasananya. Segelap apa ruangannya. Sedingin apa hawanya. Selama apakah kau diacuhkan di sana.

Karena hatimu telah tertinggal di sana. Dan kau hanya ingin kembali. Selalu. Kembali. 

Untuk menjadi utuh.  

Kadang, rumah tak selalu berupa tempat. Bisa jadi, ia sebuah ruang yang gaib--kalbu namanya. Bisa jadi, ia adalah seseorang. Yang dalam matanya ditemukan sebuah telaga. Di setiap jengkalnya, kan  terasa sebuah kelegaan. Tak peduli terbuat dari apa hari ini, keputusan berbahagia, menghantarkan jiwa yang damai--di rumahnya--selalu penuh pengharapan.

***


"Kamu kenapa, La? Kok, nangis?"

"Aku cuma senang, aku udah di rumah lagi."


Ribuan hari aku menunggumu
Jutaan lagu tercipta untukmu
Apakah kau akan terus begini?
Masih adakah celah di hatimu
Yang masih bisa aku tuk singgahi
Cobalah aku, kapan engkau mau?
Tahukah lagu yang kau suka?
Tahukah bintang yang kau sapa?
Tahukah rumah yang kau tuju?
Itu aku
Percayalah... itu aku

-fin-

Comments

  1. wah... cerbungnya dah episod terakhir. akhirnya saila bisa bareng yakta lagi. Kasian jg sailanya... mau ktemu yakta eh yang deteng malah gandhi (Gandhi lagi.. gandhi lagi...) Btw, cerbungnya keren abis.... (walau ada beberapa yg typo)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah.. makasih kunjungannya anon. Tunjukkan dong identitasmu. Aku pengen tahu orang baik yg meluangkan waktunya untuk menikmati tulisanku tuh siapa :)
      Maaf ya soal typo. Maklum, ngetik di hp karena blm ada laptop lg. Sekali lg makasih jg sudah komen. Nantikan postingan lainnya ya atau main2 ke postingan lama :)

      Delete
  2. Dinar, aku nangis.

    Dramatis.

    Saila terkesan lebih banyak sakitnya, dan Yakta terkesan amat bangsat. :"

    Dan Gandhi mendadak peka.

    Gandhi mungkin peka sih. Kalau menyangkut Saila.

    Bukan salah Yakta dia deket sama Naina. Dia kan memang tidak terlibat dengan jenis hubungan apa pun. He's a free man.

    😂😂😂😂😂😂

    Tamat?

    Mungkin kisah 'Rumah' nggak bisa dibilang tamat. Masih panjang dan runtut dengan berbagai episode yang belum tersampaikan.

    Kenapa Saila bisa sekuat itu? Karena Yakta juga terus memberi 'harapan'. Sebutlah Yakta playboy, dia memang punya aura jenis itu. Magnet cewek. Nyaman. Pinter.

    Sebagai bendahara ekskul dan ketua ekskul, Saila dan Yakta punya banyak rahasia. Satu waktu aku pernah nanya jumlah uang kas ekskul, karena aku mau bikin perencanaan tahunan.

    Baru juga Saila mau jawab, Yakta motong, "Ga boleh. Yang boleh tau rincian uang kas cuma aku sama Saila aja."

    Jengjengjeng.

    Wajar kan Saila baper terus. Susah move on.

    Aku ngarepin yang terbaik buat mereka deh.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts