HALO-HALO BANDUNG




Halo? Halo? Bandung? 
Iya, saya kangen sekali. Kalau perlu, saya jilati paving blok anyar di Saparua untuk menunjukkan kedegilan saya kembali ke situ. Tapi, tidak perlu kan? Dengan menemuimu, semua jelas sudah. Saya pengin pulang. Secara konotatif dan denotatif. Kamu ngerti?

Hei, Bung! Ini benar kamu? Bagaimana, tugasmu rampung sudah kan? Katakan, kamu sebentar lagi punya waktu buat ketemu. Ya, kan? Peperangan sudah agak mereda, jadi saya bisa kabur sesaat. Kalau sama kamu, ada geranat lewat juga, kayaknya saya nggak akan sadar. Jadi, tancap gas saja, jangan terus kita tunda. Baiknya gimana?

Saya akan sampai di stasiun kota besok sekitar pukul 3 sore. Pas lah, cuaca lagi bagus-bagusnya. Saya punya kenalan anak meteorologi. 'Dukun cuaca' dia. Dia bilang, semesta mendukung kita sepertinya. Langit berawan, tapi takkan hujan. Kalau hujan pun, kamu biasa simpan payung kan? Ah, tak pakai payung pun, saya tetap senang. Santailah, yang penting kita jalan. 

Kenapa? Saya? Iya, saya begadang lagi. Ah... Tak minum kopi! Sudah lama saya hindari. Saya rasa, dengan berjauhan, kadang kita jadi makin suka kan? Pas waktunya menikmati, jadi makin sayang. Jadi berhati-hati, takkan menyakiti diri sendiri dengan berlebihan mengonsumsi. Sesuatu yang kita hargai tinggi, tidak serta-merta kita babat sekali jadi. Tapi, cukup sesekali, diresapi, disyukuri. Rasa yang sejati. 

Lagi pula, akhir-akhir ini saya tak perlu kopi, lah. Saya terjaga tanpa perlu berusaha. Berbaring hanya biar tak sakit badan. Pikiran saya tetap bagai gerbong kereta yang meluncur tanpa kemudi, ditinggal masinisnya, dibiarkan bebas berputar ke rute yang itu-itu saja. Berharap menemukan ingatan yang sudah jadi ceceran keping puzzle di semak-semak belukar kanan-kiri jalan. Mencari apa-apa yang dirasa bisa jadi bahan simpanan untuk bekal mencari jawaban.

Yah, kamu juga tahu kan. Saya sudah mencandu pertanyaan. Setara dengan kawan-kawan kamu yang dulu gila tembakau atau bahkan nyabu segala. Sebagian lagi, kudengar, sekarang makin kekinian dengan pakai jamur tahi sapi itu. Mereka hanya tak tahu di sini ada orang yang tiap dini hari "tinggi" padahal cuma modal semadi. Haha, siapa lagi? Saya lah! Saya yang sayangnya keburu kamu sukai. Gila ya kamu. Emang sinting. Sayang kok sama orang macam saya? 

...

Halo? Halo? Bandung? 
Kamu masih di situ? Dengar saya tak?
Iya, benar, ada yang mau saya sampaikan di sini sekarang. Ada dua. 

Yang kesatu, 
saya rasa, kalau saya akhirnya harus meninggalkan Bandung, saya akan tetap kembali. Untuk apa-apa yang saya tidak sengaja tinggalkan di sana, juga apa-apa yang telah seseorang curi dengan penuh kesantunan juga kesadaran dan keikhlasan saya. Perasaan saya. Hati saya.

Yang kedua,
kok, diam saja? Kamu bohong? Kamu mau ingkar? Kamu sudah janji untuk bertanggungjawab atas pencurian 'itu', Bung!

Halo? 
Bung?
Saya harus bilang, di Bandung takkan hujan air. Tapi, bakal hujan geranat. Dan, kita masih jauhan. 

Bung, 
saya yang sinting, ternyata. Saya lebih dulu bilang rindu ketimbang ngabarin soal ini ke kamu. 

Bung, 
tolong katakan, kamu baik-baik saja. Suara apa gerangan? Percayalah, rasanya saya mau mati saja sekarang. Barengan. Tak apa. 

Bung, saya sayang...

Bung? Perlu saya 'susul' kamu sekarang?




Cimahi, 5 Juli 2016
Dinar Astari

Comments

Popular Posts