DI DALAM BADAI

Hei. Apa kabar? Hari ini cerah ya, semoga pikiran lo pun nggak mendung.


Peringatan di awal. Mungkin tulisan ini bakal agak awkward karena gue sendiri nggak tahu apa yang sebenarnya gue lakuin, hehemenulis pada diri sendiri atau orang lain, entahlah. Biarin aja ini mengalir, ya. Maaf, gue bahkan nggak punya kalimat pembuka yang sedikit lebih menarik daripada "hei". My bad. Tapi, gimanapun juga, terima kasih banyak untuk siapapun yang masih sesekali atau seringkali mampir kemari. Sori, aku sendiri bahkan udah jarang nulis di sini. Seandainya kalian punya kemampuan super untuk membaca pikiran orang, yah silakan terabas sendiri isi kepala gue: penuh. 


Hmm.. Kalian lagi apa? Sejak era pandemi ini dimulai, kayaknya banyak orang mengeluhkan rutinitas yang itu-itu aja, ya. Kalian happy kah dengan situasi ini? Terlepas dari kesulitan kegiatan belajar-mengajar atau pincangnya kondisi perekonomian, ya. Jujur gue lumayan nyaman sih dengan keadaan yang agak lebih "terbatas" ini. 


Oh iya, buat yang belum tahu.. Gue kerja sebagai barista di sebuah coffeeshop dengan konsep kafe kontainer. Hari ini, selagi nggak ada pelanggan, rencananya gue mau lanjutin pengerjaan Tugas Akhir, tapi entah kenapa tadi gue mendadak pengen journaling. Udah lama banget gue nggak berbagi kegiatan harian di sini. 


Soal processing data Tugas Akhir gue... Sejujurnya gue udah agak muak. Agak nggak pantas untuk diucapkan oleh seseorang yang justru ngebet pengen lulus, ya. Tapi, asal kalian tahu aja, gue bahkan butuh 1,5 bulan untuk bisa berhasil menginstal aplikasi yang gue gunakan di penelitian ini. Gue nggak tahu, apakah gue apes atau memang gue bodoh sampai harus berkutat di hal yang sama seperti itu dalam waktu yang nggak sebentar.


Dalam penelitian ini, gue melakukan zonasi daerah bahaya aliran piroklastik gunungapi. Otomatis hal utama yang aku butuh adalah gambaran seperti apa aliran piroklastik itu di lokasi penelitian, kan. Sayangnya, malah hal itu yang  yang sejak lama gagal terus gue dapat. Blank. Itulah sebabnya gue masih belum bisa mulai nulis bab 4. Semalam gue udah menghubungi mantan pembimbing dari instansi tempat gue ngambil data, tapi sampai sekarang--13 jam total--beliau belum juga balas. Gue pengen menghubungi lagi sekarang, tapi gua agak ragu karena nggak ingin terkesan annoying. Gue sadar, secara resmi gue bukan lagi mahasiswa yang melakukan pengambilan data Tugas Akhir di instansi tersebut. Kondisi pandemi dan masalah internal di sana yang bikin gue tiba-tiba di-cut dan nggak boleh berkegiatan apapun di sana. 


Bantuan apapun yang mantan pembimbing gue berikan benar-benar atas dasar kepedulian pribadi aja. Masa iya, gue harus menambah beban bapak anak dua ini? Di akhir pekan, gue harus menahan malu tetap menghubungi beliau. Di kepala gue, kebayang repotnya dia di rumah ngurus anak-anaknya yang masih kecil. Anak keduanya aja lahir di masa pandemi. Gue juga pernah zoom meeting sama beliau dan jelas-jelas ngelihat anak pertamanya yang masih balita itu take over laptopnya. Duh, campur aduk banget perasaan gue. Mendadak, gue merasa udah ngeganggu quality time bocah lucu itu sama bapaknya. Memang, beliau sendiri yang menyanggupi ini--membantu gue sampai Tugas Akhir ini tuntas--tapi tetap aja gue nggak tega untuk benar-benar setiap waktu nanya-nanya atau minta petunjuk, sekalipun pengerjaan Tugas Akhir ini memang banyak masalahnya. Hfft.. Sebetulnya banyak yang bisa gue ceritakan soal TA, tapi sepertinya gue masih malas untuk membeberkan panjang lebar. Tiap kali gue mikirin TA, rasanya energi gue tersedot hampir setengahnya. Jadi, mohon doanya aja, ya, hehe. 


Ah, sebentar, ada pesanan kopi susu via Gojek. Nanti segera gue lanjut!


Alright, I'm back. Omong-omong, soal kopi susu, entah sejak kapan minuman satu ini ngetren di Indonesia, ya. Percaya atau nggak, kopi susu di coffeeshop gue ini enak banget! Sejauh ini, gue rasa ini ini kopi susu paling enak yang pernah gue minum. Ranking dua mungkin kopi susu di salah satu coffeeshop di Bandung, dekat Universitas Maranatha dan satu lagi di daerah Budara. Selain itu, belum ada yang terlalu impressive di lidah gue. Terlebih, kalau gue punya budget lebih, sebenarnya gue akan lebih milih minum menu minuman lain di coffeeshop, sih. Di banding latte, gue pun masih lebih memilih manual brew sebenarnya. Bulan Agustus lalu, pas gue ambil data TA ke Bandung, gue sempat minum single origin yang enak juga di coffeeshop dekat Universitas Maranatha itu. Ijen Markisa namanya, dibuat pakai metode japanese jadi segar banget karena pakai es batu langsung. Sepertinya sih, beans-nya memang di-roast langsung di situ jadi masih fresh, nggak apek. Hmm.. taste notes-nya apa aja ya? Gue juga agak-agak lupa. Tapi yang jelas, tipikal yang fruity dan asam. Pokoknya, Dinar banget lah, hahaha. 


By the way.. gara-gara perjalanan TA gue nggak mulus, beberapa waktu ini gue jadi kebelet lanjut nulis novel atau cerpen. Mungkin, bisa aja kalau disempatkan, tapi gue nggak mau ambil risiko keteteran TA karena keasyikan nulis. Cari aman, gue jadi ikut lomba nulis sajak aja. Lumayan lah, sekalian ngasah otak juga. Kalau terlalu lama bergelut dengan kemumetan, kreativitas juga bisa luntur, kan. Nulis di Instagram pun sebenarnya nggak selalu menyenangkan buat gue, karena space-nya sedikit banget. 


Mungkin sebagian dari kalian sadar bahwa akun Instagram @kerancuan_ adalah salah satu media healing gue. Karena itu, kadang-kadang gue seakan "menunggu-nunggu" feedback dari followers. Kalian mungkin bingung, kenapa gue nunggu-nunggu, kalau sesungguhnya menulis adalah cara gue berdamai dengan problematika pribadi. Well, gue juga nggak tahu pasti sih alasannya kenapa. Tapi gue rasa, deep inside gue sebenarnya ngerasain emosi-emosi yang nggak enak. Alhasil, gue jadi pengen dengar sesuatu yang menyenangkan dari pembaca, dalam bentuk apapun. Kesan-kesan, emoji, apa aja. Bukan untuk fame, tapi memang diam-diam mungkin gue ingin ada segelintir orang yang setidaknya memberi gue sign bahwa gue ini ada, terlihat dan terdengar. Apa yang gue tulis sebagai konten memang random, apa aja tergantung ide yang lewat di kepala. Kadang ada hubungannya dengan hidupku sendiri, kadang tentang orang lain, bisa juga soal hal-hal yang gue sendiri bingung dan hendak pertanyakan. Tapi, kalau memang kata-kata punya energi, barangkali kata-kata gue bisa terasa sebagai alarm dan teriakan minta tolong kali, ya. Somehow, gue ngeh bahwa butuh sesuatu, entah apa, untuk bisa menghadapi banyak hal... Makanya kadang, sadar nggak sadar, gue berharap bisa dapat impresi dari pembaca yang meyakinkan gue bahwa perasaanku sampai ke luar sana, menyentuh mereka.


Hidup memang nggak pernah mudah dan semua orang masing-masing ada di medan perangnya. Gue nggak bilang bahwa masalah-masalah yang pernah, sedang, dan suatu saat akan gue alami adalah masalah paling buruk di dunia. Tapi, masalah tetaplah masalah, kan. Tetap mengganggu gue di manapun gue berada. Saat gue tidur, saat gue ngopi, saat gue cuma diam dan ngeliatin sekitar. Mereka tetap ada dan menunggu untuk diatasi. 


Sekalipun banyak masalah yang menguasai kepala gue, entah kenapa udah cukup lama gue nggak nangis. Gue cenderung agak lempeng aja. Dissapointed but not surprised. Kalaupun nangis, ya nggak betul-betul 'nangis'. Paham, kan? Karena hal tersebut, gue justru khawatir perasaan nggak nyaman gue itu nggak berhasil tersalurkan dengan baik. Gue nggak seemosional dulu dan entah apakah ini lebih baik atau lebih buruk jatuhnya. Ah, tiba-tiba aja gue ingat kata-kata karakter Keum Jan Di di drama Boys Over Flowers yang sekarang gue tonton ulang setelah 11 tahun berlalu: 

"Aku bisa menahan lapar. Cuaca dingin pun bisa kutahan. Tapi satu yang membuatku tidak tahan. Melihat orang yang kusayangi menderita (karena aku)." 

Dalam permasalahan gue, orang-orang yang gue sayangi terbelit masalah yang berlarut-larut, merambat ke mana-mana. Berbeda dengan Keum Jan Di, gue memang nggak menyebabkan semua masalah itu, tapi bagaimana pun juga, suka tidak suka, berusaha seabai apapun, gue tetap merasa terlibat di dalamnya. Tapi, taiknya lagi, sekarang ini belum ada yang bisa gue lakukan. Gue nggak menjauh dari masalah. Gue juga sadar betul bahwa ini bukan sikap overpesimis. Sungguh, memang nggak ada yang bisa gue lakukan saat ini dan seringkali itulah membuat gue frustrasi. Untung kata-kata itu gratis ya, kalau nggak.. bayangkan berapa besar tagihan gue? Karena gue banyak bicara setiap kali ada masalah, setidaknya sama diri sendiri. 


Kalau segala masalah ini ibarat badai, gue ingin bisa menari di dalamnya sekarang. Kembali lagi pada kata-kata gue sendiri sejak dulu bahwa bagi gue bahagia dan sedih bukanlah antonim. Keduanya bisa kita dirasakan bersamaan. Terlepas dari semua kemalangan yang ada, gue bertekad tetap bahagia dengan apapun yang tersisa. Setakut apapun gue dengan nasib buruk, 22 tahun ini gue merasa dikelilingi keberuntungan juga. Ketika gue nggak baik-baik aja, gue cuma perlu jujur dan menerima. Nggak lagi menyalahkan diri gue sendiri. It's such a bad part of life, yet it doesn't mean that my life is totally bad. 


Untuk siapapun yang baca catatan gue hari ini, terutama kalau kalian sedang dalam kesusahan, tolong ingat bahwa ini semua akhirnya akan berlalu. I wish you all the best, always. You deserve all the happiness in this world but you can't always get rid of sadness. It's just a basic emotion we have. So, hang on. Gue tunggu kabar baik dari lo, tentang bagaimana akhirnya badai ini berakhir dan lo--sekalipun terluka, pincang-pincang, berantakan--tetap berjalan maju dan jadi lebih baik lagi. 


Sampai jumpa di lain waktu dengan ocehan gue yang lain. Gue mau lanjut kerja dan makan siang juga. 


Cheers,

Dinar a.k.a Metaforancu


P.S.

Kalau lo lagi senggang, main ya ke akun karya gue @kerancuan_ :))

Comments

Popular Posts