[CERITA BERSAMBUNG] RAHASIA
Keping 2
Melihat ke Belakang
Sebelumnya
"Do
you ever have flashbacks of the worst moments in your life
and
wish you could just go back
and
erase them?"
-Anonymous
Neo
Dua tahun yang lalu...
Bagi manusia,
perpisahan sudah menjadi hal yang lumrah. Kukira, setelah dihadapkan pada
sekian banyak perpisahan, aku akan terbiasa. Tapi, mengapa sebuah pisau tak
kasat mata terus-menerus mengiris aortaku ini?
Apakah Karya menyadari
kejanggalan sikapku malam ini? Aku terus menerus mengkhawatirkannya selagi
menatap iced chocolate-ku yang gelasnya mulai berembun karena hanya
didiamkan sedari tadi.
Aku ingin malam
ini menjadi malam yang spesial, malam yang menjadi kenangan terindah yang kami
punya. Tapi, kenapa justru kecanggungan ini yang terjadi?
Keheningan juga
hanya memperburuk suasana. Padahal, ini merupakan malam terakhir sebelum
keberangkatanku. Mulai besok, aku takkan bisa menatap mata ini lagi, melihat
gerak-gerik alisnya tiap kali ekspresinya berganti, memandang bibir merah ceri
yang berkali-kali mengucapkan namaku tiap kami bertemu, tangannya yang
bermain-main saat ia menjelaskan berbagai hal, rambutnya yang...
“Neo.”
Karya akhirnya
mengakhiri kebisuannya. Pikiranku kembali berfokus ke kenyataan.
“Aku… mau bicara
serius.”
Mendengarnya,
napasku tertahan. Situasi ini sangat kontras dengan ketakutanku selama
itu.
Itu hal
terburuk yang mungkin terjadi malam ini,
teriakku frustrasi di dalam hati.
Tidak mendengar
teriakan itu, Karya melanjutkan kata-katanya. “Aku benci rahasia.” Ia
mengatakannya perlahan, bagai mengeja, agar aku mengerti dengan pasti makna
tiap katanya. “Dan karena itu, aku nggak ingin ada rahasia yang masih
kusimpan darimu. Aku harap, kamu juga nggak menyembunyikan apapun,” katanya,
dengan mata yang entah kenapa menolak menatapku.
“Rahasia?” tanyaku
sambil mengangkat alis. “Rahasia apa, Kar? Jadwal mens-mu pun aku tahu kok.” Aku
berhasil mengeluarkan seringai terbaik yang bisa kupaksakan saat itu. Namun…
“Neo. Aku.
Serius.”
Dia marah dan
sinar matanya menyeramkan. Tapi, sayangnya, tetap cantik.
“Neo. Aku serius.”
Dia mengatakannya
lagi, namun kali ini dengan pupil yang bergerak liar, seakan otaknya sedang
berpikir sekeras-kerasnya demi mencari kata-kata terbaik untuk meyakinkanku. Lalu,
ia menarik napas dalam dan mengatakan hal yang paling ingin kuhindari.
“Aku suka kamu.”
Badanku spontan
melemas.
***
Hubungan kami
sebelumnya hanya sebatas pertemanan, persahabatan antara dua orang yang berbeda
gender. Tidak lebih dan tidak kurang. Hanya teman main yang sering
bertukar kisah saat malam hari sebelum tidur atau saling curhat sambil
menikmati iced chocolate berdua di kafé ini.
Tapi, entah sejak
kapan perasaanku berubah. Berubah menjadi perasaan yang tabu dalam sebuah
hubungan pertemanan. Perasaan yang sepengetahuanku hanya akan berujung pada
mimpi buruk. Aku tidak menginginkannya dan selalu berusaha membuang jauh-jauh
perasaan yang sudah bagai boomerang itu. Tak peduli kulempar sekuat apa pun
juga, tetap akan kembali dengan balasan yang lebih kuat lagi.
Sayangnya, Karya
juga merasakan hal yang sama. Perasaan yang ia sebut sebagai rahasia, tapi
justru malam ini ia bocorkan ke dunia.
Menanggapinya, aku
berkata, “Aku juga suka kok--”
...
“kita kan teman.”
Aku tetap
menghindar.
Karya
membelalakkan matanya. "Nggak, Neo. Melebihi persahabatan ini. Lebih jauh
lagi.”
Aku tetap diam,
dan bahkan kali ini tidak sanggup melihat pupilnya yang bergetar itu. Aku hanya
bisa menunduk, takut mataku meneriakkan kegundahan di dalam hati.
Tak kusangka, ia malah dengan berani memperjelas segalanya, memperkeruh masalah ini. "Aku… Aku cinta kamu,” begitu katanya.
Lalu, menanggapinya...
“Hahaha!” Aku tertawa. Tawaku yang awalnya hanya berupa topeng yang menutupi segalanya kini kian menjadi-jadi.
“Hahahahahahhahahahahaha!” Aku tertawa, menertawai nasib burukku. Tertawa berusaha menyembunyikan kesedihanku. Tertawa menanggapi rasa senang di hati. Rasa senang yang malah membuatku mual!
“NEO!"
"Hahahahahaha!!!"
"NEO!!!"
"..."
BRAKK!! Suara ini
akhirnya menghentikan tawaku, membuatku kembali menatap wajahnya dengan
ekspresi yang baru pertama kali kulihat. Kaget, kecewa, marah, heran, bingung,
bercampur menjadi satu.
“Kenapa?! Lucu?
Bagimu ini lucu?! Usahaku untuk jujur ini lucu?! Perasaanku ini, kamu anggap
apa?!!!”
Bencana! Aku ingin sekali meneriakkannya.
“Maaf…” tapi justru kata itu yang mulutku ucapkan.
Karya mengatur-ulang napasnya, lalu membenarkan posisi duduknya. Kemarahannya tadi seketika menghilang, tergantikan oleh tatapan penuh kesedihan ke arah gelas iced chocolate-nya. Tak lama kemudian, ia menatapku sambil tersenyum, senyuman yang pasti berlawanan dengan isi hatinya.
Sekali lagi ia sampaikan hal itu padaku. “Aku serius, Neo. Aku cinta kamu.”
Setelah
mendengarnya lagi, aku pun berkata jujur.
“Maaf, Kar. Aku…
nggak bisa.”
“Kenapa?”
tanyanya.
“…”
“Kenapa?” kali ini
dengan suara yang lebih lantang.
“…”
Aku harus bilang apa?!
“Neo!”
“Aku….”
Sekeras mungkin
aku berpikir. Otak kanan, otak kiri, otak tengah, bahkan otak kecil hingga ke
medulla spinalis, seluruh sistem sarafku kugunakan untuk memikirkan kebohongan
terbaik untuk disampaikan saat ini. Kebohongan yang setidaknya takkan merusak
pertemanan kami.
“LDR itu susah,
Kar.“
“Susah bukan
berarti nggak bisa, kan? Pas kamu liburan juga kita masih sering chatting.”
“Nanti…. Nanti
orang tuamu gak setuju."
"Ibuku tau
apa yang aku lakukan sekarang.”
“Banyak cowok lain
yang lebih baik dari aku!“
“Kamu yang terbaik
buat aku. Titik.”
“…”
“Neo, cukup. Nggak
perlu menambah banyak bualan yang kamu sebutkan. Atau... atau jangan-jangan
kamu sudah punya perempuan lain?! Perempuan yang kamu sembunyikan dari sahabat
sendiri!”
“Aku…”
“Neo,” dia terus
mendesakku. “Neo!”
“…”
Kini, Karya
menatap lurus ke mataku.
“Setelah
bertahun-tahun persahabatan kita ini, apa nggak pernah terbesit juga perasaan
cinta di hati kamu? Apa nggak pernah kamu melihat aku sebagai lawan jenismu?
Apa nggak pernah jantungmu berdetak lebih kencang saat tatapan kita bertemu?
Apa… Apa kamu nggak pernah takut kehilangan aku?”
Aku kehabisan kata-kata.
Aku ingin
menangis, mengiyakan semuanya, menerima saja semua yang sudah dijejalkan oleh
Karya.
“Besok kamu bakal
pergi, Neo. Pergi, pergi jauh dan bertemu orang-orang baru. Aku… Aku takut kehilangan
kamu. A-aku takut tatapanmu padaku akan berubah setelah mendapat teman-teman
baru, setelah kamu dekat dengan perempuan lain dan melupakan aku.”
Hatiku gundah.
Melihat air mata perempuan yang kamu cintai, lelaki mana yang mampu menahan
ketetapan hatinya? Segala hal yang diutarakannya, tidak satu pun yang bisa
kubantah.
Aku yang sekarang mungkin mencintai Karya. Tapi, hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaanku tahun depan atau dua tahun setelahnya. Bisa berpikiran begini pun, aku tahu bahwa aku cowok brengsek! Tapi, saat aku mengatakan “ya”, semua akan berubah. Berubah menjadi hal yang takkan bisa kembali seperti semula lagi, tak peduli seberapa keras usahaku.
Aku menarik napas
panjang.
“Maaf, Kar…”
Kutatap lekat-lekat kedua pupil cokelat itu.
“Aku cinta
perempuan lain.”
Aaaah,
benar-benar brengsek!
“Bukan kamu.”
Cowok munafik
terkutuk!
“Aku nggak pernah
mencintai kamu.”
Karya hanya
menatapku, lalu berdiri setelah menyambar tasnya.
"Duluan."
Ia sempat
berbalik, kemudian tidak pernah menatapku lagi setelah itu.
“Take care. Semoga
bahagia.”
***
Itu pertemuan dan
kali terakhir aku berbincang dengan Karya, baik secara langsung maupun tidak.
Entah apakah aku akan menyesali ini nantinya, atau aku di masa depan akan
memuji diriku yang sekarang, aku tidak tahu. Benar tidaknya tindakanku itu, aku
juga tidak tahu.
Mungkin aku memang
salah. Mungkin tidak ada yang akan membenarkan tindakanku ini. Tapi setidaknya,
aku sudah memutuskan satu hal. Aku pasti memperbaiki hubungan ini. Entah
bagaimana pun caranya, walau harus terbang ke belahan lain planet ini atau apa.
Saat ia memanggil
namaku, aku pasti akan datang.
Pasti.
Bersambung...
Bandung, Juli 2016
Dinar & RG
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.cc
dewa-lotto.vip