TRUE LOVE WAITS: AKU, KAU, DAN RADIOHEAD


And true love waits
In haunted attics
And true love lives
On lollipops and crisps
... 

Hujan di batas alinea. Semua berjatuhan begitu saja. Melarutkan tanya di udara, bekas embusan hampa kita berdua. Sesak, tapi aku bernapas. Lemas, tapi aku masih sanggup mematung, menunggu kau membalik punggung selagi langit Semarang perlahan mendung. Sesaat, kudengar sayup kidung seperti mengajakku berlindung dari limbung, sebab satu kompi memori tiba-tiba mendobrak kamar kostku, semena-mena mengajak bernostalgia. 

Waktu itu awal tahun. Mungkin kau juga mencium bau petasan terbakar di mana-mana. Tapi, sungguh tak ada yang bisa mengejutkan kita lebih dari pada sebuah kenyataan. 

Langkah kita tidak berjeda. Jantungku berdegup dengan tempo yang sama, seperti biasa. Tapi sepertinya gegap gempita sebuah tahun yang baru tak sama sekali ingin berlama-lama memekarkan bahagia dalam kepala. Topik kita mulai liar dan sesuatu yang kuhindari sekaligus kupikirkan setiap saat, tiba-tiba menjadi diskusi panel yang awet bergumul di tengah jarak aku dan kau selama menyusuri jalan pulang.

Sesekali, kutengok kau yang sedang mengerjap-ngerjapkan mata, seakan kata memang takkan pernah sanggup mendeskripsikannya. Tapi, siapa yang tahu akhirnya kau bisa dengan lugas berujar, bahkan membungkamku dengan diksi-diksi tak terelakkan? Seandainya kau hendak meralat perkataan, mungkin karena memang kata-kata hanyalah kumpulan huruf, tetapi sorot mata dan nada bicaramu memberikanku pemahaman lebih baik. 

"Buatku, rasa suka adalah sesuatu yang mengganggu, menyakitkan, mengekang, membatasi, menghilangkan yang semestinya terus ada, menuntaskan apa yang pada dasarnya masih bisa dilanjutkan...." kira-kira, seperti itulah kau menafsirkannya. 

Aku tidak menyanggahmu saat itu. Aku tidak sama sekali memberikan argumentasi. Aku hanya tersenyum, berusaha mengenyahkan perih yang perlahan merambat ke pipiku, bergerilya merenggut kesanggupanku untuk berlagak baik-baik saja. Butuh usaha yang cukup keras untuk bisa melanjutkan obrolan selagi menetralkan kegusaran yang tiba-tiba bagai bongkahan batu sungai yang menambah berat carrier di pundakku. 

Kalau begitu, kau tak suka aku, atau lebih tepatnya tidak akan pernah suka aku?

Kemudian, lebih dari 36.792.000 detik setelahnya, aku masih tetap dalam suasana itu, meski dengan lain keadaan. Aku yang meragukan. Bagaimana mungkin saat ini malah kau yang hendak menunjukkan pertahanan? Sebab ku kelelahan. 

Seperti dulu, sebelum perasaan kita tersingkap, aku rajin mengukur setiap inci jarak yang kau cipta, tanpa pernah kau sadar telah membuatku berusaha melahirkan jeda demi tidak melukai diri sendiri dan dengan tolol tetap bertanya-tanya apakah aku masih sanggup, apakah sempat kau merindu, apakah sajak-sajakmu bergulir sebagaimana senyap yang sudah jelas bertapa di empat sisi kamarku yang pengap?

Mana yang ilusi? Jarak dan waktu, atau usahaku mengingat rinci bintik-bintik di hidungmu? Seperti inilah kedegilanku mengenangmu di sela-sela lelahku. Sampai maghrib datang dan aku menjumpa Tuhan, lalu mengirim doa. Barangkali kau tengah bersusah hati, dikungkung macet jalanan kota atau diam-diam mencemaskan yang terkasih berjalan sendiri di sebuah gang sempit yang tak pernah ramah tamah pada guratan cantik di wajah perempuan, bahkan sekadar rambut harum yang tak diikat. Lantas, aku menghindari ketidakwarasan dengan mengingat bahwa ini sudah lain hari, aku harus sanggup mengenyahkan khayalan-khayalan ini, pertanyaan-pertanyaan yang jawabnya Tuhan tebar di antah berantah. Aku tetap, masih, selalu di sini, bersama sepi, menunggumu muncul setelah seharian memikirkan yang bukan aku.

Aku tidak menjanjikan selamanya untukmu. Anggaplah ia hanya sebiji dusta yang bahkan kau lempar begitu saja di kebun belakang rumah saat pulang. Tapi, sepertinya kau lupa, bahwa alam punya maginya sendiri. Ia mencampur adukkan semua yang berasal dari Tuhan, menjadi entitas baru yang tumbuh dan berkembang teramat baik sampai subur menjadi belantara sederhana yang beragam. Di sana, dusta-dusta lain pun lahir: janji untuk bisa melupakan, meninggalkan, bahkan mengenyahkan dirimu sementara saja. 

Aku ternyata pembohong besar, penjahat amatir. Aku menipu diri sendiri, mempersalahkan sekaligus membelamu di waktu yang bersamaan. Kau tetap menjadi terdakwa yang kebal hukuman.

Aku tidak pernah berhenti, ternyata. Setidaknya, sampai sekarang. 


I'll drown my beliefs
To have your babies
I'll dress like your niece
And wash your swollen feet

...

Semarang, Maret 2017
Dinar Astari


Catatan
Dirombak sambil mendengarkan lagu True Love Waits dari album comeback Radiohead

Comments

Popular Posts