[CERPEN] TIME HAS FLOWN AWAY









-Anila-


Ubud akhir bulan Juni.

Ini masih langit yang sama. Langit yang berwarna biru, dengan riak-riak awan di sekelilingnya. Langit yang bahkan nyaris sama dengan yang terakhir kulihat bersama seorang lelaki jangkung, berambut hitam kelam, yang juga sangat suka mendongeng.


Ah..ya, namanya Garga. Gara-gara mengenang pertemuan terakhir itu, imajinasiku tiba-tiba membentuk awan menjadi berbagai macam hal. Kuda, banteng, bentuk hati. Aku bahkan bisa membuat jalinan cerita dari awan-awan tersebut. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri.


Desau angin terdengar merdu  bagaikan gesekan biola seorang maestro. Mendayu-dayu, membelai lembut pipiku. Sesekali menyingkap bagian bawah rok selututku. Dulu, Garga sering bercerita tentang serba-serbi alam. Sejarah angin, Kerajaan Awan dan hal-hal aneh lainnya. Hal aneh yang sebenarnya kurang cocok diperdengarkan padaku, yang sejak SMP menggilai sejarah berbau politik atau peperangan. Tetapi Garga memang pandai memikat siapa saja. Dan ya, kuakui—aku merindukan cerita itu sekarang. Aku rindu dipanggil Putri Angin, sebagaimana namaku yang berasal dari bahasa Sansekerta: Anila Nareswari. Permaisuri angin.


Bangku di sebelahku masih kosong. Hanya angin yang setia menemani. Aku masih menunggunya di sini. Kuharap kali ini dia tidak mengingkari janjinya lagi hanya karena ketiduran.


Sudah jam 18.30, desahku. Baiklah, aku akan menunggunya sampai menjelang malam. Aku telah berjuang melewati tahun-tahun tanpa pertemuan dengannya. Jadi, toh keterlambatannya kali ini bukanlah masalah besar.


***


-Garga-


Sial...sial...sial..., umpatku dalam hati.


Karena seharian di kampus dan terjebak macet menuju rumah, aku jadi lupa kalau hari ini punya janji dengan Anila.  Aku bahkan jadi mandi terburu-buru. Ditambah lagi selangkanganku sampai disodok oleh pinggiran kursi. Tidak ada waktu untuk merasakan sakit. Anila menungguku. Dalam hati, aku tak henti-hentinya meminta maaf. Bodoh juga, sih. Toh, gadis itu tak tahu betapa berjuangnya aku. Paling banter juga, dia menyangka aku ketiduran.


Kulirik jam tanganku, 19.00. Sial. Aku terlambat delapan jam (kami janjian jam 1). Kupacu sepeda motorku menuju taman tempat kami janjian.


Taman ini unik. Memiliki sebuah danau di tengahnya, tempat aku dan Anila biasa menghabiskan waktu (baca: aku dengan khayalanku, Anila dengan buku-buku “berat”nya). Aku celingukan mencarinya. Tepian danau kosong, hanya suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Aku berjalan mengitari taman, dan akhirnya menemukannya tengah duduk memeluk lutut di bangku taman. Badannya menggigil. Buku biografi tebal yang teronggok di sampingnya bahkan nampak pucat dari sini. Sejak kapan Ubud ada musim dingin, sih? batinku.


Menyaksikan dia menggigil kedinginan karena menungguku, menimbulkan semilir dingin di tulang punggungku. Kemudian menusuk hatiku. Aku berjingkat perlahan mendekatinya dan kusampirkan jaketku—membungkus badannya.


“Garga?!” pekiknya agak bergetar. Menyenangkan mendengar namaku keluar dari bibir mungilnya. 

Aku sendiri tak dapat membalas tatapannya lama-lama. Aku mengalihkan mata pada danau yang kian lama kian tak beriak. Nadanya saat menyebut namaku bahkan samar di telingaku. Entah lega, kesal, terkejut, atau mungkin bingung. “Aku mau ngasih tau sesuatu,” sambungnya mengagetkanku.


“Aku juga!” sergahku.


“Aku dulu..” pintanya.


“Jangan! Aku laki-laki! Aku harus duluan!” keringat dingin mengucur pelan di pelipisku. Aku sendiri kaget mendapati diriku baru saja membentaknya.


Anila pun akhirnya bungkam. Wajahnya semakin sendu. Seketika hening. Dinginnya udara malam memeluk kami berdua.


Bertahun-tahun aku mencampakkan perasaanku sendiri. Mengulur-ulur waktu, seolah tahu kapan saat terbaik. Membungkam dan merahasiakan segalanya.


Dan kini, entah mengapa jantungku berdebar semakin dahsyat. Tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Seakan-akan selalu ada sesuatu yang mengejarku, hendak menghantamku. Kurasakan kepalaku semakin pening saja, sementara wajah Anila semakin kabur di mataku. Ya ampun, Anila.. 

Kamu harus tahu semuanya. Detik ini juga.


“Garga, maaf.. Aku..”


“Aku sayang kamu,” potongku cepat, hanya dalam satu helaan napas.


“........” tak ada jawaban.


Aku mengangkat dagunya. Mata kami bertatapan.


“Aku sayang kamu, Anila,” bisikku pelan.


Bahu Anila mulai terguncang. Isak tangis keluar dari bibir mungilnya. Menyaksikan wanita kesayanganku menangis, rasanya seperti luka yang ditetesi jeruk nipis.


“Kenapa begitu lama, Garga?” Tangis Anila benar-benar pecah sekarang. “Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?” Dia memperlihatkan jari manisnya. Sebuah cincin perak melingkar indah disana.


Dan tubuhku pun melemas.


***


-Anila-


Aku merasa hancur saat matanya tidak berkedip dari cincin perak di jemariku. Matanya yang lelah—menampakkan kesungguhan. Tapi aku sudah memilih. Memilih untuk tak terjebak terlalu lama dalam “kebisuan” yang selama bertahun-tahun ini tercipta.


Aku telah menarik diriku dari kubangan perasaan yang tak jelas padanya. Kulihat Garga sibuk dengan keseruannya sendiri.  Ia bahkan tak pernah mengawali pembicaraan selain soal khayalan-khayalannya.  Aku—sebagai perempuan—merasa tak pernah disuguhi kesempatan untuk mendapatkan kejujuran.


Dan kini ia tertawa, membuat hatiku semakin hancur.


Ia masih tertawa, dan aku masih menangis.


Lalu hening lagi.


“Jadi... kapan?” tanyanya seraya menyeka mata.


“Besok,” lirihku.


Kemudian sepi.


Udara malam semakin dingin. Aku kembali menggigil di tengah isak tangis.


“Ada kafe yang baru buka di dekat sini. Kesana aja, yuk. Disini mulai dingin.”


Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menggamit lenganku, dan kami pun berjalan menuju kafe tersebut.


Aku memesan secangkir cappucino dan Garga memesan kopi hitam. Kafe ini tidak begitu besar, tapi pengunjungnya ramai. Canda tawa terdengar bergantian. Memenuhi paru-paruku yang sedari tadi sesak oleh kesedihan.


Garga menatapku sambil bertopang dagu.


“Sekarang jam berapa, La?”


“Delapan lebih—” jawabku sambil mengira-ngira maksud dari pertanyaannya. Bukankah dia punya jam tangan sendiri. Satu hal yang terlewat dariku, karena dia dulu selalu berkata, ‘hidupku nggak terikat waktu’.


“Lebihnya banyak atau sedikit?” sambungnya nampak ingin bercanda.

Minuman kami datang. Masih mengepul, menguarkan aroma khas. Aku mengucapkan terimakasih kepada pelayan yang tersenyum menatap kami.


Aku meletakkan telunjuk di pelipis, seakan-akan berpikir keras.


“Atau,” jawabku akhirnya.


“Sialan,” umpatnya dengan wajah dongkol. Aku hanya melet-melet tanda kemenangan. Menyembunyikan kesedihan yang sedari tadi mencekikku.


Garga pun tertawa lepas. Tawa yang tampaknya benar-benar ia nikmati.


Kemudian kebisuan kembali mendera kami. Oh ayolah, Garga. Tidak bisakah kamu mengatakan sesuatu yang manis? Ini adalah pertemuan terakhir kita, teriakku dalam hati.


Kulihat jam berdetik tidak terlalu energik. Tetapi suaranya membuyarkan konsentrasiku. Kulirik pepohonan rimbun di seberang kafe masih bersahabat dengan angin. Tapi gesekan antar daunnya mengalahkan suara mesin mobil para borju yang setiap musim liburan sudah pasti berjajar di halaman parkir hotel bintang lima.


Aku bukan anak rumahan. Tapi aku benci ke luar rumah jika hanya disuguhi udara yang sesak oleh kata-kata yang beterbangan. Apalagi ini bukan sekali dua kali. Sudah lama aku mengharapkan pertemuan yang sebenarnya.


“Jam berapa, La?”


“Delapan.”


“Maksudku besok—“


Kulihat Garga menggigit bibir bawahnya. Bersiap mendengarkan jawabanku.


“Sembilan pagi. Kenapa?”


“Ngg.. nggak.” Garga mengalihkan perhatian dengan menyeruput kopinya. Satu kata kembali terbang.


Aku mendengus (lagi) seraya meremas cincin yang rasa-rasanya ingin kubuang saat ini. Wajah Garga yang mendadak memucat, membuatku tak tahan menahan genangan air di pelupuk mata.


Apa masih ada yang kamu pikirkan—dan aku nggak tahu?


***


-Garga-


“Seenggaknya, ada empat belas jam lagi, La..” ucapku bersyukur.


“Empat belas jam apa?” rupanya Anila belum jua mengerti.


“Empat belas jam yang tersisa untuk aku sama kamu,” sambungku semakin parau.


Akhirnya kami kembali menangis. Bersama. Kemudian aku bercanda, dan ia tertawa. Lalu dia bertanya, dan aku menjawab. Jawabanku rupanya tak sesuai dengan keinginannya. Ia menangis lagi. Dan begitu seterusnya sampai pukul 11 malam. Seisi kafe memandang kami, seakan kami adalah dua alien yang tersesat di bumi. Tapi kami tidak mempedulikan itu semua. Ini adalah saat-saat terakhir.


Tapi semua kebahagiaan memang ada akhirnya. Seseorang menelpon Anila dan menyuruhnya segera pulang.


Ini bukan jangkauanku, batinku lirih.


Kami saling menatap penuh arti. Dengan senyuman di bibir, tapi kesenduan di mata. Tidak banyak kalimat cinta dan sayang yang kuucapkan padanya. Karena aku percaya, perasaan yang tulus itu terkadang lebih baik tidak diutarakan lewat kata-kata manis dan memabukkan, tapi ditunjukkan lewat perbuatan.


Kami beranjak ke parkiran taman. Anila mengekor sambil mengeluarkan sweter dari tas jinjingnya dan menyampirkan jaketku di bahuku. Aku tersenyum, menggenggam erat tangannya, lalu mengecup keningnya lembut. Semoga kau bahagia, Anila.


Entah mengapa tiba-tiba kami terbahak-bahak saat melihat bengkak di mata. Seolah semalaman kami sudah bermain drama penuh air mata.


Aku senang bisa pulang dengan Anila malam ini. Setidaknya untuk yang terakhir kali. Segala luka yang menganga sepertinya memang tak perlu terus dirasa.


“Besok aku datang sama siapa, ya?” tanyaku (lebih pada diri sendiri).


Lalu Anila mendekapku erat dari belakang. Hangat.


***


-Anila-


Aku masih belum paham, mengapa Tuhan menciptakan senja hanya untuk menyambut permadani hitam yang bahkan belum tentu ada bintangnya? Mengapa juga Tuhan mempertemukan aku dengan lelaki seperti kamu, yang bahkan belum tentu besok masih atau akan tetap ada di sini.


Sepanjang jalan aku dan Garga berbagi lagu lewat headsetku. Sebuah lagu sendu mengalun, membuatku hampir menangis lagi di punggungnya. Pelukanku semakin erat saja.



Ada yang tak sempat tergambarkan oleh kata

Ketika kita berdua

Hanya aku yang bisa bertanya

Mungkinkah kau tahu jawabnya



Malam jadi saksinya

Kita berdua diantara kata

Yang tak terucap

Berharap waktu membawa keberanian

Untuk datang membawa jawaban



Mungkinkah kita ada kesempatan

Ucapkan janji takkan berpisah selamanya




Catatan:

Ini cerpen duet pertamaku yang dibuat bareng blogger sepuh (baca: sudah jauh lebih dulu berkecimpung di dunia blog dibanding aku, hehe), yaitu Arman Zega atau yang biasa aku panggil Bangjet (sekali lagi, maaf ya nggak maksud bahas pesawat berkecepatan tinggi, hihihi)

Well, lucu juga sih buatnya hampir 2 bulan dengan tuker-tukeran tulisan via email. Itupun, sebenernya secara personal, kami nggak tahu-tahu amat satu sama lain, karena kenal lewat blogging

Oh ya, info saja bahwa gambar-gambar ilustrasi di atas diambil dari anime 5 cm/second dan potongan lirik lagu di atas berasal dari lagu Bersua Saja yang populer dibawakan oleh Payung Teduh.  

Semoga cerpennya berkesan. Kami tunggu kritik, saran, dan salam-salamnya (mungkin), hehehe.

Comments

  1. wah gua dikatain sepuh. haha. gak setua itu kali.
    kapan-kapan bikin cerpen lagi yuk. haha
    tapi bulan depan aja. kalau mau sih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha.. duh, maap Bang. Sepuhnya nggak secara harfiah kok. Kan aslinya mah kita cuma beda 3 tahun, wkwk.
      Amin.. mudah2an di tahun ajaran baru nanti, kita bisa nulis estafet lagi, di waktu2 sempit ya. Btw, Time Has Flown Away mau dikirim ke Ruang Cerpen nggak nih?

      Delete
    2. Selalu dapet feelnya. Semoga diluar sana gaada yg ngalamin saling nunggu akhirnya kaya gini jahahahahhaa. Heneg minta ampun kayanya. Aaaaa selalu deh. Yg banyak bikin projeknya, klop bgt ini. Feelnya itulohahaha. Ditunggu projek lainnya yappp

      Delete
    3. kirim aja deh ke ruang cerpen kalau mau. gua gak larang kok. haha. kan karya lo juga ini.
      nanti aja di awal september diskusikan kolaborasinya lagi

      Delete
    4. Iya deh mungkin besok2 kirimnya. Mungkin (abang tahu kan, kadang malas menyerang atau koneksi ngajak ribut)
      Btw bangjet beneran off sebulan? *baca di Line

      Delete
  2. Begitu buka blognya Dinar, lebih terasa karena ada music player-nya langsung memainkan Payung Teduh.

    uhh, teduh banget hati akuhhh dibuai kisah cinta, meski tak bahagia, tapi mendarat sempurna dengan lagu Payung teduh. :')
    Good job.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Kak, makasih udah berkunjung. Iya, akhir-akhir ini aku suka dengerin lagu-lagu Payung Teduh, soalnya easy listening. Doain semoga besok-besok bisa nulis lebih baik lagi. Amin. Keep reading ya Kak ;)
      Monggo komen2 postingan yang lama2 juga, untuk upgrade diri.

      Delete

Post a Comment

Popular Posts