ANGGAP SAJA SEJAK TADI KITA MEMANG BERBINCANG
Februari
hujan (lagi).
Lampu
merah menyala (lagi).
Dedaunan
lepas (lagi).
Mungkin
asam absisatnya tak banyak (lagi).
Kupandangi
pojokan itu (lagi).
(Lagi)...
(Lagi)...
***
"Rasanya,
besarnya proyeksi masa lalu itu memang berbanding lurus, ya, dengan usaha
seseorang untuk bertahan di hawa hari kemarin."
"..."
"..."
"Apa
saat bayangan masa lalu menari-nari di depan mata?" aku mencari titik
terbaik di hipotenusa.
"..."
"Apa
saat kata-kata ‘itu’ terputar dengan sendirinya?" kulirik bolak-balik
headset yang setia menancap setidaknya 8 jam dalam sehari di telingamu.
"..."
"Apa
saat aku selalu menyediakan tempat untukmu di pojokan... itu?"
Sementara
mataku jadi nanar, mungkin kini matamu mencari satu noktah yang goresnya lebih
tipis dan saru dari pensil HB. Tapi, andai Kamu benar-benar melihatnya. Kamu
akan segera sadar itu “milikmu”.
Sayangnya
Kamu masih saja tidak menjawab. Aku jadi ragu.
"Ah,
sudahlah,” segera kulupakan kebisuanmu yang sudah teramat kukenali itu.
“Mungkin itu hanyalah tindakan konyol nan bodoh, yang seolah sudah menjadi
ritual pagi petangku. Tapi, kalau Kamu memang ingin tahu, boleh lah... Kuselalu
menyiapkan tempat untukmu disitu," kedua kalinya kutunjuk tempat itu.
"..."
Disitu.
Ya,
disitu.
"Aku
tak peduli orang-orang tak mengerti maksudku. Asal kau saja. Asal kau
saja..."
***
Si
merah akhirnya tergantikan (lagi) oleh si hijau.
Si
damai nampaknya diselip (lagi) oleh si bising.
Si
bisu seperti tak menginginkan (lagi?) si tukang kicau.
Tanpa
berniat menyalahkan langit. Atau bahkan menghujat dayang-dayangnya. Tapi mungkinlah
aku satu dari milyaran korban resonansi hujan. Yang nyaris setiap senja
memaksaku ringkih kerepotan dengan banyaknya yang kupikirkan. Tas, buku,
sepatu, rok, jemuran, map tugas..
"Juga
bahkan kamu," kataku jujur.
"..."
Sepertinya
ini tetap bukan hal yang menarik untuk Kamu tanggapi. Ya sudah.
"Ahaha..
Sebenarnya, aku tidak pernah keberatan, kok, dikunjungi sesering ini
olehmu," mulai kutebar senyum pasrah (baca: palsu) yang kuanggap bawaan
lahir ini. "Walau kadang efek sampingnya pening dan hangat," tak
terasa sebuah lengkungan secara alamiah mengembang menekan pipi. "Dingin
dan mati rasa,” aku merunduk, menenggelamkan denyut di dekat pelipis. “Sakit
juga," sambungku.
Kamu
sedang apa, sih, selagi aku menahan ini? Apa
Kamu menatap iba? Atau asik dengan jalanan saja?
Tak
apa. Bukan jawabanmu yang kuharapkan. Tapi kekekalanmu dalam segala rupa senja. Baik
saat matahari bangun atau pamit hendak pulang.
"Terlalu
banyak untuk kusebutkan. Pasalnya, mereka bukan sekedar filamen atau kerangka
kuat dari silikat..." kuketuk-ketuk bangkuku. Kubandingkan dengan yang
Kamu.
"..."
"Apa
ini yang namanya bifurkasi? Atau malah ada kaitannya dengan koevolusi? Padahal,
rasanya aku tidak pernah benar-benar berusaha menciptakan ‘perubahan’,"
nyataku sungguh-sungguh. Sekaligus berusaha meyakinkan diri sendiri akan apa
yang kusampaikan tadi.
"..."
"Jangan
- jangan sekarang aku tengah dalam proses menjadi kucing Schrodinger?!"
pekikku mendongak.
***
Angin
menyapu pelan bangkumu. Nampak melambai lemah pada bayanganmu. Kukerjap-kerjap
kedua mata. Tapi ternyata Kamu memang ada. Walau tanpa suara.
Sial. Memang tak ada sistem "subtitle".
Sial. Memang tak ada sistem "subtitle".
"..."
Tuh,
kan benar. Diam.
Sigma
F sama dengan nol. Berarti diam itu maumu. Kamu yang menjadikan usaha itu
tiada. Kamu yang memutuskan untuk membuang semua reaksi yang bisa Kamu pakai
untuk sekedar menanggapiku di sela-sela ocehanku.
"Hah...
aku jadi mendadak ilmiah jika mengingatmu..."
Mengingatku
dulu
Mengingat...
Kita
"Maaf
aku terlalu lama berkoar. Entah mengapa, tapi sepertinya aku hanya terlanjur...
Apa, ya?”
"..."
Tak
ada saran. Jadi...
“Rindu,
mungkin."
Sampai
aku kadang tak mengerti juga maksud diksiku sendiri. Tapi ya sudahlah. Untuk
apa jadi masalah, jika bab akbar fluida statis saja minta dichecklist malam ini
juga.
"Lagi
pula ambiguitas itu adalah unsur humor, bukan?"
"..."
Kamu
masih diam.
Ya
sudah, anggap saja sejak tadi kita memang berbincang.
Catatan:
Asam Absisat adalah hormon tumbuhan yang berperan dalam proses penuaan dan gugurnya daun.
Filamen adalah protein yg berbentuk benang halus, mudah terurai dan dapat terikat kembali (terdapat di rambut dan otot.
Bifurkasi adalah momen yang mengkristal. Suatu kondisi di mana kita tidak bisa kembali ke sana, namun ia selamanya berada dalam kekekalan.
Koevolusi adalah perubahan pada objek biologis yang dicetuskan oleh perubahan pada objek lain yang berkaitan dengannya.
Kucing Schrödinger--paradoks terbesar dunia fisika, dicetuskan oleh Erwin Schrödinger yang menyampaikan sebuah skenario ekstrim yang tak masuk akal bahwasannya dalam sebuah percobaan yang menggunakan seekor kucing sebagai objek, memungkinkan kucing mati sekaligus hidup di satu waktu. Para ilmuwan kemudian menyebut kondisi campuran ini sebagai superposisi keadaan (keadaan yang tidak bisa dipastikan karena persentase hidup-mati kucing sama = 50%).
Like it!
ReplyDeleteWahaha.. Makasih banyak ;)
DeletePuitis baget, trus kenapa bawa2 sigma F -______-
ReplyDelete(andre.web.id)
Hehe, makasih..
DeleteEmang ada apa dgn sigma F?
sangat puitis nih, oh ya jangan lupa kunjungan balik dan koment balik ya http://ane-aldi.blogspot.com/2014/03/tempat-magang-dengan-gaji-besar.html
ReplyDelete