CERITA MINI NOSTALGIA


[Bagian 3]
Dan Lalu, Semua Berlalu

"Kamu yang yakinin aku buat terus mencoba, Ta. And here I am..." begitu, katanya. Begitu menyentuh, membuatku setengah ragu, apakah benar aku baru saja meninggalkan realitas.
Semua ini seperti mimpi, seperti film-film komedi romantis yang dibenci mereka yang gagal melupakan, sakit karena ditinggalkan, atau dilema oleh keadaan. Tetapi, dalam jenak yang singkat ini, laki-laki yang kini duduk leluasa di sampingku--dengan kacamata kayu, kemeja flanel, potongan rambut cepak khasnya sejak SMA, serta daypack yang penuh oleh berbagai kelengkapan ini--masih belum berhenti membuatku takjub, sukses membuatku lupa bahwa aku juga salah satu pembenci film genre tadi. Siapa yang menyangka, pun berani berharap bahwa khayalanku perihal pertemuan singkat untuk membayar lunas rasa rindu dan ingin tahu, akhirnya jadi nyata.
Kemudian, detik-detik bergulir bagai gerimis yang bergegas menjumpa tanah. Patuh, tidak akan pernah melambat, apalagi hanya oleh bujukan payah seorang perempuan yang di jiwanya nyaris tidak tersisa kembang yang segar. Ya, tiap-tiap pengharapanku selalu gugur oleh nasib dan takdir.
"Kalau di film-film, dua orang 'lama' yang bertemu tidak sengaja macam kita, pasti lanjut ngopi-ngopi atau ke bar, ngobrol ini-itu. Bahkan sampai subuh, sampai perempuannya utuh dipulangkan lagi ke rumahnya," tiba-tiba, matanya menerawang jauh entah ke mana, melewatkanku yang masih memandanginya tanpa jeda.
Aku tersenyum simpul, dan ia masih belum kembali dari penerawangannya. "A sweet random talk, right? Mulai dari kabar, konflik OPM, sampai resep masakan?" selorohku, disertai tawa.
Masih dengan penerawangannya, ia terkikik sekilas. "Iya. Bahkan, sampai soal perasaan..." entah mengapa, ia terdengar begitu menekan kata 'perasaan'.
Tahu-tahu, aku mendadak bungkam. Debar di dadaku mulai berulah dan mendesakku berbuat sesuatu, namun aku sadar semua yang ada di kepalaku sejak bertahun-tahun lalu--perihal aku dan lelaki penuh kejutan ini--hanyalah bahan perjudian yang entah mengapa aku yakin hasilnya takkan pernah melegakan. Inilah yang biasa kita kenal sebagai rahasia sampai mati.
"Kenapa diam?" mata itu kini malah tepat menghadang wajahku yang kaku.
Ah, aku malah termangu. Seakan beribu tanda tanya yang liar beterbangan di udara menghantamku sampai bisu. Aku hanya bisa menelan ludah, sembari mencari sepatah dua patah kata sebagai tanggapan. "Hmm... Kamu tahu sendiri, kan. Di film-film, setidaknya salah satu dari dua peran utama itu terpaksa lebih banyak diam."
"Karena...?"
Aku menghela napas panjang dan membuangnya kasar. "Ya, klisé..." ucapku. Ia semakin tampak penasaran. Rautnya menagih jawaban. "Karena...nahan sedih, supaya kesakithatiannya nggak menjelma jadi airmata."
Kemudian, tawanya tahu-tahu sudah membungkam hampir semua orang di sekitar bangku panjang halaman koperasi kampus ini. Aku menepuk-nepuk pahanya, susah payah membuatnya berhenti semena-mena menjadikan aku bahan tatapan orang banyak. "Hahaha. Kamu mau-maunya aja jadi yang diam? Kamu sedih, dong, ceritanya..."
"Kesedihan kadang menjaga kita tetap waras," lirihku.
"Haha. Sekarang, aku udah yakin kamu potensial jadi pemain film, Ta!" ujarnya, terdengar bangga. Kini, ia berusaha menjajari aku yang sudah mulai berjalan meninggalkan bangku.
Aku tersenyum. Lagi. Tak terasa, langkah kami sudah cukup jauh. Dan, artinya, mimpi ini harus segera disudahi. "Jangan bikin masalah sebelum pergi, deh."
"Eh... serius, Ta. Sorry banget obrolan kita hari ini sampai di sini dulu. Janji, ya, kapan-kapan kesini lagi," tuturnya memelas. Tanganku digenggamnya longgar.
Aku mengangguk-angguk, tanda mengerti. Dalam hati, aku mencoba meyakinkan diri bahwa keajaiban tak terjadi berkali-kali. Oleh karenanya, aku harus bersiap kalau pertemuan ini takkan ada lagi. "Lagian, mau nggak mau, aku masih punya urusan di sini juga..." jawabku, sekenanya.
"Jangan buat urusanmu, Ta. Buat aku!" genggamannya seketika menjadi kencang. Barangkali, denyut nadiku bisa jelas dirasanya.
Sepertinya, aku baru saja tersipu oleh kekatanya. "Oke. Kamu jadi salah satu urusanku." Kembali, aku mencoba menyuguhkan senyum terbaikku.
Ia tertawa sambil meremas jemariku. "Asiknya jadi urusan orang! Haha. Maaf ya, Ta... Aku harus cepat pergi," ia kembali pamit.
"Iya," jawabku lemah. Aku berusaha mempertegasnya lewat genggamanku yang balas mengencang.
Dalam hitungan beberapa detik, genggaman itu tak lagi terasa. Bagai menguap, habis entah dilahap apa. Tahu-tahu, aku merasakan udara dingin menari-nari di telapak tanganku yang sepi. Belum apa-apa, aku sudah merindukan pagutan tangannya. Bagaimana dengan esok dan selanjutnya? Seketika, resah bergumul di benakku, membuatku sesak.
"Take care yourself," bisiknya lembut. Teramat menenangkan.
Dengan senyum yang lambat melengkung di wajah, aku iseng bertanya, "Mau kemana, sih, sebenarnya? Kampus lagi?"
Belum sampai langkah ketiga, ia terhenti, kemudian berbalik. "Aku udah janji pulang bareng dia sejak seabad lalu, hehehe..."
"Siapa?" tanyaku. Entah mengapa, aku merasa semakin sesak, sampai kepalaku mulai terasa nyeri.
"Perempuanku."
Tanpa aba-aba, sosok perempuan itu memenuhi sisa ruang dalam kepalaku. Memporak-porandakan yang sudah ada. Imaji, persepsi, interpretasi, mimpi, bahkan keberanian yang baru saja terpupuk barang sejenak.
"Iya, dia," jelasnya, seakan isi pikiranku menjadi gelembung di luar kepalaku dan terbaca secara transparan. "Kamu pikir aku bertualang buat apa? Cari pengalaman baru, bukan pacar baru!" sergahnya, lagi-lagi seperti menjawab pertanyaan yang tak sanggup aku utarakan. Lambaian tangannya bahkan tak mampu mengokohkan tubuhku yang rasanya makin lunglai saja. Belum pernah kurasakan lutut selemas ini.
Aku balas melambaikan tangan. Kali ini tanpa senyuman.
Terdengar, dari jauh ia berteriak mengingatkan. "Jangan lupa, ya! Aku udah jadi urusanmu mulai sekaraaang!"
Padahal, sejak dulu pun sudah. Ia adalah satu-satunya yang tak pernah benar-benar menyadarinya.
 
Januari, 2018 
Dinar Astari

Comments

  1. is that kind of boy really exist? such a, you know, a jerk or something

    ReplyDelete
    Replies
    1. Probably.. I guess. I can't guarantee you but, yeah who knows.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts