TERJAGA DAN BERJELAGA
Di antah berantah, sebuah kota atlas
dengan jutaan partikel masalah, aku memutuskan untuk lepas dari keengganan
menerima kenyataan.
Tidak, aku cuma sendiri. Tidak ada yang
menginstruksi. Aku hanyalah aku, tanpa sesiapa kecuali bayang-bayang saja. Dan
lagi, aku di kamar, tidak pernah ke bar. Untuk apa ke sana jika hanya meminta
yang tak ada. Kau dan kopi; kombinasi kompleks di atas rata-rata.
Ini cangkir keduaku. Aku pun belum
berencana nambah. Tenanglah,
aku juga tahu satu cangkir lagi berarti cari masalah. Walau, jujur, aku
tergoda. Masih merasa ada yang kurang. Aku tak rela berhenti di angka
dua.
Dua lebih tiga. Malam terlalu malam, pagi
terlalu pagi. Payung Teduh meninabobokanku dengan ketiadaan dirimu. Tak ayal
kabut mimpi mengabu di kepalaku. Kecewa kurasakan di sekujur badan; menolak
lelap, ingin liar membabat habis seisi kota. Menodong para pembohong tentang
kepergianmu yang tiba-tiba.
Dunia tidak pernah adil, tentu saja. Sudah
tak diizinkan kabur dari senyap dan gulita, aku juga tak dipersilakan mencari
kebenaran sendiri tentang rahasia-rahasia yang kau sebut harta. Sesaat, aku
ingin berhenti kau anggap berharga, sebab mungkin hanya akan berakhir di
pengasingan hidupmu yang lama. Tak pernah jadi bahan cerita ke banyak orang
yang mengerubungimu meminta cahaya.
Cahaya. Pendar di matamu, sekalipun kau
sedang lara.
Sumpah, dari sekian banyak serapah,
luangkan waktumu untuk tahu bagian ini saja, sekalipun aku mati-matian berdoa
kau juga setidaknya menganggukkan kepala sewaktu aku berkoar-koar soal 'kita'
yang tak diakui keabsahannya.
Hei, brengsek. Dengar. Mengenangmu
itu butuh waktu dan energi. Kalau waktu takkan habis, tenaga sudah
pasti bisa. Kau tahu aku pengikut setia mazhab Sapardi; yang fana itu waktu,
kita abadi. Jadi, mestinya tak lagi harus kujejalkan fakta ini padamu kan,
Bung? Aku gontai semalam suntuk mencarimu dalam lakunaku. Seperti lagu
lawas didaur ulang hingga kekinian kembali, kau dan segala keping cerah yang
berserakan itu selalu berhasil membawa kabur hal-hal lampau sampai terasa
seperti kejadiannya baru kemarin pagi.
Oh, brengsek. Kau tahu, tidak? Setelah
dialog tak berbalas ini terentang begitu panjang di antara dua mata angin, aku
malah teringat lusa aku ada kelas Fisika Dasar II. Gila, bahkan di saat-saat
macam ini kau tetap jadi reminder tak diminta. Tapi, alih-alih
menyalahkan, aku justru bersyukur. Aku makin handal mengingat yang lain, selain
kau dan janji-janji kita yang tak mengenal jadwal kadaluarsa.
Dan, kau harus tahu. Aku tak peduli sudah
berapa kali aku membahas ini, aku mau bilang: aku mulai setuju kalau ada yang
bilang bahwa selalu ada tengah dari dua ujung yang tarik-menarik, yang
nantinya membuat selisihnya jadi nol. Kemarin-kemarin, dosenku membahas Hukum
Couloumb dan aku hampir jemawa karena masih menyimpan catatan materimu yang
kehujanan tahun 2016. Kemudian, kontemplasiku soal muatan akhirnya
memberikan gambaran bahwa dalam perjalan "tak
sengaja" kita ini, harapanku ujung-ujungnya berbuah entah.
Kurasa, sekarang, aku semakin percaya selalu
ada cemas dalam harap. Selalu ada logika yang akhirnya ambil alih menyadarkan
gembungan khayal. Selalu ada bungkam setelah tanya--menyesal sudah berani
mengungkap isi kepala. Sebab, tak selamanya jawaban dapat membahagiakan. Ya,
kan?
Heh, bodoh! Kau siap bertanya, siap pula
terima jawabannya. Lebih-lebih, siap buntu, tak ada yang sudi membuatmu
berhasil tahu. Itu katamu.
Dan, aku yang dalam keadaan sadar, telah memilih untuk bahkan tidak
mengulang pertanyaan itu. Biar tak tergelincir sampai ke bibir. Nanti,
kalau angin musim hujan menghempaskan kata, aku yang bakal mati menganga
sedang kau yang nanti takkan dapat keterangan.
Ada beberapa hal yang harus kita ikhlaskan
untuk tak berakhir sebagai sebuah kejelasan. Ada pola-pola tarikan, medan-medan
yang tak mungkin diterjang dengan kebodohan, kemudian menjadi bencana di tengah
sistem yang sudah lama mencari kesetimbangannya.
Aku mungkin takkan mampu memaafkan
kegoblokanku yang andai akhirnya mengusik kestabilan dan kedamaian itu,
sekalipun dengan risiko berat: kehilangan keping harapan sendiri.
Biarlah, biar saja. Aku saja. Aku siap. Selama
dalam sistem itu, kau tetap terlibat. Aku abadi dalam ketenangan dan ketabahan
semesta. Siklus abadi yang takkan menjauhkan kita walau sesaat.
Kemari. Hatimu kau tinggalkan di galaksi
lain, tapi di sini aku yang 'kan kau temui. Tak ada yang lain lagi. Kelak
(yang entah kapan ditanggalkan), kau akan kembali dan aku akan (masih) di
sini.
Semarang, 6 Maret 2017
Dinar Astari
Catatan.
Aku kangen menulis di blog. Jadi, di antara ke-hectic-an kegiatan sehari-hari, baru ini yang sanggup aku lahirkan kembali--catatan lama zaman SMA. Dirombak lebih dari yang diduga, tapi semoga mencipta kenang yang tak terhingga. Terima kasih untuk Fanny Deantri yang sudah proofread versi purba paragraf-paragraf random ini. Juga, terima kasih untuk Rafika Ayu Nadia yang memotret cangkir memorable itu dengan apik. Keep reading and giving comments, Guys!
Comments
Post a Comment