HAI, KAMU. INI AKU.



Hai, Kamu. Ini Aku.

Aku berdiam--seperti biasa.

Kemana saja kamu, Kam? Sehat-sakitnya Kamu tak pernah Ku dengar. Siapa teman dekatmu sekarang, tak juga Ku tahu.Tahun-tahun ini Kuisi dengan ketidaktahuan.

Maafkan aku, Kam. Semestinya kemunculanmu ini tak kusambut dengan mata sembab. Aku hanya tak menyangka, kita masih bisa berjumpa.



Aku tak tahu harus apa, Kam. Aku amat kesal dengan diriku sendiri. Aku sudah terlanjur menjebak diriku dalam momen-momen di mana Aku dan Kamu bertemu. Walau sebenarnya, jika Aku meluangkan waktu untuk bertanya pada kenyataan, ia mungkin akan ragu-ragu untuk jujur padaku:
"kita tetap tidak bersama."

Untuk beberapa saat, aku memang sendirian.

Itu yang Kutahu.Yang tak ingin sering-sering Aku dengar, sayangnya malah mendoktrin isi kepalaku--saat membludak--bersamaan dengan muntahan tugas-tugas sekolah.

Pernahkah Kamu berpikir, apa yang selama ini kadang tiba-tiba aku pikirkan?
Aku berpikir, seperti apakah gadis yang Kamu sukai itu?
Apakah Kamu bahagia menikmati pengalaman pertamamu itu?
Apakah Dia membalas perasaanmu?

Yang jelas, kalaupun tidak, Aku percaya Kamu cukup tegar menerimanya.
Kamu menjadi cemaraku sejak lama dan aku selalu menjadikan diriku sebagai rumput yang menjalarimu--walau tak tampak. Aku ingin Kamu merasakan kehadiranku, walau bukan untuk sekarang.

Aku tidak memaksa, Kam.
Kamu tahu itu.

Aku selama ini tidak ada di sampingmu, Kam.
Kamu pasti sadar betul.

Sepulang sekolah--hampir di setiap harinya, terutama bulan ini--aku selalu perhatikan satu demi satu daun yang gugur. Rupanya pohon angsana memang benar-benar tak mau lagi kehilangan airnya. Tapi beberapa bunga masih merona sebisanya, memerah semampunya--
untuk terakhir kalinya.

Andai Kamu "melihat"ku sungguh-sungguh, Aku juga punya merah ini untukmu.

Dan dari semua yang kutemukan--serakan "keihkhlasan", debar rasa yang tak tergambarkan, juga dingin yang hampir setiap waktu mempermainkan permukaan kulitku di sana--
satu hal yang paling kuingat:
ketidakhadiranmu.

Aku selalu berkutat dengan kabut masa laluku, Kam.
Mungkin ini yang tak Kamu tahu.
Aku selalu mendengarkan baik-baik bait lagu yang sangat nostalgistic di toko buku itu.
Mungkin ini takkan pernah sempat terbayangkan.

Aku tahu aku patah hati mendengarnya, tapi kaki ini tak mau kuajak pergi.

Aku mengendapkannya hingga mengering--lalu kulepas terbang.
Mungkin bahasa batu ini bisa tersampaikan saat partikel-partikel itu hinggap di bahumu,
luruh meluncur ke punggungmu. Sesuatu yang (mungkin bisa dibilang) menjadi satu-satunya aku miliki atas Kamu. Yang tak pernah berkelebat sekejap saja dalam kepalamu.
Bahkan probabilitas kemunculannya pun jauh di bawah angka 0,1.

Maka, (lagi-lagi) aku memilih untuk berlalu.

Sampai jumpa lagi.


Comments

  1. semoga nanti Alloh merubah probabilitas itu menjadi 1

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe.. aku nggak tahu mau bilang amin atau nggak hehe.

      Delete
  2. Hmm. Dari hati ini sepertinya. :))
    Emang lagu favorit bisa memunculkan kenangan-kenangan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari hati (?) hehehe...
      Iya, setuju setuju!
      Trims kunjungannya.. Ditunggu komenan lainnya lg

      Delete
  3. Entah apa yang membuat setiap momen serasa meledak,
    tetapi kombinasi antara bait bait dan irama menjadi sangat merdu.
    Sangat merdu hingga sayang untuk dilewatkan tanpa menggenggam sedikit cerita.
    Sedangkan di luar sana, orang yang sama sama kita harap-titipkan terlihat bagai bulan yang kehadirannya selalu ditunggu setiap malam.

    Hingga mungkin nanti, kita hanya bisa melihat ke belakang. Catatan catatan, sajak, hingga cerpen yang menjadi saksi bisu ketidakmampuan kita menggenngam orang tersebut.
    Tapi biarlah, kesesakkan ini bisa jadi alasan mengapa manusia seperti kita merasa hidup.
    Merasa bahwa kita masih punya senggenggam hati untuk merasa.

    ReplyDelete
  4. From chaos to cosmos. Hati yang luluh lantah, alur yang melompat-lompat, kenyataan yang tak berpihak pada hipotesis tak berkesudahan, semua berawal dari satu bibit: kekacauan. Dan lihat, betapa indah kehancuran ini sudah dibuat. Betapa berkesannya. Betapa kita tak sanggup menghapusnya meski harus tersakiti lagi dan lagi setiap mengingatnya.

    Jadi, apa yang kamu rasakan wahai pembaca?

    ReplyDelete
  5. Dinar. Jika memang manusia hanya diciptakan untuk merasa. Buat apa Tuhan menciptakan penderitaan tak berkesudahan yang ujung ujungnya hanya membuat sakit.
    Buat apa Tuhan menciptakan kita berfikir kalau akhirnya hanya kekacauan yang tercipta dari setiap penderitaan.
    Apa pula hakikat segala macam keindahan yang berkaca pada satu titik, diri sendiri. Jika nyatanya semua hanya ketakabadian, dilema, dan samsara.

    Buat apa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. (Namamu?).

      Sederhana saja. Karena kita masih di dunia. Masih di sini, berbekal akal dan segenggam hati untuk merasa, sebagaimana yang kau pernah katakan.
      Pada dasarnya manusia memang punya kecenderungan yang sama: selalu merasa dirinya yang paling menderita. Tetap berpijak pada bumi, dengan bekas tangis yang menguap, juga selengkung senyum yang awalnya sedikit dipaksakan, bukankah sebuah perayaan besar atas ketidakberdayaan manusia di hari-hari sulitnya?

      Hei, ini hanya soal cara berpikir dan memandang.

      Benarkah hanya penderitaan yang Tuhan lahirkan detik demi detiknya? Kita bahkan sering lupa, berbagi (seperti ini, contohnya) adalah nikmat tersendiri, yang tak kita akui, karena masih juga diiringi retakan hati.

      Nyatanya semua hanya ketakabadian, dilema, dan samsara? Hei, kita abadi. Nanti juga hidup lagi. Kita pindah dimensi. Iya, dilema, sebab Tuhan tak pernah mengekang kita, selalu ada pilihan. Seandainya dunia tanpa samsara, kurasa, buat manusia, akhirnya surga bukanlah apa-apa.

      Benarkah Tuhan ingin kita berpikir semua berakhir dengan kekacauan dan penderitaan? Benarkah? Kurasa, tidak. Buat apa?

      Delete
  6. Haha. Kamu benar Dinar. Kita hanya pindah dimensi.
    Seperti Sapardi bilang: yang fana adalah waktu, kita abadi.
    Kita ternyata memang abadi, sementara dunia cuman tempat Tuhan menguji kita semua dengan samsara agar surga pun akhirnya berarti

    Oh iya. aku masih kagum saat kamu menghubungkan bahasa batu dengan probabilitas yang sepertinya jauh rasanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih? Masih kagum? Ehehehe.. Makasih banyak. Kamu jadi bukti kalau setiap gaya menulis ada "pengikut"nya. Makasih sekali lagi.

      Lihat. Lucu ya komenan2 kita udah kayak chat ketika aku bahkan gak tau pembacaku ini sebenarnya siapa. Dari mana pula tau jalan menuju "rumah" ini, lalu bertamu. Ceritain dong.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts