[NOVELET] WHEN I WAS YOUR MAN



04 : 30 pagi.

Beep… beep… Ponsel Nick sudah dihujani sepuluh SMS, sementara Nick masih asik saja dengan bunga tidurnya. Suara pesan masuk tak terlalu terdengar karena speaker handphone tepat sekali tertindih dua bantal empuknya. Jam wekernya pun belum menunjukkan tanda-tanda akan berdering.

Di saat seperti itu—saat ia punya sesuatu yang asik, ia tak peduli apapun. Ia tak peduli siapapun. Bahkan pada seseorang yang sangat memperhatikannya sekalipun. Seseorang yang berada jauh—tak disampingnya—sedang bekerja keras terus -menerus menekan tombol send agar ia segera bangun dan tak terlambat lagi datang ke sekolah.
            
Setengah jam kemudian bunyi hapenya berbeda. Kali ini telepon. Bunyinya jauh lebih nyaring ketimbang jam wekernya yang sudah lama sekarat karena setiap bekerja—langsung limbung tersambar kepalan tangannya yang sudah seperti atlet tinju saja.
            
It’s a long…long…night…” Nick asik mengigau, berharap tak mesti bangun untuk sekolah. Tapi bunyi telepon itu tak berhenti juga. “Yet fucking–unbelieavable morning!” suaranya jadi geram.
            
Telepon diangkat. Suara dari seberang sana langsung saja tercekat makian Nick.

“Doyan banget gangguin pacar sendiri!”
            
“Nick ini jam—”
            
“Iya!!!” bentak Nick langsung membanting hapenya ke ujung kasur, nyaris jatuh. Tak ada niat sedikit pun untuk mengecek call register maupun inbox yang sudah sesak. Perhatian orang di seberang sana sekarang nyaris (atau jangan–jangan sejak lama) resmi jadi sampah.


***

Nick selesai mandi. Badannya seketika menggigil, isusul oleh mata yang memerah. Semalam ia begadang untuk menonton konser band favorit dan siaran klub sepak bola kesayangannya bersama karib-karibnya.



Belasan baverage habis diseruput sepanjang menonton. Tak lupa macam-macam camilan. AC tak berhenti dihidupkan. Ruang keluarganya sudah seperti kapal pecah. Pembantunya mendengus dalam kepasrahan.
            
Jam sepuluh pagi. Nick belum beranjak dari ranjangnya yang awut-awutan akibat selimut dan spreinya dipakai sebagai penghangat badan.

Hapenya berbunyi lagi. Kali ini, walau dengan gemetar, diangkatnya pelan – pelan.

“Apa?” tanyanya ketus.

“Kok, nggak sekolah?”

Nick menahan napasnya yang memburu, kemudian menjauhkan ponselnya dari mulut. “Sebelum nelpon nanya temen sekelas dulu, kek! Bisanya ganggu aja!” bentaknya tanpa sesal.

Rupanya gadis itu masih juga bersabar. “Harusnya temen sekelas kamu yang nanya aku, Nick. Aku kan, cewek kamu…” kalimat terakhirnya lirih.

Tiba-tiba saja Nick tertawa meremehkan. “Seksi absensi lebih berhak tahu,” ujar Nick superdatar.

Klik. Percakapan terputus.

Gadis yang rela menghabiskan pulsanya itu sedikit terisak, namun cepat-cepat sadar dan bersikap biasa saja. Teman-teman dekat yang tengah duduk dengannya pun hanya mendelik dan membuang napas, seolah paham apa yang terjadi.

***

Hari sudah sore. Dengan langkah gontai, Therin berjalan keluar dari sebuah minimarket dekat sekolah. Tangan kanannya membawa beberapa buku paket dan tangan kirinya menjinjing sekeresek roti beserta selai kacang kesukaan Nick.

Hari ini H-10 menuju anniversary keduanya dengan Nick. Therin bertekad untuk “bertahan” saja, agar hubungannya dengan Nick bisa sampai pada hari bersejarah itu. Seketus apapun kata-kata Nick, semarah apapun ia terhadap semua SMS dan teleponnya, segila apapun kesukaannya pada klub sepakbola—sampai mengorbankan waktu istirahatnya, Therin ingin berusaha sabar.

Ia menyayangi Nick. Mungkin besok, besok, besok, dan seterusnya juga.

***

Pintu rumah Nick rupanya sudah terbuka. Ruang tengahnya sudah menghangat dengan tawa segerombol laki-laki.

“Nick…” panggil Therin makin pelan saat melihat cowoknya sudah tak berbalut selimut. Malah bermain PS, berduel dengan Hero.

Sesaat, tak ada yang sadar ia pegal-pegal mematung di ambang pintu. Bi Ida yang sedang menuruni tangga pun hanya menatap iba, tak tahu harus bagaimana memberi tahu juragan mudanya.

“Ada Therin, Nick…” seru Therin sendiri.

Hero malah duluan menoleh. Diikuti Geri, baru kemudian Nick. Tapi Nick berbalik lagi, menuntaskan track di game sambil tertawa. Ia berhasil mengalahkan Hero yang masih terkejut mengetahui kedatangan Therin.

Mati lu Her! Mati lu!” terdengar Nick berteriak seraya tertawa berderai-derai.

Therin sudah hampir menangis.

Hero memilih untuk diam saja. 

Akhirnya Nick beranjak juga. “Jam segini bukannya pulang…” Nick menghampiri Therin tanpa mempersilakan duduk terlebih dahulu.

Therin menahan napas sejenak, kemudian menaruh keresek belanjaan itu di meja tamu. Barulah Nick mengerti.

“Udah nggak sakit,” singkat Nick tanpa terima kasih. Sejak kecil, ia selalu makan roti dengan selai kacang kalau sedang sakit. Selai kacang bagai obat mujarab baginya.

“Terus kenapa nggak ngabarin?” Therin masih berusaha lembut.

“Kabar baik ini. Nggak apa-apa, lah. Besok juga kamu lihat aku di sekolah, kan?” jelas Nick santai-santai saja.

Therin mendengus, merasa tak dianggap. Tangannya mengepal kuat, menahan emosi yang sejak tadi mengakar hingga ke ubun-ubun. “Tadi pagi kabar buruk malah seksi absensi kelas kamu yang duluan tahu,” sergah Therin.

Nick terkikik, nyaris berekspresi jijik. “Gituan doang dibahas terus,” ucapannya sungguh menyinggung Therin.

“Terus kamu maunya bahas apa?! Kita udah lama nggak ngobrol!” Therin ingat betul terakhir kali mereka ngobrol secara “normal” adalah saat Nicholas bercerita tentang Katherine bulan lalu. Putri seorang diplomat di Swiss, yang dengar-dengar adalah teman SD Nick dan sekarang satu ekskul jurnalistik dengan Therin.

“Nggak pengen bahas apa-apa,” jawabnya ringan.

Seketika Therin yakin, ia mesti pulang sekarang juga.

Tanpa basa-basi, ia langkahkan kaki lebar-lebar. Menerobos angin senja yang dingin menggigit. Ada sebuah jaket di sofa dekat pintu ruang tamu. Tapi Nick sama sekali tak berniat meminjamkannya.

Mati-matian Therin berusaha biasa saja. Berulang kali ia rela mengalah. Sampai detik ini, ia mencoba ikhlas.

Tapi air mukanya menyiratkan rasa yang berbeda. Beda sekali di mata Regi.

Regi menghentikan laju mobilnya tepat di depan rumah Nick. Bersebrangan dengan Therin yang sedang mencari-cari sapu tangan untuk menutupi wajahnya yang sudah merah padam.

Dari jauh, Therin nampak menangis sejadi-jadinya. Tubuh ringkihnya bergetar, membuat Regi semakin tak tega.

Sementara ini, Regi hanya punya do’a. Besok-besok, mungkin ia punya keberanian untuk benar-benar hadir di dekat Therin.

***

Beberapa hari kemudian, ketika Nick tiba-tiba membaik dan Therin merasa Nick takkan berubah lagi.

Bel berbunyi. Dengan malas, Therin keluar untuk melihat siapa yang datang. Saat tahu Nick tengah bersiul menunggunya, ia segera merapikan rambutnya dan berusaha tak merubah mood cowoknya malam ini.

“Kamu diundang ke ultahnya Katherine, kan?”

“Iya,” Therin mengangguk. “Aku sama Kate kan, se-ekskul,” sambungnya, masih sibuk memastikan dandanannya tidak rusak. Berharap ada komentar positif dari Nick soal penampilannya.

“Sip,” ujar Nick tiba – tiba.

“Apanya yang sip?” mata Therin langsung berbinar-binar.

Nick mau ngomong apa ya? batinnya antusias.

“Ya, sip, diundang. Jadi aku nggak sia–sia kesini,” komentar yang salah arah. Therin berusaha tersenyum saja.

***

Malam minggu yang gemerlap. Halaman belakang rumah Katherine yang luas, beralaskan rumput jepang yang lembut bak karpet hijau, makin indah dihiasi ranting–ranting pohon besar di setiap sudut. Di sana digantungkan puluhan manik-manik bening yang bersinar disoroti lilitan warna-warni lampu mini.

“Aduh!” pekik Therin memegangi telinganya.

Nick langsung berbalik badan, membiarkan kunci mobilnya sendiri jatuh ke tanah. Pelan-pelan dibantunya gadis itu untuk melepaskan ujung anting dari benang bagian kerah gaunnya. Gaya oldschool sangat melekat pada diri Therin sejak dulu. Warna pastel yang lembut, manis—menempel di kulit Therin. Tapi Nick masih tak punya kesan apa-apa.

“Sakit, nggak?” tanya Nick bernada cemas.

“Nggak, Nick. Aku nggak apa-apa.”

“Tadi aduh-aduh gitu,” katanya sembari mengambil kunci yang tergeletak.

“Aduh doang, masa nggak boleh…” jawab Therin tersenyum.

Therin hendak menggamit tangan Nick yang sayangnya duluan melambai pada Hero dan kawan-kawan yang keluar dari spot utama pesta.

“Dicariin Kate, tuh!”

Therin segera menoleh ke arah suara. Hero nampak terkejut menyadari Therin berada di samping Nick.

Nicholas sama sekali tidak banyak pertimbangan. “Ke dalem sendiri aja, ya…” ujar Nick tanpa menunggu anggukan Therin terlebih dahulu.

Sekeping hati patah lagi.

***

Suasana riuh. Musik klasik yang lembut mengalun anggun. Satu per satu pasangan memenuhi tempat pesta, dikelilingi yang hanya iseng ikut menonton. Puluhan undangan tersenyum melihatnya. Hangat dan manis.

Tapi kedekatan para pasangan itu tak bisa diumpamakan gingerbond kesukaan Therin. Hanya Nick yang bisa menghangatkan perasaannya malam ini. Hanya Nick yang akan membuat ia tersipu-sipu saking manisnya malam ini.

Therin ingin Nick di sana menunggunya. Tidak sekedar menunggu tentunya. Memanggil, lalu membiarkan tangannya menggenggamnya erat.

Nyatanya, Nick masih asik ngobrol dengan Katherine dan karib-karibnya yang sepertinya begitu terpikat pada Katherine sejak sebulan lalu memutuskan bersekolah di SMA mereka sampai lulus nanti, meski harus tinggal pisah dengan ayahnya di luar negeri.

Ada sebagian perempuan dikerumuni laki-laki karena fisiknya. Ada sebagian perempuan dikerumuni laki-laki karena sifatnya. Therin tak tahu Katherine ada di golongan mana.

Tawa yang meledak-ledak tak mungkin direcoki oleh ajakan Therin secara tiba-tiba. Akhirnya Therin memilih menunggu Nick sendirian.

Satu per satu teman Nick pergi mengambil makanan dan minuman. Segera Therin berlari ke arah Nick yang tengah melamun, menatap lurus ke arah kolam.

Therin berteriak memanggil Nick segera setelah kakinya tersandung kaki kursi dan tubuhnya terperosok di dekat kerumunan keluarga Katherine.

Nick sibuk mencari-cari sumber suara ke arah kolam.

“Nicholas!” Meski rasa malunya sudah berceceran, Therin masih mampu memanggil nama cowoknya itu.

Ia memejamkan mata, menahan sakit di lututnya. Nicholas kebingungan harus bagaimana sementara Katherine terus bertanya.

“Siapa dia? Manggil-manggil kamu, lho, kayaknya…”

“M-masa?” Nick cuma mengernyit dan berusaha mengalihkan pandangan Katherine ke sudut lain. “Eh, keluarga kamu hari ini bukannya balik ke Swiss, kan?”

Katherine masih mencari-cari sumber suara teriakan gadis itu seraya menjawab, “ah, ya.. night flight,” singkatnya.

Nick merasa ia sudah amat berdosa, tapi baginya yang tadi itu sungguh memalukan.

Pasti ada yang bakal bantuin Therin. Nggak harus gua juga, pikirnya.

Sejurus kemudian, seseorang mengulurkan tangannya dengan cepat.

Therin tersenyum lega. Menyangka Nick yang menolongnya.

Sosok Nick masih berlari kecil menghampirinya, ketika Katherine masuk ke dalam rumahnya. Si penolong itu langsung saja pergi. Menghilang di kerumunan orang yang beralih perhatian dari acara dansa ke tragedi kecilnya.

Duh, Therin.. Hati-hati, dong!” ujar Nick yang malah terdengar ngomel. “Duduk disana aja, gih! Cepetan!” sambungnya tergesa-gesa.

Tapi Therin sudah cukup senang. Cukup tenang karenanya.

***

“Acaranya udah mau selesai, lho, Nick!” Therin menepuk bahu cowok itu.

“Mau pulang sekarang?” terka Nick gagal total. Jelas- jelas mata Therin fokus melirik acara dansa dadakan itu. “Masih asik, kali…” sambung Nick tanpa menoleh.

Iya, memang. Makanya kita dansa, yuk! Sebelum telat.”

Nick masih melamun. Ia mendadak tak banyak bicara. Entah karena asik menikmati acara, mengingat-ngingat jadwal pertandingan klub kesayangannya, menahan malu atas kejadian jatuhnya Therin tadi, atau terbayang-bayang sosok Katherine yang bak masa lalu yang menggeliat akhir-akhir ini.

Padahal gadis itu bukan cinta pertama Nick. Bukan tetangga dekat. Bukan anak dari orang yang dihutangi budi oleh orang tua Nick.

Nick hanya mendadak terpikat padanya.

“Yuk, dansa!” ulang Therin kali ini menggoncang bahu Nick.

Nick masih diam.

“Nicholas!” Therin menarik-narik rambut Nick—dekat telinga.

“Apa?” sahutnya lemah.

“Dansa!” ditariknya lengan kiri Nick.

“Nggak deh,” tolaknya langsung.

Therin masih berperasangka baik pada Nick. Ia pikir, Nick hanya sedang malas dan kesal padanya. Jadi, jika ia berhasil membawa Nick ke tengah-tengah para undangan, pasti cowok itu bisa rada ceria.

“Ayolah… Aku suka dansa…” Therin tersenyum – senyum sendiri, membayangkan Nick dan dirinya menikmati pengalaman perdana ini.

“Aku nggak suka,” jelas Nick.

Seketika, senyum di wajah Therin pun tenggelam.

“Nggak suka apanya? Musiknya? Kita minta ganti aja! Kita boleh milih, kok,” terang gadis itu begitu bersemangat.

Hanya senyap yang terasa.

Atau... terlalu ramai? Oke, kita nunggu agak sepi aja. Kaki aku udah baikan, kok!”

Masih belum ada tanggapan.

“Nggak mau, Rin…” Nick menggeleng lemah.

“Alasannya, kenapa? Ngg… aku bawa mp3 sendiri dan banyak lagu-lagu favorit kamu, kok!” Therin mendekatkan wajahnya pada wajah Nick.

“Nggak ada alasan,” singkat Nick, berharap ceweknya berhenti bertanya.

“Aku nggak percaya. Pasti ada!” paksa Therin cemberut.

“Harus ada?!” nada Nick naik beroktaf-oktaf.

“Harus!” Therin jadi mulai naik pitam.

“Apaan, sih, Rin! Kalau nggak ada, ya nggak ada!” bentak Nick dekat sekali dengan telinga Therin.

Belasan pasang mata mengarah pada mereka berdua. Nick sudah tak peduli lagi terlihat kasar atau arogan. Keduanya muncul secara bersamaan, hanya karena pacarnya.

“Pengen aku jawab apa, sih? Harus aku bilang malu dansa sama kamu di sini? Terus jelasin kalau kamu keliatan aneh pakai gaun robek-robek plus plester di lutut? Denger nggak, sih, tadi kita diketawain lama banget?!”

Mendengarnya, Therin jadi ingin menangis. Itu jawaban sebenarnya? batinnya sambil terisak.

Rupanya Nick masih punya kalimat pamungkas. “Kamu doyan diketawain orang, heh?!” suara itu makin menusuk telinga Therin.

Therin menggeleng-geleng lesu. Air hangat di ujung mata sudah nyaris meluncur.

“Tapi aku pengen, Nick…” lirih Therin dengan napas sesak.

“Sama orang lain aja kalau segitu ngebetnya!” suruh Nick enteng sekali.

Therin meregang amarahnya di kerongkongan. Ingin sekali ia meludahi cowok itu.

“Gila kamu!” teriak Therin. “Semua tahu aku pacar kamu. Apa jadinya kalau aku malah dansa sama orang lain?!

Nick menatap jam tangannya. “Daripada ngabisin waktu maksa-maksa aku! Jangan bersikap bodoh, Rin.

Ya Tuhan, pacarku sendiri bilang aku bodoh!” Therin sudah menangis. Dengan frustasi, ia meremas bagian bawah roknya. “Jangan – jangan kamu malah duluan ngumumin rencana buat mutusin aku?!” Therin bicara sekenanya. Suara Therin makin parau saja. “Kenapa, sih, nggak mau? Kenapa? Kamu jadiin aku pacar kamu pun tandanya kamu mau sama aku. Ginian aja, kenapa—”

“Norak, tahu, Rin!” Nick semakin berani membentak.

“Apanya yang norak, sih?!”

Nick mendengus malas. “Nggak semua mesti kamu tahu, Rin!”

Therin beranjak dari bangku dan berkata, aku pantas tahu yang ini, karena aku ada kaitannya!”

“Jangan ngerasa paling penting dan pantas buat segala-galanya, deh!”

Cukup. Akhirnya Therin tahu mengapa Nick begitu.

Air mata turun tak terkira. Nick beranjak dan pergi begitu saja—entah hendak kemana. Therin begitu hancur, tapi cowoknya sendiri tak mengucap kata sesal atau apa saja yang bisa menenangkannya.

Intinya, Nick tak mau berlama-lama dengannya.

***

Lelaki yang baik adalah: Ketika ia mencintai gadisnya, ia akan memuliakannya. Sementara ketika ia tidak lagi mencintai gadisnya, ia takkan menyakitinya.

Nicholas bukanlah salah satu atau keduanya.

Sedikitnya, Nicholas merasa tak enak pada Therin yang sepertinya menjadi bahan pelampiasan kerisauan hatinya beberapa hari terakhir. Setelah ia sempat hampir seharian penuh menghabiskan waktu berdua dengan Katherine, yang menjenguknya saat terkena demam.

Waktu Nick demam dan benar-benar merasa yang ia butuhkan hanyalah menyendiri—dengan AC mati dan selimut yang melilit, ia masih sempat mengingat seseorang. Seseorang yang tiba-tiba terasa lebih penting diberitahu ketimbang pacarnya sendiri.

Katherine. Ia seksi absensi baru di kelas Nick. Dan terlepas dari itu, entah mengapa Nick ingin Katherine yang tahu keadaannya. Bukan yang lain. Bukan juga Therin.

Hingga keesokannya, saat ia sudah baik-baik saja, dan bersantai menikmati Minggu pagi dengan menonton ikan-ikan koi di kolam halaman belakang, merasa tak ingin diganggu oleh siapa pun. Tidak ingin dihadapkan dengan apa pun. Bahkan roti dan selai, makanan kesukaannya bila sakit, yang sudah susah payah dibeli Therin.

Nyatanya ia tak bisa menolak kehadiran tamu dengan pipi berlesung dan senyum manis sedikit dikulum—yang membawa bubur jagung hangat di kotak makanan sewaktu SD.

Di hadapan Katherine, Nick tidak bisa bersikap atau setidaknya berkata jujur. Ia pura-pura menyukai bubur jagung yang sebenarnya malah membuatnya mual. Satu hal yang tak pernah ia lakukan pada Therin, yang selalu menerima kejujurannya soal apapun. Bahkan ketidaksukaan atau keberataannya atas sikap maupun perhatian Therin yang dianggapnya berlebihan.

Ini kali pertama Nick tak jujur.

Ia pura-pura tidak mengenal Therin saat Katherine bercerita tentang proyek mengasyikan dan partner-partner barunya di ekskul jurnalistik.

Sampai pada saat Nick bertanya dengan bodohnya kehidupan pribadi Katherine.

“Kamu sekarang sama siapa?” pertanyaan itu begitu saja meluncur.

Kate mengernyit tak mengerti. “Ngg… maksud kamu?”

Sorry, sorry. Lewat aja, deh,” pekik Nick, tiba-tiba sadar sudah ngelantur dan membahayakan hubungannya dengan Therin yang tak lama lagi sampai di anniversary yang kedua.

Dan nampaknya Katherine mengerti apa maksud Nick yang kini panik akibat ulahnya sendiri.

Kate tersenyum simpul. Now... I’m single and—” bisik Katherine mendekatkan wajahnya dengan wajah Nick.

“Oh ya?” tiba-tiba Nick terkikik dengan ekspresi campur aduk. Membuat Katherine terpaku.

Jarak bibir mereka saat ini lebih dari dekat. Entah bagaimana tempo detak jantung Nick sekarang. Yang jelas, Nick tak bisa lagi mencari kata-kata untuk melanjutkan komentarnya soal penjelasan singkat Katherine.

I don’t wanna get a relationship with anyone except you.”

Dan akhirnya Nick hanya diam, membiarkan Katherine mengecup bibirnya perlahan. Ia sempat tersentak di awal, ingin segera mengakhiri, karena suara tangis Therin seolah menggema dan menjadi teriakkan yang menusuk-nusuk telinganya. Suara itu begitu khas, saat ia pulang dengan hati sakit, termaki oleh sikap cuek Nick yang acuh tak acuh akan kedatangannya membawa makanan setelah mendengarnya terkena demam.

Tapi nyatanya Nick terlalu pasrah akan suasana yang begitu ia sukai saat itu. Saat tangan halus Katherine mendarat di pundaknya dengan hangat, menjadi pengalaman yang (pikirnya) takkan terlupakan.

Walau setahun lebih bukanlah waktu singkat bersama Therin, ia dan Therin selama ini hanya saling menggenggam tangan, saling menertawakan dan saling menumpahkan emosi. Mereka tak pernah bermesraan. Yang ada, mereka berbagi kejujuran.

“Poni kamu hancur, Rin!” kata Nick suatu hari.

“Kamu kok, jadi bau badan gini, sih?” Therin membalas Nick lebih jujur lagi.

Sekarang, ocehan-ocehan itu sudah menghilang. Menjadi kebiasaan yang sulit sekali diulang.

Nick tak sadar bahwa selama ini Therinlah yang mencurahkan segala kasih yang ada demi dirinya. Walau bukan dinyatakan dalam kecupan.

Akhirnya kecupan dalam itu Katherine akhiri dengan tatapan yang bermakna. Itu lebih membingungkan Nick.

***

Sekarang Nick bagaikan seorang buronan yang bahkan tak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan. Perasaan bersalahnya makin tersingkir oleh perasaan cemasnya sendiri. Ia seperti begitu menyalahkan Therin yang akhir-akhir ini bersikap membosankan dan tak lagi menarik untuk ditanggapi. Entah karena Therin terlalu baik, terlalu tulus, atau terlalu polos. Seolah tak ada tantangan lagi bagi Nick untuk “meraih” Therin. Ia sudah dapatkan semuanya dari Therin. Tawanya, tangisnya, kecewanya, sayangnya, semuanya.

Mungkin yang Nick inginkan saat ini hanyalah tak bersama Therin lagi.

“Nicholas…,” seseorang memanggil namanya pelan.

Seketika Nick terkesiap, “Kath—”

“Maafin aku, Nick. Aku udah maksa-maksa kamu. Aku nyebelin banget, ya?” ternyata Therinlah yang sedang tertunduk lemah di belakangnya sejak beberapa menit tadi.

Nick tersentak dan panik sendiri, khawatir suara hati dan pikirannya bisa merembes keluar dan Therin tahu semuanya. Setidaknya ia tidak ingin sekarang Therin tahu terang- terangan ia sedang dekat dengan Katherine. Bagaimana pun, Nick gengsi kalau dicap sebagai cowok yang tukang mendua. Suatu saat nanti Therin bisa tahu sendiri, mungkin.

“Udah, udah. Kita pulang aja, ya. Mumpung belum terlalu rame di parkiran,” tutur Nick seraya bangkit dari kursi dan berjalan duluan.

Tak ada lagi uluran tangan. Tak ada lagi senyum ajakan.

***

“Oke, udah nyampe.”

Kalimat pendek nyaris tak berintonasi. Therin sendiri sepanjang perjalanan pulang, makin kedinginan. AC mobil seperti freezer. Ditambah, sikap Nick tidak ada hangat- hangatnya sama sekali.

Apa ini rasanya punya supir? pikir Therin.

Kata-kata Nick tadi, antara mempersilahkan Therin beristirahat, atau mengusir perlahan?

“I-iya,” Therin hanya mangut-mangut. Enggan beranjak dari jok mobil yang terlanjur hangat ditempatinya.

Sesaat hening.

“Kamu mau ngomong sesuatu?” pancing Therin sambil memandangi tangan Nick yang tak jua membukakan pintu. Kedua siku Nick bertumpu di pinggiran stir. Jari-jarinya menyatu, ditindih dahinya—yang anehnya—malah berkeringat.

Kalau Nick kegerahan, biasanya ia akan membuka jaket atau almamater sekolah untuk dipakaikannya pada Therin—yang jutru kebalikannya—mudah kedinginan. Sekarang Therin masih sangat-sangat kedinginan. Tapi Nick malah bergeming.

Nicholas tak bilang “ya” atau “tidak”. Tapi ia seperti menggumamkan nama seseorang.

Therin…, itu yang terdengar oleh Therin. Padahal sebenarnya “Katherine…”

“Ya?” Therin menoleh cepat. Antusias.

Nick mendongak seketika. Terkejut dengan tanggapan salah paham Therin. Kalau begini, ia jadi mesti memulai pembicaraan. Malam ini atau malam-malam yang lain akan berarti sama bagi Therin jika memang inilah yang ingin Nicholas katakan.

“Kita temenan aja, Rin,” singkat Nick membelalakkan mata Therin.

Temenan aja berarti: putus.

“Kenapa?” secepat itu suara Therin langsung parau.

“Karena aku nggak mau lagi—” Nick kelihatan sibuk merangkai kata. “Nggak mau lagi kita kayak gini,” lanjutnya rada terbata – bata.

“Emang kita gimana?” Therin mulai sibuk menahan matanya yang berair.

Tidak ada jawaban, bahkan sampai air mata Therin tak terbendung lagi.

Arah penerawangan Therin ternyata tepat sasaran. “Setiap orang punya kekurangan, Nick. Aku yakin kamu tahu itu. Tapi aku kira kamu orang yang bisa paham itu. Bisa menyuguhi kesempatan untuk aku—memperbaiki—atau seenggaknya menutupi kekurangan aku. Karena semua butuh waktu. Butuh proses.
Sesegera mungkin Nick mengambil kesempatan bicara. “Cepet masuk, gih. Istira—”

“Tunggu!” Therin mengangkat tangan kanannya. Jangan coba – coba mengakhiri pembicaraan dengan alasan udah malam!” Therin mengangkat tangan dan menunjuk-nunjuk wajah Nick dengan emosi. “Kamu perlu tahu,” ia mulai sesenggukan. Tangannya turun dengan lemasnya. “Aku… selalu… kasih kamu ‘itu’!”

“Itu?” nada pertanyaan sesingkat ini terdengar menjijikkan sekali buat Therin. Menjijikkan, karena sudah lebih dari menyakitkan. Seolah selama ini Therin tak memberikan apa pun yang berarti bagi Nick.

“Waktu! Kesempatan!” tegas Therin nyaris menjerit. Tapi tangisnya membuat ia tetap nampak lemah.

Tidak mungkin menjilat ludah sendiri. Tidak ada kata- kata yang bisa ditarik kembali. Dan sayangnya, memang inilah yang Nick mau. Putus. Walau tangisan Therin tak ingin ia dapati malam ini. Meski ia tahu Therin akan seperti ini.

“Aku bukain pintu?” setidaknya Nick ingin Therin segera masuk ke kamarnya dan besok pagi orangtuanya tidak mendapati anaknya dengan keadaan separah ini.

“Nggak perlu!” Therin langsung membuka pintu. “Aku juga pengen cepet nutup mata dan ngelupain malam ini. Ngelupain kenyataan bahwa selama ini aku cuma gadis polos dan bodoh yang berharap cowok yang dia sayang suatu hari nanti bisa berubah!”

Suara bantingan pintu itu seperti menggema. Menyakitkan telinga.

Nick hanya menghela napas, menstarter mobil dan menancap gas.

Kepulan asap itu tetap tak semenyesakkan kenyataan.

If only our mind has “delete” button.

***

Pagi-pagi buta, Therin sudah menyisir rambut di depan tualet kamarnya. Senyum palsu yang terpajang di pantulan bayangan cermin, sama sekali tak merubah kesan. Kantung matanya yang kusam sudah cukup menjelaskan: ia terluka.

Semalaman ia habiskan untuk memandangi langit-langit kamar, seolah tempat itu seketika asing baginya. Sambil mendengarkan lagu-lagu dansa yang selama ini menghuni chart paling atas mp3nya, mati-matian ia menghentikan tangisnya.

Satu per satu lagu terputar. Terdengar seperti kidung seseorang yang berduka.

Pantas Nick benci lagu-lagu ini, batin Therin seraya menyeka air matanya.

“Therin…” panggil mama dari kejauhan. “Kamu udah bangun, Sayang?” sambungnya seraya mematikan microwave yang menghangatkan sup ayam tadi malam.

Therin berjalan gontai, kemudian membuka pintu kamarnya sedikit. Dengan suara parau, ia menjawab. “Baru selesai mandi, Ma…”

“Wah, syukur kalau gitu! Cepet siap-siap, Nak. Sarapan sama sup aja, ya!”

“Nggak sarapan, Ma...” ujarnya, nyaris tak terdengar.

“Heeey! Kok, gitu?” suara mama langsung terdengar sewot. “Inget, Therin. Sarapan itu penting untuk kelancaran belajar kamu. Kelancaran belajar kamu penting untuk masa depan kamu. Masa depan kamu penting buat diri kamu sendiri. Dan kamu… penting banget buat keluarga ini!” jelas mama panjang-lebar, mengiris perasaan Therin.

Ocehan itu berbanding terbalik dengan makian Nick.

Jangan ngerasa paling penting dan pantes buat segala – galanya, deh!

***

Dan ruang ekskul tari lah tempat terbaik setiap kali Therin tersungkur. Terjerembab dalam rasa sakit hatinya selama jadi remaja. Selama ia mengenal Nick. Ia selalu merasa segala privasinya aman disana, sampai akhirnya—untuk pertama kalinya—seseorang turut campur dalam kesedihannya disana. Padahal harusnya ia bisa menguasai ruangan itu selama jam istirahat ini.

“Permisi,” suara itu dari arah pintu yang sekarang setengah terbuka. “Ada orang disini?” sambungnya, tak jua membuat Therin bergeming.

Dalam hati, Therin ingin sekali menjawab. Tapi ia masih sesenggukan dan malas sekali beranjak dari pojok ruangan. Apalagi untuk menemui orang lain yang-bisa malah mempertanyakan kantung matanya sekarang.

Cowok itu seperti bicara sendiri. Entah mengumpat atau apa. Tapi remasannya pada sebuah sapu tangan mulai merenggang. Kemudian ia letakkan sapu tangan kecil itu di bufet dekat pintu seraya membuang napas sesal.

“Rin... Rin… Kapan, sih, lo mau gue temuin?” gumamnya sama sekali tak sampai ke telinga Therin sembari berlalu.

Tapi sapu tangan itu sungguh menarik perhatian. Saat pintu hendak ditutup, Therin tiba-tiba terperanjat, berlari, dan…

“Therin?!” pekik orang itu tak jadi menutup pintu. Daun pintu seperti terkepak-kepak seolah dimain-mainkan.

Therin kembali jatuh. Dan cowok itu kembali hadir.

Ayo kubantu, Rin.

“Kayaknya itu punya aku,” Therin malah curi-pandang pada kain bermotif kotak-kotak berukuran 20 x 20 cm itu.

Langsung saja cowok itu tertawa, dengan tangan masih menopang bahu Therin. Sedikit demi sedikit, Therin akhirnya bisa berdiri.

“Kamu tuh, ya… Selalu aja mementingkan hal lain dari pada diri sendiri,” cowok itu bicara masih sambil terkikik.

Therin jadi tercenung. Ia tak tahu harus jawab apa. Tangan lemasnya berusaha meraih sapu tangan itu, tapi cowok itu menahannya.

“Nih,” ujar cowok itu, yang tak lain adalah Regi. Kembaran Geri, sobat Nicholas. “Masih utuh. Lebih wangi, lagi,” lanjutnya langsung membuat Therin refleks mencium sapu tangannya.

“Kamu nyuci ini?” pekik Therin.

“Iya. Dikucek-kucek bentar aja di wastafel. Kotor, sih, keinjek-injek orang yang pada ngerumunin kamu pas jatuh. Maaf, ya, aku malah langsung ninggalin kamu. Bawa saputangan ini ke rumah dulu, lagi. Berasa jadi Jaka Tingkir, hahaha.”

“Sebentar,” Therin tiba – tiba merasakan pening di dahinya. “Jadi kamu, yang nolong aku pas—”

Regi tertawa lagi. “Iya. Dan bodohnya lagi, aku malah ngilang setelah itu,” ujarnya mulai memajang wajah menyesal. Padahal dari dulu aku selalu pengen coba datengin kamu, yah… sekedar ngobrol berdua gini,” perlahan ia tersenyum kecut.

Manik hitam indah itu kini memandang lekat ke arah Regi. Regi tiba-tiba merasa ini hari terbaik dalam hidupnya. Ketika ia sekedar datang membawa sebuah sapu tangan, dan segala yang diinginkannya terjadi dalam satu waktu.

“Soalnya, aku nggak suka main PS, sih. Aku lebih suka main piano atau biola. Aku juga nggak suka beverage macem yang diminum sama Geri, Hero, atau Nick. Tiap pagi sore, palingan aku nungguin jus buatan Bunda. Ngg… aku juga nggak suka sepak bola. Aku sukanya musik klasik. Jadi aku cuma bakal jadi kambing congek, atau polusi buat pertemanan Geri, Hero, dan Nick kalau aku ikut main sama mereka. Dan sialnya, gara – gara itulah aku jadi nggak bisa kenal deket sama kamu.”

Menyadari ocehannya begitu panjang, Regi langsung memastikan Therin masih ada di sebelahnya. Mendengarkannya.

“Eh, sorry ya, jadi perkenalan nggak diminta,” ringisnya sambil garuk – garuk kepala, walau tak gatal.

Therin hanya melengkungkan bibirnya sebentar. “Apa lagi yang bisa aku tahu tentang kamu?” tanyanya seraya tergelak.

Regi tertawa, menyadari perkenalannya melebihi peserta lomba cerdas-cermat. “Hmm.. aku orangnya, bisa tiba-tiba doyan ngobrol kalau sama orang yang aku suka.”

Dan Regi merasa menyesal sudah secepat itu mengatakannya.

Rupanya Therin tak ambil hati atas perkataan Regi, malah cenderung tidak begitu mengerti. “Makasih,” katanya singkat.

Regi merasa waktu bersama Therin adalah jam pasir yang sebentar saja disia-siakan, ia akan runtuh dengan payahnya. Oleh karena itu, meski rada mengejutkan, regi nekat langsung “ambil posisi” untuk lebih dekat dengan Therin.

“Denger-denger dari Geri, katanya kamu suka mie tek-tek, ya?”

“Maksud?” Therin makin tak mengerti arah pembicaraan yang Regi buka.

“Ngg… Lagi bete, cocoknya makan makanan favorit! Pulang sekolah beli mie tek-tek baru deket bioskop, yuk?” ajak Regi, menahan panas di wajahnya.

Therin jadi terkikik. “Beli doang, nggak dimakan, dong?” godanya.

“Khekhekhek… Ya dimakan, lah!”

“Makan doang, nggak sekalian nonton?” tambahnya, membuat Regi semakin terkikik.

Seketika, Regi seperti tertimpa bantal kembang gula. “Apa aja, deh. Nanti pulang aku ke kelas kamu.”

Senyum Regi makin merekah.

***

Kesimpulannya adalah, Therin ternyata jauh lebih manis ketimbang yang diperkirakan Regi selama ini. Tawanya lucu, pekikannya selalu buat Regi menoleh cepat.

Therin juga rada panikan. Ia cepat merasa bersalah dan cemas. Walau sekedar minuman tumpah ke kemeja sekolah, sleting tas rusak, atau apapun yang mengganggunya. Mengganggu orang yang bersamanya.

Walaupun begitu, Regi merasa beruntung bisa secepat ini lebih dekat dengan Therin. Gadis yang begitu perhatian dan pengertian. Dan tidak ada penyesalan untuk perasaan terpendamnya selama ini pada gadis yang sedari dulu dimiliki Nicholas yang angkuh itu.

Dan tak terasa, tiga bulan sudah Regi menghabiskan banyak waktu dengan Therin. Nampaknya Therin juga jadi nyaman dengannya. Meski diam-diam Regi masih sering khawatir, apakah ia mampu menerima kenyatan pahit, kalau suatu hari saat ia akhirnya merasa yakin untuk membicarakan perasaannya pada Therin. Kadang ia berharap agar Therin menjadi supersensitif, dan kalau-kalau ia tak punya perasaan “lebih” padanya, Therin bisa menunjukkan itu dengan jelas dan baik-baik.

“Aku seneng, deh, kemarin kita jalan-jalan ke toko buku. Insting kamu keren juga, ya. Buku yang aku beli kemaren latihan soalnya berguna banget. Ulangan tadi jadi rada ringanan, lah!” ungkap Therin sumringah.

“Oh ya? Sukur kalau gitu.”

“Kadang aku heran, deh, sama kamu. Kok, kamu tahu ini-itu, sih? Binatang peliharaan nenek aku, kursus masak kakak ipar aku, kedai kopi favorit Ayah, foto studio waktu aku wisuda TK, sampai apotek langganan aku dari SMP,” celoteh Therin sembari mengunyah biskuit cokelatnya. “Padahal, seingetku, aku nggak pernah cerita hal – hal pribadi aku ke kamu sampe segitunya. Apalagi, kamu nggak punya facebook, twitter, atau jejaring lain. Kamu ngestalk lewat apa? Kamu  pesulap, ya?”

Regi terkesiap. Actually admirer, gumamnya tak terdengar.

Regi pun balik bertanya, emang pesulap bisa baca hidup orang, gitu? Aku juga bukan peramal, lho!”

“Ya terus, gimana caranya?”

“Ngg… Nggak tahu, sih. Ngalir aja. Nggak ada yang aku targetin. Nggak ada yang aku paksain. Mungkin semua atas dasar sayang aja.”

Statement itu mengarah pada teka-teki. Tiba-tiba, Regi jadi terkejut sendiri dengan ucapannya.

Therin seperti mulai membaca sesuatu.

“Yah… kamu emang cowok penyayang, sih. Aku beruntung.”

Beruntung? Mata Regi membulat. Ia tersenyum.

***

Setahun kemudian. Beberapa hari sebelum pesta ulang tahun Katherine yang kedua kali selama bersekolah di SMA Nick dan Therin.

Kesempurnaan Katherine di mata Nick akhirnya luntur juga. Gadis itu ternyata tidak lebih dari sekedar gadis manja yang pemaksa dan doyan mengancam. Ia menganggap semua orang membutuhkannya, sehingga harus memperhatikannya.

Mulai dari antar-jemput sekolah, menemani jalan-jalan, merayakan anniversary dan hal-hal lain yang lebih memuakkan lagi. Bagi cowok, terutama seorang Nick, hal-hal seperti itu hanyalah sekedar ritual pelanggeng hubungan saja. Daripada cari masalah dengan pasangan. Selebihnya, tidak ada makna apa-apa. Main PS atau nonton bola bersama Hero dan kawa- kawan jauh lebih asik dan penting.

Selama ia bersama Therin, mereka tak pernah begitu. Therin sudah cukup senang dengan makan es krim bersamanya saat pulang sekolah, atau bermain balon air saat mereka penat dengan tugas-tugas akhir semester. Therin pun tidak pernah meminta dipeluk saat sakit. Ia sendiri yang selalu memeluk Nick saat Nick nampak sakit. Dan Therin tidak pernah menuntut sebanyak itu padanya. Ia hanya ingin berdansa.

Tapi sekali lagi, sepanjang hubungannya dengan Therin, Nick menganggap Therin sebagai gadis yang sok penting dan pantas dalam segala hal.

Padahal Therin hanya ingin berdansa. Itu saja.

Tiba-tiba saja Nick menginginkan Therin lagi.

***

Kita baru menyadari betapa berharganya seseorang saat seseorang itu sudah tidak ada. Semua orang harusnya sadar akan kenyataan seperti itu dan mencegahnya terjadi. Sayangnya, Nick membiarkan dirinya malang dengan jebakan keegoisannya sendiri, memutuskan hubungan dengan seenaknya saja dengan gadis yang justru bisa menjadi segalanya bagi Nick.


Selamat ulang tahun, Nick.

Semoga Tuhan selalu sayang kamu, orang tua kamu, dan aku--
yang sayang sama kamu. 

Ucapan dari Therin tertulis rapi di notebook Biologi Nick sebagai hadiah ulang tahun dari Therin.

Di lemari baju, ada sebuah sapu tangan kecil lusuh bermotif kotak-kotak, yang sengaja Therin bawa ke sekolah sebagai salah satu stok di lokernya. Ia tahu Nick mudah terkena flu. Sapu tangan itu terpojok, seperti tak berarti. Parahnya, Nick tak pernah memakai itu sekali pun. Sapu tangan itu lusuh karena tak pernah disentuh.

Dan tak ada lagi yang lebih membahagiakan Therin selain terlepas dari label “gadis bodoh pengemis perhatian Nicholas”. Secara tidak langsung, kebebasannya itu menghantarkannya pada kebahagiaan lain. Menutup satu pintu masa lalu yang buruk, dapat membuka seribu pintu kebahagiaan di masa depan.

Dan Regilah yang menguatkan tangannya untuk bisa “mengangkat dagu” di promnight malam ini.

KREEEK!!! Pintu pun terbuka.

Cowok ramah itu berseri-seri mendapati warna baju mereka sama.

Biru—dan itu bukan lambang kesedihan.
                   
Sepanjang jalan, Regi hanya membahas soal promnight—yang katanya sangat mewah. Sampai di dekat lokasi photo boot pun ia tak menyadari seseorang tengah memanggil-manggil Therin.

Therin merasa malam ini sangat sempurna. Ia—dengan gaun sederhana kesukaannya—juga flat shoes idamannya, melenggang bersama lelaki yang entah datang dari mana kebaikannya.

Ini lebih dari sekedar bahagia.
Kemudian seseorang memanggil-manggil Therin lagi. Suaranya makin jelas.
Perlahan, sosok itu makin jelas terlihat. Therin memekik. “Ya Tuhan—”

***

Regi berjalan cepat menerobos kerumunan teman-teman dan tiba-tiba mendapati Therin berdiri tegang dengan kepalan tangan yang jelas sekali nampak menjadi tumpuan segenap emosinya.

“Maaf, aku lagi nungguin Regi,” ujar Therin berusaha memajang wajah angkuh—dan gagal.

Regi mendengar namanya disebut. Tapi justru karena itulah ia tak menampakkan diri. Tanpa berniat untuk memanfaatkan keadaan, ia ingin tahu perasaan Therin yang sebenarnya kepadanya.

“Sebentar aja, Rin. Aku mohon. Aku punya sesuatu buat kamu,” untuk pertama kali Nicholas nampak menghamba.

Regi bergeser lagi saat Therin memandangi sekeliling.

“Sana, gih. Bukannya bentar lagi band Hero tampil?” sergah Therin, mengalihkan.

Nick masih bersikeras. “Ayo, Rin. Jangan buang waktu.”

Therin tersenyum kecut. “Hei, Nick! Kamu aja yang pergi. Daripada ngabisin waktu maksa-maksa aku! Jangan bersikap bodoh, Nick.”

Giliran Nick yang muak. Kata-kata Therin persis dengan apa yang pernah ia teriakkan padanya.

“Apa sih, Rin? Ada apa sama kamu? Apa salahnya aku nemuin kamu?!” intonasi makin naik.

“Salah,” singkat Therin “dingin”.

Nick menelan ludahnya lagi.

“Sumpah, aku nggak ngerti apa maksud kamu bersikap gini malam ini. Kalau kamu benci sama aku, makanya kita bicara dulu. Kemana Therin yang pengertian, pemaaf, sab—”

“CUKUP!!!”

Dan bentakan itu memang benar—cukup menghentikan riuh malam itu.

Semua mata mengarah pada gadis satu itu.

“Jadi kamu lebih memilih balas dendam daripada bicara baik-baik dan memperbaiki hubungan kita? Kamu takut perasaan kamu—”

“AKU BILANG CUKUP!!!”

Kali ini Nick langsung bungkam.

“Kukira, sekian lama kamu ninggalin aku, kamu cukup paham artinya ‘perubahan’. Jangan tanya apapun soal aku, kalau kamu tetap nggak bisa tunjukin ke aku sisi sebenarnya kamu!!!” bentakan itu benar-benar mengguncang.

Aku seperti meremukkan hati sendiri, batin Therin sementara kakinya sudah menapaki lebih jauh lagi hamparan rerumputan, meninggalkan Nick yang masih terhenyak.

***

Sungguh, kalau bukan karena Therin seketika nampak rapuh dan hancur seperti itu, Regi tak akan pikir panjang untuk menghabisi Nick.

“Ini minumnya…” ujar Regi menyodorkan satu cup soft drink yang tidak sedingin tadi, lalu hendak pergi sebelum akhirnya Therin memegangi lengan jasnya.

Manik indah itu sekarang diselimuti air. Melihatnya, Regi jadi memilih duduk di sebelah Therin saja. Apapun yang Therin mau, ia akan lakukan.

Therin meraba ke sekeliling. Headsetnya rusak tertindih lututnya saat terpeleset—melarikan diri dari sosok lelaki perusak hari ini. Kemudian menyambungkannya dengan mp3 yang playlistnya paling Nick benci.

Tapi, toh malam ini Therin sukses menyingkirkan Nick dari sisinya. Toh, Regilah yang ia butuh di hadapannya. Selalu. Dengan senyum tulusnya, yang sedikitnya bisa membuat Therin yakin ia tak seburuk yang digambarkan Nick sepanjang bicara tadi.

Therin memasangkan headset satu lagi ke telinga Regi. Regi segera mengerti dan membantu Therin berdiri. Membersihkan baju terusannya yang terkotori tanah, tak lupa merapikan poninya yang sudah tak keruan.

Seketika, Therin ingat Nick dahulu sering mengomentari poninya. “Poni kamu hancur, Rin!” begitu kata Nick.

Tapi sekarang, Regi tak butuh berucap apapun. Sebab, tanpa usapan apapun, buatnya Therin tetap menawan.

Lagu sudah terputar. Langkah demi langkah mereka pijakan bersama. Sungguh entah dansa apa ini namanya. Penuh duka, penuh luka.

Kemudian aku sadar bahwa malam ini bukanlah milikku dan perempuan ini. Tapi si brengsek dan mantannya. Perempuan yang sedang kugenggam tangannya ini benar-benar penuh perhatian, selalu pengertian, tapi sayangnya disia-siakan. Sungguh yang kubutuhkan kini dan seterusnya hanyalah ketegaran menghadapi kegetiran. Bahwasannya perasaan yang kusimpan, jangan-jangan memang sebaiknya tak pernah lagi dicoba tuk diutarakan.

“Kamu nggak perlu ngelakuin yang tadi,” Regi melepaskan genggamannya.

Gadis itu hanya menggeleng, merunduk semakin rendah, dan lagi-lagi menangis.

Lagu sudah sampai di pertengahan, tapi Therin kembali tersungkur.

“Sekarang semuanya gimana kamu,” sambung Regi sekuat tenaga mengatakannya.
Therin yang wajahnya memucat, hanya bungkam tanpa ucap. Jangankan bicara, mengangkat dagu saja sudah susah.

Therin meremas mp3nya dan Regi kembali membantunya berdiri. Kali ini langkah kaki Therin memantap. Bagaimanapun, buatnya Regi bukanlah sekedar bintang jatuh yang hadir untuk memamerkan kilaunya saja. Tapi ia benar-benar singgah dan siap dimiliki.

Serindu apapun ia akan kehadiran Nick, bukan masalah baginya untuk berjuang tetap memilih bersama Regi.

Sementara itu, seseorang tengah menatap mereka—dengan nanar—dari jendela mobil. Beberapa saat kemudian, buket bunga mawar yang sudah terikat rapi oleh pita biru, ia bawa keluar. Ia genggam dengan lemas. Lama-lama lepas dari tangan.

Angin malam begitu dingin. Tapi tetap tak sedingin sikapnya pada gadis itu dulu. Rasa sakit melihat pemandangan miris malam ini mungkin setimpal dengan ketus bicaranya selama ini. Bunga-bunga yang dipadukan dengan serasi, dibeli dengan harga tinggi, mungkin saja tidak sebanding dengan perjuangan gadis itu saat mengantarkan roti—segera setelah mendengar kabar lelaki yang ia sayangi sakit.
    
Apakah harus selalu ada hantaman sebelum hadirnya sebuah penyesalan?

***

Oh I know I’m probably much too late
To try and apologize for my mistakes
But I just want you to know
I hope he buys you flowers
I hope he holds your hand
Give you all his hours when he has the chance
Take you to every party
cause’ I remember how much you loved to dance
Do all the things I should have done
when I was your man

Dan lelaki kesepian itu masih mengkhayal gadis yang ternyata masih ia cintai itu ada di hadapannya. Sama-sama tersenyum dalam dansa. Matanya yang terpejam, tak peduli waktu berjam-jam. Jika itu bisa menghadirkan kesempatan kedua, dan mereka kembali berdua.




Sayangnya gadis itu sudah memilih. Dan lelaki itu menyadari dengan penuh lirih.

Comments

  1. bagus banget sampe kebawa sedihnya. good job :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe.. OK makasih ya! Ditunggu jg komen2 di postingan lainnya. (y) Sama2 nyastra dong hihi..

      Delete

Post a Comment

Popular Posts