[CERITA BERSAMBUNG] RAHASIA



Keping 3 
Pengakuan








"Kita memang tak pernah tahu apa yang dirindukan sampai sesuatu itu tiba di depan mata."
(Supernova Episode Akar, Dewi Lestari)


Karya

Seandainya aku diizinkan untuk terus menunduk saja.

Aku masih setengah menunduk saat ia menarik kursi, lalu duduk dan diam saja. Aku tahu dia sedikit berupaya untuk mengintip wajahku, kemudian mengalihkan pandangannya tepat saat aku akhirnya mendongak.

Pupil matanya menciut mendapatiku seperti ini. Seperti yang sudah kubilang, aku pasti takkan terlihat seperti biasanya. Aku pun berupaya sedikit merapikan poni.

“Nggak apa, Karya,” katanya tanpa ekspresi. Aku tercenung dengan tangan masih memegangi dahi. “Nggak apa,” lanjutnya meyakinkan.

Aku menghela napas panjang, lalu menyodorkan iced chocolate satu lagi padanya. “Yang kamu,” ucapku, masih parau.

Ia memandangi minuman itu sebelum akhirnya menusukkan sedotan ke bagian penutup gelas sambil berkata, “Bagus. Cokelat menyembuhkan.”

Aku tersenyum sekilas. “Terus, kenapa mukamu masih kusut begitu?”

Pertanyaanku membuatnya langsung mencucup iced chocolate itu lagi. “Ah, nggak. Tiba-tiba ingat omongan kamu dulu. Coffee and friend make the perfect blend. Tapi, akhirnya kita selalu minum cokelat dingin. Ya, kan?”

Tiba-tiba saja terasa nyeri.

Mungkin, itulah mengapa aku dan kamu tidak pernah menjadi kita, Neo.

Dia tak tahu saja bahwa perkataanku itu meluncur mulus sebelum aku akhirnya meranggas semua egoku dan jujur pada diri sendiri, bahwa di relung hatiku yang terdalam diam-diam ada sebuah harapan yang mengkristal, yakni harapan untuk bisa lebih dari sekadar teman.

Dengan sisa kesadaran dan stok kalimat terbijak yang kupunya, aku berkata, “We always make the perfect blend, no matter what we take,” hanya itu yang muncul di kepalaku, mengingat ada jutaan memori antara kami yang mana tak ada satu pun yang kusesali. Kapanpun, di manapun, dan apapun yang kami nikmati bersama adalah sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang memiliki lebih dan kurang sehingga menjadi seimbang. 

Aku yang menyayanginya secara berlebih dan ia yang kurang tahu perihal ini. Tidak, dia hanya tak mau memahami dengan lebih baik lagi.

Lalu, hening. Kafé semi-outdoor ini mulai ramai dan aku semakin ragu untuk mulai bicara. Lewat ekor mataku, kudapati ia menanti dengan sungguh-sungguh.

Aku pun memulainya.

***

Keluargaku berantakan. Sungguh. Kalau standar ketidakrapian setiap orang itu berbeda, setidaknya menurutku keluargaku memang berantakan. Kacau. Tidak tenteram. Tak pernah sama lagi.

Sejak aku memutuskan tinggal sendiri, menyewa sebuah kamar kost dekat kampus, setiap ada keributan, ibu pasti meneleponku. Dan akhir-akhir ini, ibu menelepon aku setiap hari. Jadi, bayangkan saja bagimana kacaunya suasana rumah sekarang. Aku tak mau dan tak bisa pulang sesering dulu sebab kadang malah menyulut kemarahan orang tuaku. Kondisi mental kami semua yang memang memburuk secara signifikan membuat segala masalah kecil jadi melahirkan perdebatan panjang. 

Adik pertamaku sudah beranjak remaja, jadi ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah demi menyelamatkan diri dari kepekakkan telinga. Adik keduaku masih SD dan ujung-ujungnya hanya bisa menangis di pojokan kamar, mempertanyakan semua kekacauan ini.

Musibah memang tidak pernah datang setengah-setengah. Setidaknya, itu yang kusimpulkan dari kehidupanku saat ini. Dengan beban moral seberat ini, aku masih dihadapkan dengan berbagai masalah di kampus.

“Ada banyak kegiatan—atau lebih tepatnya disebut urusan—di kampus dan aku dapat terlalu banyak tanggung jawab karena orang-orang egois itu ninggalin kewajiban mereka seenaknya sementara aku repot membagi waktu antara ngampus dan juga freelance. Aku harus menelan mentah-mentah nasib buruk ini karena berontak hanya akan menambah masalah dan manusia-manusia itu nggak akan pernah paham apa yang menimpaku. Aku nggak pernah sampaikan masalah keluargaku karena aku tahu mereka nggak akan mau memaklumi. Bukan saatnya lagi aku meratapi edannya dunia ini, Neo. Di sini, sekarang, aku kayak terjebak di rantai makanan. Ujung-ujungnya, aku bakal dimakan. Jadi seenggaknya, aku nggak mau buang tenaga untuk berkoar-koar minta dipahami. Lebih jauh lagi, aku juga was-was bakal dipecat di kantor magangku karena ada berkas yang ketumpahan kopi saking aku terkantuk-kantuk selama lembur.”

Neo menyeruput iced chocolate-nya yang kini tinggal setengah gelas sambil menatap ke jalan raya, satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk tak membiarkannya melihat genangan air di mataku.

“Sementara ini kamu harus korbanin salah satunya untuk lebih fokus ke yang lainnya, Kar. Nggak mungkin kan kamu korbanin kuliahmu? Kamu mahasiswa. Tugas utamamu kuliah, bukan ngantor,” tuturnya lembut.

Aku menggeleng. “Gimana aku mau kuliah kalau uang semesterku aja masih nunggak, Neo…” jawabku disusul dengan dengusan keras.

Neo tak menjawab. Ia tampak tersentak dan tak habis pikir dengan semua ini. Sulit bagiku untuk benar-benar memerhatikan ekspresinya ketika aku sendiri menghindarkan wajahku dari tatapannya. 

Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak menangis. Aku sudah bilang di telepon tadi bahwa aku ingin bertemu dan bicara dengannya, bukan membebaninya.

“Keuangan keluargaku benar-benar jatuh, Neo. Si keparat itu—kamu ingat, kan, saudara sepupuku yang yatim piatu dan dirawat ibuku sejak kecil—beneran ngerampok harta keluargaku yang nggak seberapa itu. Ngehambur-hamburinnya dalam beberapa malam aja, terus sekarang masih memeras sebisanya karena dia harus rehab!” kurasakan napasku mulai memburu. Neo menyodorkan iced chocolate-nya, berhubung punyaku sudah habis sejak awal percakapan. Tapi, aku menggeleng. “Dari dulu ayah selalu nggak setuju kami menampung sepupuku itu karena dari awal aja gelagatnya udah nggak beres. Kata ayah, dia nggak akan bener-bener sekolah dan nggak akan bisa dipercaya mau bagaimanapun juga. Sayangnya, ibu nggak pernah tega melepas anak itu sekalipun dia udah tujuh belas tahun. Dengan alasan ibu nggak mungkin mengingkari janjinya atas wasiat kakaknya yang mati di dekapannya sendiri. Ibu udah berjanji untuk selalu menjaga dan merawat anak itu. Sayangnya, sekarang, lihat! Semua kejadian, kan? Dia mencuri, judi, mabuk-mabukkan, ngeganja, pesta-pesta seakan kami mesin uang. Gila aja! Sekarang ibuku masih mau biayai dia untuk rehabilitasi!!!”

Kalau aku ditanya bagaimana tanggapan ayah, jelas ayah marah besar. Murka, barangkali. Susah payah beliau kerja selama ini, ternyata habis dalam hitungan hari hanya untuk anak tak tahu diuntung itu. Dan ibu menangis-nangis, tersengut-sengut, memohon kelapangan hati ayah. Tapi, ayah sudah tak bisa lagi memberi kesempatan. Ayah bersikukuh tak mau lagi berkorban untuk anak itu. Ibu bersimpuh, bersujud, menarik-narik kaki ayah, tapi ayah tetap memilih pergi. Ayah bilang, sebelum anak itu lenyap dari rumah kami, ayah takkan pulang ke rumah. Ibu makin histeris, berteriak-teriak sudah seperti orang gila yang hendak diarak orang satu kampung, hingga ayah tak bisa melangkahkan kaki karena cengkeramannya. Dan…

Neo mendekatkan wajahnya padaku. 

Kejadian itu semakin jelas terbayang. Aku hampir tak bisa menahan airmataku. Tapi, ternyata sisa kekuatan itu masih ada.

Aku mengangkat dagu. 

"Dan... kejadian."

Pastilah sesuatu yang kasar dan tajam baru saja mencekat kerongkonganku sebab seketika aku kelu. Sungguh dilema yang amat berat buatku menyampaikan ini. Satu sisi, inginku, dunia tak perlu tahu, sekalipun hanya lewat pembicaraan Neo denganku. Tapi di sisi lain, aku sudah terlalu frustrasi.

Neo tak sedikitpun mengalihkan pandangannya dariku. Ia masih diam, membiarkanku melakukan yang perlu kulakukan termasuk meredakan kesesakkan ini. Ia bahkan tak membetulkan posisi duduknya sejak tadi.

Ternyata sudah jatuh. Airmataku sudah jatuh, tanpa dapat kucegah. Entah khayalan semacam apa yang kulakukan, tapi seolah aku dapat melihat mata Neo mengeruh saat aku mengusap pipi dan ujung mataku. Entah apa yang baru saja dilihatnya. Entah apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Yang jelas, aku semakin tak keruan setelah itu.

"Ayah menampar ibu."

Ia tersentak. Aku bisa pastikan ia tersentak. Rautnya yang menegang menunjukkan keterkejutannya.

“Dan aku nyesel, Neo. Sumpah, percayalah, aku nyesel, Neo. Aku nyesel udah refleks menyerang ayah dengan tangan mengepal. Meski karena ingin melindungi ibu, tapi itu juga berarti aku tega menyakiti ayah…” mataku semakin basah saja. Aku pun semakin keras menghapusnya dengan punggung tangan sampai terasa perih.

Aku masih merasakan nyeri di ulu hatiku merambat ke dada ketika Neo akhirnya menyandarkan punggungnya ke kursi. 

Mungkin Neo kecewa, seperti yang sudah kuduga. Tepat, sebagaimana yang aku takuti. 

Tapi, matanya menagih kelanjutan.

“Ayah seperti kerasukan. Ayah mengambil guci kecil di meja tamu dan hampir memukulkannya ke kepalaku kalau ibu nggak melepas cengkeramannya,” lanjutku, kemudian aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah, masih berusaha mengendalikan diri untuk tak lanjut menangis.

Neo kini bahkan tampak melamun. Bola matanya tak bergerak ke manapun. Menit demi menit kami isi dengan kebungkaman. Ia sibuk berpikir dalam diam sementara aku hanya memandangi jalan raya, setidaknya lebih baik daripada mendapati Neo dalam kebingungannya itu. 

Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku juga berpikir, sebab pening di kepalaku semakin parah. Aku hanya bisa mengingat apa yang baru saja kukatakan, terlepas dari kejadian mengerikan di rumah antara aku, ibu, dan ayah yang tak bisa berhenti berkelebat dalam pikiranku.

Aku menerka-nerka apa yang akan dikatakan Neo padaku. Apa selanjutnya ia akan marah? Kalaupun iya, aku tak bisa lagi menghindarinya. Apapun tanggapannya, aku harus siap.

“Aku minta maaf, mungkin aku nggak semestinya menceritakan ini ke kamu atau mungkin memang lebih baik menyimpannya sendiri karena ini sebuah aib. Aku bahkan nggak tahu harus apa sekarang. Aku hanya ngerasa beban ini benar-benar memberatkanku. Sulit. Membuat aku bahkan nggak lagi bisa tidur dengan nyenyak. Aku tahu semua orang punya masalah dan barangkali justru kamu pun sekarang lagi ngalamin kesulitan. Aku minta maaf—”

“Ssst…” Neo menggeleng. Kedua tangannya kini tertangkup di atas kedua tanganku yang mengepal. “Berterimakasihlah. Cukup.” Mungkin tatapanku yang mengemis ampunan sudah membuatnya iba.

Aku membeku, seakan waktu berhenti berdetak beberapa saat. Ini bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Genggaman itu bahkan tak pernah berani kuharapkan bahkan ketika aku ketakutan. Kemudian, tiba-tiba saja Neo memberikannya secara cuma-cuma dan aku tetap tak bisa menyimpulkan apa-apa.

“Satu lagi. Berhenti ngucek mata sekasar itu, Karya…”

Masih tak kutemukan senyuman i wajah Neo, tapi yang jelas airmataku malah semakin deras mengucur membasahi pipi bahkan kerah bajuku. 

“Aku nggak bermaksud ngasarin, Neo. Aku bahkan nggak mau nangis, sebenarnya. Aku benci menangis di hadapan orang lain. Itu semacam menurunkan martabatku sendiri. Tapi, nyatanya aku runtuh di depan kamu. Dan kenapa harus kamu—aku nggak maksud ngebebanin kamu—”

“Nggak dan nggak!" ia kini bahkan menggenggam utuh tanganku. "Buat apa ada airmata kalau itu nurunin martabat manusia? Buat apa aku di sini kalau aku ngerasa terbebani? Aku kira, ini malah bakal lebih menyakitkan buat aku kalau aku tahu sendiri hal ini, bukan dari kamu sendiri,” tuturnya sungguh-sungguh.

Aku malah semakin ingin menangis.

“Neo, aku akan ngerti seandainya kamu jadi ill feel setelah ini. Seenggaknya aku akan lega dan kamu—kamu yang juga akan kembali terpisah dari aku—seperti biasa akan selalu bisa memilih: tetap ‘tinggal’ atau akhirnya ‘pergi’ dari aku. Aku akan paham.”

Neo terbelalak. Genggamannya terlepas. 

Giliran aku yang terperangah, seperti baru dihempaskan ke jurang. Seakan sepersekian detik selanjutnya, ia akan menghilang.

Mungkin ia tak menyangka kalimat terakhir itu bisa terlontar dari seorang aku yang seperti sedang berada di titik terendah fase kehidupanku. Sebuah kalimat yang bahkan tak pernah mau aku rangkai baik-baik sejak dulu, sebab aku memang tak menginginkannya. Tapi, toh, keadaan selalu bisa mendesak lebih dari apapun juga. Aku akhirnya mengatakannya.

“Kamu mau aku pergi?” bisiknya perlahan.

Sungguh, tak bisakah ia lihat jawabannya di mataku?

Detik ini pun, seandainya ia merentangkan tangan, sudah pasti aku ingin melekatkan dahiku di bahunya, memeluknya dengan erat, membiarkan ia merasakan debaran jantungku juga. Karena sungguh saat ini aku tak benar-benar yakin dapat secara utuh menyampaikan apa yang meletup-letup dalam kepalaku juga apa yang meluluh lantahkan perasaanku.

Aku. Ingin. Menghambur. Ke. Pelukanmu. 

“Kar, memangnya kamu mau aku pergi?” ulangnya.

Manik matanya yang bening dan teduh itu, seperti tetes air di ujung daun. Hanya pada hari itulah mereka menikamku. Tak tanggung-tanggung, langsung dari arah depan. Menancap, tegas.

Aku jelas tak berdaya. Hanya sanggup perlahan menggapai tangannya dan menggenggamnya dengan sisa kekuatan yang ada. 

Masih, aku tak bisa membaca air mukanya.

Apa yang harus kukatakan pada seseorang yang masih bisa ada di sisi, tapi tetap tak akan pernah bisa dimiliki?

Bersambung…



Malang-Bandung, Juli 2016
Dinar & RG

Comments

Popular Posts