KEPADA BAPAK; TEMPAT KERISAUAN INI BERMULA

Putrimu ini tidak akan hidup lama kalau tak punya harapan, Pak. Ia hidup dari kepingan rasa percayanya, pada diri sendiri pun pada kehidupan yang fana ini. Tidak pernah ada yang menjamin kesuksesannya, tidak ada yang berani menjanjikannya jalan yang mulus tanpa ranjau dan jeratan kata-kata yang menjatuhkan. Belum pernah ada yang mengatakan esok hari hidupnya akan terang benderang seperti binar matanya sejak kecil, saat kenyataan tidak sepahit yang ia sadari ketika mulai mendewasa.

Putrimu akan cepat mati kalau tak punya harapan, Pak. Intuisi, firasat, segala hal yang berbau gaib dan terkaan semata nyatanya menggiring ia menuju hal-hal tak terduga, yang tak lain ialah bencana-bencana yang mulai merontokkan kewarasannya. Kesadaran melapuk sehabis dihantam hujan-hujan kenangan. Mendung kepalanya, bergemuruh batinnya. Gemetar kepalan tangannya. Ia mulai ingin marah dan berontak, meski entah mesti pada siapa.

Di saat-saat seperti itulah, kegoblokan-kegoblokan lahir dari dirinya sendiri. Gontai ia berjalan, telat pulang ke kamar. Terjaga ia di satu lebih tiga atau tiga lebih lima. Saat ayam berkokok menandakan hidup harus dimulai lagi dengan tak lagi memejamkan mata dan berlindung di balik skenario bunga tidur hasil karya pikiran sendiri.

Suatu malam, ia terbangun dengan degup jantung yang tak biasa. Terengah-engah ia, lupa bagaimana cara menghirup udara. Bayangan itu masih menghantui lorong pikirannya sendiri. Ia hampir mati ditembak seseorang tak dikenal dalam mimpinya sendiri. Berlari susah payah ia mencari tembok untuk berlindung, nyatanya tak ada yang lebih aman dari senyap dalam jiwanya sendiri.

Putrimu telah merasakan kehampaan melebihi prediksinya sendiri, Pak. Apakah Bapak tidak mengetahuinya? Mengapa tidak Bapak sempatkan barang beberapa detik saja--sekadar tahu bahwa putri Bapak sebenarnya jauh dari kata 'baik-baik saja'.

Lagi, harus Bapak tahu. Ia sekarat selama belasan tahun, dicabik-cabik kekata bapaknya sendiri. Dan ia selalu terombang-ambing di lautan keterkejutan. Ternyata, ia harus terus hidup untuk orang lain juga.

Pembunuhan tidak selalu dilakukan dengan cara menikam memakai belati, atau menusuk-nusuk dengan garpu yang tergeletak di dapur, pun hantaman benda tumpul macam kayu-kayu buangan di halaman belakang.

Kesakitan bisa bermula dari tuduhan-tuduhan, hilangnya rasa percaya, cacian dan makian yang secara sporadis menerobos gendang telinga menjelang masa ujian, bahkan sekadar imaji lampau tentang mata yang terbelalak di belakang sebuah tangan yang mengacung-acungkan sebuah palu--nyaris menyentuh dahi yang berpeluh.

Putrimu masih punya nurani, Pak. Tak perlu takut ia meninggalkanmu. Selama Bapak merentangkan tangan dan belajar berdamai dengan kenyataan, ia takkan berkhianat. Ia tak mungkin mampu melakukannya.

Ia terlalu sayang. Ia terus bertualang, mencari keping-keping kepercayaan pada dirimu, ke antah berantah sekalipun, ia mau.

Putrimu berjuang melawan cekikan amarahmu, Pak. Apakah Bapak tak lelah meluapkan amarah? Mengapa tidak Bapak tengok sebentar ia yang tengah mendeliniasi peta dan mendeskripsi bebatuan? Ia mati-matian menghapus risau dan menyingkirkan sementara kegundahannya selama sepekan?

Sebab semua kesahnya lahir dari bapaknya. Sebab, tak sanggup ia berkata kasar.

Ia hanya sanggup tercenung, membendung air mata.

Pak, tolong bantu putrimu menjaga baik-baik keping harapannya. Kalau semua itu hilang, berakhir sudah semua susah payahnya. Kau akan kehilangan ia selama-lamanya.

Semarang, 11 Maret 2017
Dinar Astari

Comments

Popular Posts