DEPARTURE I
Bagian 1
Prakata: Kalau Kau Hendak Pergi
Kalau kau hendak pergi, tolong jangan terlalu terburu-buru. Aku yakin, kau tak gegabah. Lelaki macam kau penuh dengan perhitungan, pertimbangan, juga daftaran segala imbas positif maupun negatif dari rencana-rencana kau sepanjang musim. Akan tetapi, tetap saja, jangan terlalu terburu-buru dalam berkemas, maksudku. Meski aku tahu kau handal perihal meninggalkan, tapi manusia pada hakikatnya takkan sempurna dalam melupakan. Takkan mampu secepat kilat menghanguskan sisa-sisa perasaan.
Kau, yang notabenenya penuh dengan perencanaan pun, pasti bisa menyesal. Meski belum tentu semenyesal aku tak menahanmu. Jadi, kalau kau hendak pergi, kuingatkan kau untuk berhati-hati dalam memilah dan memilih mana saja yang mau kau hilangkan, yang mau kau bawa terbang, pun yang mau kau hibahkan, kau tinggalkan untukku yang tak tahu mau apa dalam beberapa waktu ke depan--tanpamu.
Aku meminta tolong. Jika kau memang hendak pergi, hilangkan dulu kemagisan yang merekat, terlampau pekat, pada pemandangan yang pernah kita lihat bersama, benda yang sempat kita sentuh, topik yang terlanjur sering kita perdebatkan, jalan yang sehari-hari kita tapaki, hening yang pernah lahir dari amarah bahkan kecanggungan yang terdedah entah karena apa.
Bukan. Tentu bukan maksudku merepotkanmu. Aku bahkan sesungguhnya masih sering meragukan diri sendiri, merasa takkan sanggup melakukannya, meski selangkah demi selangkah, perlahan, tidak dibebani deadline. Namun, seandainya tak segera kubiasakan diriku, tentunya aku akan lebih banyak menangis atau melamun. Bila tak segera kumulai kegiatan anyar ini, barangkali nanti kau malah kurecoki. Jadi, sembari bersiap dan berkemas, sesekali datanglah dan semangati aku, setidaknya. Aku janji, aku takkan menangis. Yah, setidaknya, akan aku usahakan.
Sebagaimana yang kau tahu, aku tidak mau menghapusmu secara utuh. Jauh dalam hatimu, kau juga meragukanku. Ya, kan? Haha. Aku sebegitu payahnya. Lebih jauh lagi, kau tahu sendiri, begini-begini, aku tipe manusia yang amat menghargai sejarah. Apapun yang tertoreh, baik sengaja maupun murni kuasa takdir, bagiku pertemuan dan kebersamaan (kita) sudah menjadi karya Tuhan yang tak perlu dikritisi.
Yang penting, kita tahu jadi. Selanjutnya, terserah kita mau bagaimana.
Dan lagi, kau maunya begini.
Sudah bukan sekali dua kali kudapati kau sibuk menghindarkan kita dari perjumpaan, memenjarakan rindu dengan berbekal kata-kata semacam "jangan" atau "biarkan", tiba-tiba hilang dari peredaran demi merencanakan perpisahan.
Yang penting, kita tahu jadi. Selanjutnya, terserah kita mau bagaimana.
Dan lagi, kau maunya begini.
Sudah bukan sekali dua kali kudapati kau sibuk menghindarkan kita dari perjumpaan, memenjarakan rindu dengan berbekal kata-kata semacam "jangan" atau "biarkan", tiba-tiba hilang dari peredaran demi merencanakan perpisahan.
Saldo ketabahanku makin mendekati defisit. Aku bertahan, mematung menghadapmu berbekal ketololan dan dahaga akan penjelasan, akhirnya bertanya, "Kau mau ke mana?"
Detik itu, kau bahkan kabur dari sorotku. Redup sudah harapku.
Sesaat lagi, matilah aku. Setidaknya begitulah batinku mengasihani nasibku.
Bagaimana tidak, aku yang bukan apa-apa, akan semakin tak terdefinisikan bagimu kalau kau sendiri tak menghadirkan arti atas diriku sebagai sebuah entitas tertentu. Tak lama lagi, nilaiku akan lebih kecil dari bilangan minus, akan semakin samar dan kabur, imajiner layaknya akar negatif. Aku, akan semakin tak nampak. Aku tak akan sempat kaupandangi barang sekali setiap hari. Tak akan lagi jadi orang pertama yang kaukabari berita bahagia macam IPK tinggi atau kabar duka macam pengunduran praktikum sampai berjam-jam.
Aku akan kehilangan posisi sementara kau lega baru saja mereset ulang deretan slot kepalamu yang akhirnya berhasil bersih tanpa isi.
Semudah itukah?
Semudah itulah.
Maka dari itu, aku harap kaumengerti. Butuh ruang dan waktu yang lapang, menuju tak hingga, untuk dapat mengikhlaskan, sebab padamu jualah aku titipkan harap.
Kau bukan segalanya bagiku. Memang bukan demi kau aku hidup, sebab bukan karena kau jua aku ada. Kau hanya sesuatu yang terlampau bermakna dalam bingkai mata, serupa bola pijar, yang sebentar lagi akan meredup dalam ruang pandangku dan akan semakin bersinar di ruang yang lainnya.
Kau bukan apa-apa.
Kau bukan sesuatu yang harus aku pertahankan demi kemaslahatan ummat.
Kau bukan sesuatu, yang saat tak ada, membuatku kehilangan daya bahkan untuk sekadar bernapas.
Bukan apa-apa.
Bukan.
Aku bisa tanpamu, meski jadi sesak.
Aku mandiri, walau sama saja dengan menyakiti diri sendiri.
Tak apa. Aku tangguh, kan? Makanya kau tak gentar untuk meninggalkan.
Ah, ya, memang begitulah dirimu. Tahun-tahun yang kaya dengan memori ini membuatku mengenalmu dengan caraku sendiri. Kita punya gulungan benang yang punya pola anomali. Yang kini terlampau rumit dan sulit diurai kembali.
Kau lain di mataku. Lain di batinku. Tapi, selamanya, tak akan bisa jadi biasa meski kau tak lagi mau bersama.
Kau, sekadar kau, yang terlalu aku sayangi dan sekarang membangunkanku dari ketenggelamanku.
Kau, yang selalu kusemogakan, menolak segala doa yang kupanjatkan. Merencanakan perpisahan, menyusun rapi berkas-berkas kenangan, hingga tiba hari kemarin kau dengan jemawa berkata “siap lepas landas”.
Pada detik itu pula aku bertekad untuk bertambah kuat. Aku tak meminta Tuhan memudahkan jalan kita, sebab sudah sejauh ini yang kita lewati. Sudah sedalam ini yang sudah kita selami. Layakkah kita meminta kemudahan saat kita sendiri sedang didewasakan?
Aku hanya meminta untuk dihebatkan dalam upaya mengikhlaskan.
Di saat-saat seperti ini aku mesti mulai mengimani hal-hal prinsipal manusia semacam kau yang bilang bahwa omong kosong saja kita tak bisa berpindah. Manusia itu makhluk dinamis yang lama-lama juga akan meledak oleh kebosanan, akan terbunuh oleh kesetiaan, akan muak oleh janji, akan frustrasi oleh ambisi, akan menangis juga oleh seseorang yang pernah membahagiakan hati.
Dan benar saja. Sejatinya, kesakitan dan kebahagiaan sama-sama pernah kau hadiahkan.
Sebagaimana kegigihanku yang bagai dua sisi koin. Sekeras itu aku berusaha melupakanmu, sedalam itu aku jatuh kepadamu.
Sebegitu cintanya aku atas dirimu.
Sesederhana dan serumit itu.
Bersambung....
Sebagaimana kegigihanku yang bagai dua sisi koin. Sekeras itu aku berusaha melupakanmu, sedalam itu aku jatuh kepadamu.
Sebegitu cintanya aku atas dirimu.
Sesederhana dan serumit itu.
Bersambung....
Bagus :D jd teringat sesuatu
ReplyDeleteMakasih udah berkunjung, De. Nantikan bagian selanjutnya :)
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletethis is just...... ugh.
ReplyDeleteUgh. Sorry :(
Deleteit's killing me....
ReplyDeletewould you like to keep reading the next chapter, even if we will be dying together?
Deletethis is really good. dalam, tapi tidak berlebihan. terima kasih sudah menerjemahkan perasaan saya. :')
ReplyDeletesama-sama. well, di luar sana jutaan manusia lain sedang menghadapi hal yang sama. terima kasih sudah berkunjung. jangan bosan datang kemari, ya. nantikan bagian selanjutnya :)
DeleteOhh my god,, this is really what i just fely
ReplyDelete