CERITA MINI NOSTALGIA


[Bagian 2]
Dan Lalu, Kisah Kesah Itu 
 
"Senang ketemu kamu lagi..." tiba-tiba nada suara yang riang itu berubah makna saat aku tak menanggapi. Dipikirnya, aku tak senang.
Kali ini, aku berusaha tersenyum dengan lebih baik (baca: normal). Mengenyahkan segala debar yang ada tanpa berusaha menyembunyikan antusiasme dan kegirangan yang meletup secara rahasia. Biarlah apa adanya. 
"Ya, aku juga tahu kamu senang ketemu aku," ujarnya menyimpulkan. See, he even knew it already.
"Kamu kuliah di sini?" tanyaku, polos. 
"Nggak. Lagi jalan-jalan aja. Aku quit semester lalu dan mutusin buat bangun usaha geowisata dengan lebih dulu jadi geotraveler..." jawabnya penuh keseriusan.
Aku bergidik. Gila, pikirku. Sesaat, aku tertegun membayangkan betapa susah payahnya aku belajar dan menempuh berbagai cara supaya bisa menjadi salah satu dari orang-orang yang wara-wiri sejak tadi di sini. Sejak dulu, aku berharap jahim (jaket himpunan) berwarna hijau army atau kuning busuk itu bisa kupakai dengan bangga. Lalu, begitu saja anak ini keluar dan sumringah memberitakannya? Luar biasa. Pantas saja perasaanku tak enak sejak pertama melihatnya lewat. 
Melihatku tercenung kaku, lelaki itu malah tertawa. Ah, suaranya lagi-lagi membuat aku merasakan sesuatu yang aneh lagi di dada. Tawanya selalu kusuka.
"Kamu percaya?" 
"Percaya apa?"
"Percaya yang aku bilang tadi..." 
"Yaaa... percaya lah. Kenapa, nggak? Kan dari zaman kemunculan Trilobita aja, mungkin kamu udah bersumpah mau jadi orang 'gila'..." jawabanku malah terdengar seperti cerita fantasi dan sukses membuatnya terbahak-bahak. Lama-lama, aku jadi nyengir dan malah nimbrung tertawa. Apa-apaan sih ini? batinku.
"Iya, aku emang gila, Ta. Tapi nggak akan segila ini kalau nggak ada campur tangan kamu juga..." jawabnya ringan. 
Apa?! Aku hampir tersedak.
"Aku nggak pernah nyuruh kamu jadi traveler apalagi wirausahawan bidang gituan, ya!" Sergahku, tak mau dikambinghitamkan. 
Tahu-tahu, laki-laki itu sudah duduk di bangku panjang yang sempat kududuki tadi. Refleks, aku ikut duduk. Bersebelahan, sampai embusan napasnya saja jelas kudengar.
"Ta, dua tahun aku ngejar cita-cita ini. Melewatkan sekaligus mengerjakan banyak hal. Menghilang, dan lain sebagainya," tuturnya, seraya menarik resleting dan menunjukkan lambang fakultas yang tersemat di jaket berwarna biru dongker dalam tasnya. Aku mengenalinya. "Dan semester depan aku bisa ambil jurusan," lanjutnya bangga. 
Aku terperangah. Entah tampak seperti apa mukaku sekarang. Lelaki ini tak pernah gagal membuatku terkejut.
"Jadi usaha geowisata itu bohongan?!" 
"Ya."
"Kamu nggak putus kuliah?!" 
"Nggak."
"Maba. Kamu maba?!" pekikku tak tertahan. Berlanjut dengan tawa. 
"I am a freshmaaan!" jawabannya seolah lirik yang dinyanyikan pemain opera. Ia merentangkan tangan, sementara aku berseri-seri antara senang, takjub, dan heran.
Setelah hening beberapa detik, ia bertanya "Kamu nggak mau ngapain gitu?" masih dengan kedua tangan yang membentang. 
Aku mengerutkan dahi. "Ngapain?"
Ia berseloroh, "Peluk aku, misalnya?" 
Sontak, aku menegakkan badan. Sesuatu meledak dalam diriku dan aku malah tak mampu menggerakkan tangan sekalipun. Sementara, lelaki ini sudah berhasil menghilangkan jarak duduk kami dengan sekali dekap. Dekap yang bahkan belum diakhirinya sampai detik ini, di mana aku nyaris menangis.
"Kamu yang yakinin aku buat terus mencoba, Ta. And here I am..." katanya, khidmat. 
Sepertinya, aku baru saja membuat kerah bajunya basah.

Bersambung...

Januari, 2018
Dinar Astari

Comments

Popular Posts