YOU ARE THE TRUE POETRY AND I FEEL LIKE I WOULD BE YOUR TRY PART FOREVER





A million miles away
Your signal in the distance
To whom it may concern
I think I lost my way
Getting good at starting over
Every time that I return
...

“Ternyata, adalah sebuah kesalahan besar minum kopi di pojokan tempat tidur dan muter lagu ballad pas hujan turun sore-sore.” Itu yang kukatakan pada Nyns, karibku, saat kami rehat sejenak dari pertempuran syabu-syabu dan suki di sebuah restoran yang menawarkan pelayanan “all you can eat”. Nafsu makan yang tak tertahan rupanya tetap tak mengalihkanku dari serba-serbi lamunan.

Dia memandangku lekang-lekang tepat saat aku hendak lanjut bicara. “Baper?” tukasnya.

Haha. Aku mengangguk.

Iya.

Kemudian, kuteguk orange juiceku langsung dari gelasnya, berusaha menghilangkan perasaan gugup yang tiba-tiba menyergapku di hadapan Nyns, melupakan sedotan yang kuletakan di sebelah gelasku sejak aku selesai mengisi gelas bebas isi ulang itu. 

“Apa sih yang dibaperin seorang kamu? Bukan tugas, kan?" Nyns terkekeh, tak paham. Aku juga, sebenarnya.

Dan saat ini, di pojokan kamar ini, aku kembali memutar lagu. Rock, fyi. No more ballad. Foo Fighters, Kau tahu? Kurang gagah apa band ini? Dentum drum yang keras, tanpa ragu, seakan menjadi energi tersendiri bagi penikmat semacam aku. Aku sengaja tak memilih lagu "Walking after You" sebab sudah jelas full of indescribable feelings.

Well, being a secret admirer who has an eye for something untouchable, somehow isn't simple. Aku saja bisa dengan mudah ikut berbelasungkawa. Ingat, rocker juga manusia. Kalau ada serpihan-serpihan hati yang beterbangan saat Kau mendengarkan bar lagunya, berarti semuanya memang out of control. Mereka memang tidak menyengajakan diri untuk menciptakan desir-desir khas di benak pendengarnya.

Tapi rasanya sama saja. Or maybe getting worse. Meski aku tak menyesap kopi, tak juga menghayati hujan karena pagi ini langit cukup cerah. Mungkin ini memang deskripsi beautiful Sunday morning yang bisa-bisanya aku lewatkan dengan begini.

Sungguh, aku tidak mengerti. Rasanya, makin sakit saja saat Dave Grhol sampai pada bait kedua. Foo Fighters biasa memanfaatkan teknik pergeseran antara verse tenang dan chorus keras. 

Semestinya, aku sudah terbiasa. 

Tapi kurasa, aku malah mulai menangis.

I'm learning to walk again
I believe I've waited long enough
Where do I begin?
I'm learning to talk again
Can't you see I've waited long enough?
Where do I begin?

Ya. Mulai dari mana sebenarnya?

***

Kurasa, aku tak memulainya. Sungguh.

Senja itu, aku tak ingat tanggal berapa. Yang aku tahu, hidupku seperti digadaikan. Percayalah, aku tidak sedang berusaha berhiperbola. Semua memang terasa kacau dan parah waktu itu. Seperti terombang-ambing nasib sendiri, aku terus melakukan hal yang katanya wajib kulakukan demi kebaikanku sendiri, tanpa benar-benar sadar apa yang sebenarnya aku lakukan.

Aku mengerjakan semua yang harus kukerjakan demi mendapat nilai standar kelulusan, tapi seakan-akan aku bahkan tak diberi pilihan. Aku tak punya kendali atas nasibku. Yang aku tahu: (1) aku akan selamat jika tabah dan terus mengerjakannya sampai tuntas, kemudian mengumpulkannya tak melebihi batas waktu; (2) aku akan mati, dalam penyesalan dan rasa malu kalau-kalau aku tak mampu memanfaatkan kesempatan terakhir ini yang berarti nantinya aku akan melipir di masa liburan mengejar nilai itu bahkan saat yang lain mulai merancang daftar kegiatan liburan, memesan tiket pulang kampung, bersenda gurau dengan keluarga di ruang tengah, atau sekadar bergumul dengan bantal dan dibalut selimut di pojok tempat tidur.

Waktu itu, aku harus menuntaskannya, bagaimanapun caranya. Meski hampir mustahil karena waktu tinggal lima belas menit lagi dan aku baru mengerjakan setengahnya.

Aku bagai sekarat. Jari-jariku mulai terasa lemas. Telapak tanganku berkeringat dingin sementara mataku makin panas menahan air mata yang sejak tadi bagai air DAM yang memaksa ingin menghancurkan penutup pipa raksasa tempatnya mengalir saat kemarau. Tapi saat itu, aku tak butuh air mataku, bahkan untuk sekadar menjadi embun di ujung mata. Tak ada gunanya.

Semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Dengan urusannya, dengan keselamatannya, dengan waktunya. Tapi anehnya, tidak dengan Kau.

Kau memberikan separuh waktumu untuk sesaat menghampiriku, bertanya, dan tanpa banyak berpikir segera mengambil beberapa lembar HVS dari map plastik hijauku seraya berucap, "Aku bantu ya."

Aku terperangah, masih tak habis pikir. Namun, kemudian kau berbalik dan tersenyum—entah senyum apa namanya. “Jangan nangis,” tuturmu ingin menghibur.

Tugasku selesai tepat waktu hari itu. Guratan tulisan tanganmu turut meramaikan dua halaman terakhir. Diam-diam, aku berpikir keras bagaimana caranya membalas kebaikanmu, sampai saat ini. Kau datang dan pergi sesuka hati, begitu fluktuatif. Terkadang, seharian Kau bisa di sekitarku. Tapi rupanya, berhari-hari pun bisa kita lewati tanpa sepatah dua patah kata sama sekali. Kau seakan amat paham bagaimana caranya mengecohku, dengan separuh waktumu itu. Kau mempermainkan "jadwal pertemuan" kita tanpa sedikit pun membagi pola atau aturannya padaku.

Wajar jika aku merasa ini tidak adil, bukan?

Aku tidak tahu apa yang selama ini memenuhi sudut-sudut kepalamu. Mau apa Kau sebenarnya? Kau membagi separuh waktumu, untukku, dengan berbagai kejutan kebaikan yang hanya bisa aku rasakan sendiri—bahkan tak Kau biarkan orang lain bisa mengendus semua yang kudapatkan ini.

Kau—entah mengapa—bagai membakar sebilah kayu di dekatku tepat saat langit mendung bekas hujan. Tiap apinya mengecil karena kayu melembab, Kau tambah kayu yang baru, Kau siramkan minyak tanah ke sana, Kau biarkan angin membuatnya makin membara agar hangat kurasa sepanjang malam. Dan paginya, api telah padam. Kau dan abu sisa kayu bakar itu sama-sama tak ada. Entah Kau buang mereka, Kau kubur, atau Kau terbangkan saat aku terlelap. Kau bahkan melenyapkan dirimu sendiri. Tak kau biarkan seorang pun sadar semalam kita menyalakan api.

...
Do you remember the days
We built these paper mountains
And sat and watched them burn?
I think I found my place
Can't you feel it growing stronger?
Little conquerors

Tapi, hei, aku tetap ingat api itu! Aku ingat bagaimana kau menyalakannya dan mengajakku bersama-sama membuatnya lebih dan lebih besar lagi dengan sisa tenaga yang tersisa. Aku selalu ikut apa yang kau katakan, sebab saat hanya aku dan kamu—tentunya tanpa seorang pun tahu—aku selalu bisa merasakan sisi menyenangkan dari sosokmu kurasa tak banyak orang dapati, yang membuat aku punya rasa percaya tersendiri terhadapmu.

Lebih daripada itu, aku menatap jauh menerabas dinding kenyataan, mengeruk dalam-dalam padang rumput dengan embun serupa tetes-tetes memori, mengais-ngais detil-detil sederhana yang malah mampu membuatku tersenyum bahkan di saat aku sama sekali tak ingat rumus inti materi fisika yang diujiankan di hari tersibuk dalam sepekan. Kau telah menjadi bagian dari ingatan. 

Apa Kau sadar?

Setelah banyak hal terjadi, menjadi kerak di dinding sepanjang lorong perjalanan hidupku, aku menemukan kerak yang bagai meremaja setiap waktu. Selalu basah, bahkan sebelum kita memasuki musim penghujan. Bagai tak pernah renta, enggan dilupakan, penuh energi, menyita pikiranku, dan—ya, baiklah, harus kuakui—aku menyukai itu semua. Menyukai hal yang sebenarnya sudah berlalu. Jauh, bagai kadaluarsa. Tapi, siapa peduli remah biskuit jatuh hingga kotornya ketika biskuit itulah yang kita butuhkan saat melawan pahitnya kopi?

Apa Kau mengerti, betapa hal-hal yang biasa dianggap remeh, bahkan mungkin sebagian orang tak menganggapnya, adalah sebuah kejutan menyenangkan untuk jiwa yang haus ketenangan? Aku pemilik jiwa itu, tepat ketika kau pertama kali datang dengan penuh ketiba-tibaan. Menawarkan “obat”, yakni rehat.

Aku—tanpa bermaksud mengumbar kesusahan—mulai berusaha mengakui bahwa terkadang segala tabungan kekuatan yang kita amankan di gudang persediaan tak selalu harus dikeluarkan setiap saat. Kita ini manusia. Jangan lupa. Kita ini manusia. Kita berhak rehat dari pertempuran ini, dari himpitan waktu dan tekanan sana-sini.

Seperti apa aku memaknai kehadiranmu, kurasa bukanlah hal yang terpenting saat ini. Sebab, aku bahkan tak pernah bisa menemukan diksi yang dapat mewakili itu semua. Aku hanya ingin Kau tahu aku bersyukur, sebab Kau telah menjadi seseorang tak terduga yang datang tanpa diminta. Membagiku secuil "manisan", meski tak selalu menemaniku "menikmati"nya.

Seperti apa wujud manisan itu?

Bagiku, itu waktu.  Sebagaimana Kau telah membagi separuhnya buatku. Entah atas dasar apa, pun demi tujuan apa. Siapa juga yang tahu, jangan-jangan kau bahkan seorang Eccedentesiast?

Yang pasti, seseorang dengan wajah teduh, penuh damai bahkan kadang mengundang tawa, yang memberikan kesempatan bagiku untuk bercanda, kemudian sama-sama terpingkal-pingkal, hingga sejenak lupa dengan segala kerumitan masalah yang ada, merupakan hal yang tak terlupakan.

Pada saat-saat di mana aku entah mengapa merasa sendiri, ingatanku tentang separuh waktumu itu menjadi cerita yang terkisahkan dengan sendirinya dalam kepalaku, bahkan saat keramaian adalah satu-satunya kata yang dapat menggambarkan kehidupan di luar sana. Kehidupan di luar benteng yang kubangun saat sendiri. Kehidupan yang mungkin tak pernah mengecap sisi dirimu yang lain saat hanya dengan aku. Kehidupan yang tak tahu apa-apa soal Kau. Kehadiran maupun ketiadaanmu di sana tak mengubah apa-apa. Aku seakan punya ruang sendiri yang menampung semua kesan atas dirimu. Kurasa, aku cukup mandiri perihal ini.

Kau—yang entah mengapa terkadang sulit aku gambarkan—bagai mesin penghasil lembar pertanyaan. Kebebasanku untuk bertanya adalah mutlak, tanpa batasan. Tapi soal jawaban, kau bahkan masih bungkam.

Atau aku yang tak paham?

***

Suatu malam, dengan permadani hitam legam tanpa setitik pun cahaya bintang, Kau terduduk di sebelahku. Kita berkhayal, berbagi "pengelihatan". Kau ceritakan apa yang kau bayangkan, pun aku jelaskan apa yang kuperhatikan. Saat-saat seperti itulah entah mengapa aku merasa kita berbeda tapi juga sekaligus sama.

“Nggak cuma aku kan yang dari kecil mikir luar angkasa tuh batasnya di mana?”

Kau tertawa, renyah. “Kritis banget ya anaknya,” tuturmu dengan nada memuji sekaligus meledek. “By the way, aku juga pernah mikirin itu sih...”

“Tapi, kalaupun ada batasnya, pasti nggak akan jelas di mana. Bakal banyak orang berdebat. Jangan-jangan, kamu lagi salah satu orangnya!” tuduhku seraya tertawa.

“Oh, ya jelas!” sahutnya ikut tertawa. “Nggak deng. Nggak tahu juga. Tapi yang jelas, aku bakal ngikutin pemberitaannya.”

“Tiap liat langit, laut, dan lain-lainnya, aku selalu ngerasa alam nyimpen sesuatu mega raksasa yang—yah, mungkin layak—disebut rahasia. Secerdas apapun manusia, sampai dhuafa waktu gara-gara menghabiskan hidupnya untuk ngepoin rahasia itu, aku yakin dia pada akhirnya akan selalu bertubrukkan dengan banyak kesalahpahaman.”

Ekor mataku melihat Kau tersenyum. “Udah ah. Terlalu dalam.”

“Kenapa? Anggap aja ini pariwara di sela-sela ceramah kamu soal termodinamika, Newton, relativitas dan lain-lain gara-gara semesta ini mendadak berkali-kali lipat lebih indah dari biasanya,” tuturku sambil memperhatikan alam sekitar.

Kau tersenyum simpul, seperti mengiyakan, lalu menengadah, menatap langit lagi. Cukup lama Kau di sampingku, sampai Kau bicara soal fisika lagi.

"Tapi serius, deh," Kau bicara tanpa melihatku. Pandanganmu lurus, entah pada objek apa korneamu Kau pusatkan. "Aku serius soal termodinamika itu," lanjut Kau, dengan sorot mata mendalam.

Aku terdiam, menunggumu lanjut bicara. Sungguh, tak ada sedikit pun keraguan dalam diriku saat kau membicarakan hal macam ini.

"Inget Zeroth Law?"

"Hukum awal termodinamika yang dimasukkannya setelah hukum pertama?"

Kau mengangguk. "Dua sistem dalam keadaan setimbang dengan sistem ketiga, maka ketiganya saling setimbang satu dengan yang lainnya."

"Maksud kamu, rahasia ada sebagai penyeimbang keadaan? Ada hal yang pada akhirnya harus dibiarkan tak terusik supaya semuanya 'baik-baik' aja, gitu?"

Sebuah kurva khas muncul lagi di wajahmu.

Kau mengendikkan bahu. Aku lagi-lagi seakan tak berhak tahu apa-apa.
  
Tak sampai beberapa detik kemudian, Kau berjalan ke tengah lingkaran, dipaksa bergabung dengan permainan kami sekelas.

Kau memilih melakukan yang diperintahkan, ketimbang jujur soal sebuah rahasia yang bisa saja Kau reka-reka.

Dan, mereka mau Kau membaca sebuah puisi.  

"Puisi?" pekikmu terkejut, bagai tengah membuka kertas undian.

Aku menyimak. Bait apa yang sekiranya tersisa di ingatanmu? Seingatku kau jauh dari kesan puitis.

Kau menelan ludah, berkali-kali, aku tahu itu. Kau gugup? Entahlah, kadang kau sangat sulit terbaca. Yang kudengar hanya napasmu yang sedikit tidak biasa.

Dan Kau menggeleng, namun seseorang berseru dari arah belakang. "Ngomong apa ajalah lo! Tutup nih permainan!"

Kurasa, Kau mulai tahu harus bicara apa. 

"Sialan. Kita mau udahan, kan? Yah, todongan ini udah lumayan bangsat sampe aku harus berkicau di depan sini cuma buat jadi penutup. Seenggaknya ada satu hal dari puisi yang aku tangkep, yaitu gimana caranya kita memanifestasikan sesuatu dengan banyak cara. Memang bisa ngundang jutaan persepsi dan sayangnya, the fact is... over-thinking ruins you, ruins the situation, twists things around, makes you worry and makes everything worse than it actually is," matamu berkilat, memandang ke satu titik yang jauh dari lingkaran. Mungkin, Kau mencoba fokus, untuk menusukku.

Sepersekian detik kemudian, kau lanjut bicara, "Dan, yah, buat aku puisi kayak rahasia. Dan cobalah jujur, rahasia itu salah satu hal paling kontroversial, kan? Orang suka, sampai kadang jadi gosip, tapi orang juga benci karena bikin banyak hal cenderung rumit. Tapi rahasia di puisi dikemas indah, selama kita masih belum tahu apa arti sebenarnya..."

Kau tersenyum getir, "Ada banyak hal yang kadang-kadang lebih baik nggak dipahami. masing-masing kita punya 'puisi'. Ya kan?" tanyamu tanpa ingin dijawab.

Aku seperti ditusuk. Jadi selama ini—apa maksud selama ini? Aku harus bersiap menelan pahit tiap makna sebenarnya dari puisi yang Kau buat? Atau dirimulah puisi itu? Kau, dengan segudang hal yang sudah Kau lakukan, adalah manifestasi kesalahpahamanku?

You are a true poetry, and i feel like i would be your try part forever. 

Sementara kau berjalan dilingkupi hening yang tiba-tiba menyelimuti semua orang di sini, aku tergagap-gagap bicara dalam hati. Kau melenggang, dengan ekspresi yang seperti biasa—sulit dibaca. Kukira, kau hendak duduk di sebelahku lagi, ternyata Kau berjalan ke arah lain, bersamaan dengan semua orang yang berdiri dan berjalan ke arah yang beragam. Kau penutup permainan di malam keakraban ini.

I lost you. Literally lost you.

Samar-samar, kulihat kau tersenyum, berjalan mendekat, bukan padaku.

Jadi, aku salah mengartikan?

Pertanyaan itu terus bergemuruh, seakan memekakkan telingaku sendiri.

Aku salah mengartikan?

Aku salah?

Aku terus merasa salah sampai samar-samar, kudengar seseorang berbisik lembut ke telingaku, "Selamat tidur."

Dan aku belum pernah menemukan lukisan punggung yang sekarang semakin mengecil dan nyaris menghilang dari bidang pandangku, kecuali dari dirimu, yang baru saja berlalu.

Aku pun berjalan, perlahan, masih berusaha mencerna apa yang baru saja menghantam kewarasanku. I chose to walk. Not leave or even try to forget, cause I knew. Every time you try to avoid thing that hurts you, remember that it hurts because it mattered. 

I din't run away, maybe you just never knew, when I had my eyes on you. Atas nama ketidakmengertian, aku ingin berterima kasih. You gave me inspiring thing. It's called "if". Thank you, because "if" is the center of life. 

Itu Kau?

Jadi sebenarnya?




Catatan:

Cerita ini ditulis berdasarkan banyak pengalaman, kejadian, dan inspirasi, termasuk tweet-tweet Aan Mansyur dan Mitra Quatro. 

Eccedensiast adalah sebutan bagi orang yang menutupi kesedihannya di balik senyumannya.   

Comments

  1. komentar pertama /yeah

    ayo mampir ke catatan-alifia.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. Can't help feeling familiar, Dinar.

    Pengemasannya bagus, pun cerita Fisika-nya. Kadang aku juga kesel, ketika ada orang yang berpuisi dengan tajuk "ada beberapa hal yang lebih baik kita nggak tahu."

    Menurutku, ungkapan itu egois.

    Tapi yah, yang tak terbantahkan adalah: mau berpuisi atau tidak, itu hak mereka...

    Did I confuse you Din:-(

    Btw tetep keren. Jempol ah pokoknya!

    ReplyDelete
  3. Hey Dinar, It's REEVU. I just lost my LINE account. Please contact with me via"reevu993@outlook.com" or "reevu983@gmail.com"

    ReplyDelete
  4. I think i lost LINE again.. add me again plz

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts