CERITA MINI NOSTALGIA
[Bagian 1]
Dan Lalu, Kita Bertemu
Kalau aku harus menuliskan tempat-tempat
yang paling mendebarkan bagiku, barangkali kampus ini salah satunya. Meski
tidak mengenyam pendidikan S1 di sini, entah mengapa atmosfer seluruh pelosok
kampus ini tak lagi membuatku merasa sebagai turis yang bisa seratus persen
jalan-jalan saja. Selalu ada perasaan cemas bercampur parno, curiga akan ada
makhluk-makhluk sejenis teman, kerabat, orang terkenal yang aku tahu, bahkan
sosok di masa lalu menyeruak dari segala sudut. Pepohonan di kampus ini rimbun
dan sejak dulu pun aku suka kesejukan. Tapi justru dedaunan yang lebat
membentuk payung raksasa itu malah membuatku semakin rajin menerka-nerka siapa
saja yang mungkin disembunyikannya. Sialan. Lebih baik aku nonton film horror
sekalian, aku misuh-misuh dalam hati, disusul doa tanpa henti. Andai aku lupa
apa tujuanku yang sebenarnya, mungkin aku sudah ngiprit meninggalkan tempat
ini.
Derap kaki orang lalu-lalang acap kali
membuatku kehilangan konsentrasi pada buku yang tengah kubaca. Sampai-sampai,
aku memutuskan untuk menutupnya saja. Kalau begini caranya, mungkin aku malah
harus menghadapi kerumunan ini dengan dagu terangkat saja. Tidak lagi menjadi
bunglon, membiarkan orang sekitar menganggapku mahasiswa baru atau mahasiswa
semester akhir yang dilanda murung akibat TA tak rampung-rampung.
Sampai akhirnya aku tak terpikir
sedikitpun untuk menunduk, sebab seseorang baru saja melintasi bidang
pandangku.
"Dia..." aku mulai memikirkan
yang tidak-tidak.
Tidak, tidak. Bukan. Pasti orang lain.
Aku meyakinkan diri.
Tapi, sayangnya, percuma aku berdusta.
Mataku tak mungkin salah mengenali bahu itu. Bahu yang sama, dengan ransel
daypack yang juga serupa. Kurasa, dalam hitungan tahun, jelas masuk akal pabila
ia membeli yang baru. Rasa-rasanya bahu itu makin kokoh. Aku seketika ingat
seperti apa dulu aku dengan pasrah menyandarkan kepala di situ.
Sekali lagi, masih ada kemungkinan ia
bukan seseorang yang kukenang. Meskipun kemeja flanelnya persis dengan yang
pernah aku tunjukkan padanya menjelang pendidikan dasar pecinta alam di awal
masa SMA. Sekalipun sepatu kanvas berwarna merah marun itu kukenal betul.
Bahkan sesungguhnya aku mengenali harum sabun mandi yang tiba-tiba terkuar saat
ia melenggang cepat melewatkan aku.
Mampus. Aku tidak menemukan bantahan
lain, kecuali kacamata kayu yang dipakainya. Sebelumnya, tak pernah kulihat
lelaki itu memakainya. Iya, benar, ini hanya ilusi dan delusi semata.
Kecuali, kalau ia mengikuti saranku di
hari-hari terakhir pasca ujian akhir.
"Ta?"
Suara itu berat dan serak. Dalam sepersekian
detik membelalak-paksakan mata. Laki-laki itu berjalan ke arahku dengan
tangannya menggenggam botol air mineral dingin sekembalinya dari koperasi.
Ada yang berdesir di dadaku. Rasa haru
sekaligus ragu. Kecanggungan ini jadi racun di darahku yang memanas, sementara
kulitku meremang oleh dingin udara kota.
Tak kulihat senyum melengkung sempurna
di wajahnya, walau kutahu air muka itu mengungkapkan serentetan
pertanyaan--antusiasme yang halus terbaca.
"Hei," sapanya datar. Aku
makin berdebar.
"Hei," jawabku, nyaris tanpa
suara. Yang benar saja, bertahun-tahun aku berusaha melupakan harapanku untuk
bertemu, sekarang ia muncul di hadapanku bagai bintang jatuh.
Kini, ia hanya beberapa jengkal dari
ubin yang kupijak. Jelas, aku makin menciut, seolah menyusut, menjadi kisut.
Lelaki itu menyisir asal rambutnya yang
dihinggapi air hujan dengan jemarinya. Aku menelan ludah. Limbung, teringat
dahulu. Belum sempat aku menarik napas, ia sudah lanjut membetulkan letak
kacamatanya dengan jari tengah. "Untung aku nurut sama kamu buat akhirnya
pakai kacamata. Kalau nggak, hari ini kamu nggak akan kelihatan."
Akhirnya, senyum itu mengembang sempurna. "Senang ketemu kamu lagi."
Aku harus jawab apa?
Bersambung...
Bersambung...
Januari, 2018
Dinar Astari
Comments
Post a Comment