[NOVELET] WHEN I WAS YOUR MAN
04
: 30 pagi.
Beep… beep… Ponsel
Nick sudah dihujani sepuluh SMS, sementara Nick masih asik saja dengan bunga tidurnya.
Suara pesan masuk tak terlalu terdengar karena speaker handphone tepat
sekali tertindih dua bantal empuknya.
Jam wekernya pun belum menunjukkan tanda-tanda akan berdering.
Di
saat seperti itu—saat ia punya sesuatu yang asik, ia tak peduli apapun. Ia tak
peduli siapapun. Bahkan pada seseorang
yang sangat memperhatikannya sekalipun.
Seseorang yang berada jauh—tak
disampingnya—sedang bekerja keras terus -menerus
menekan tombol send agar ia segera
bangun dan tak terlambat lagi datang ke
sekolah.
Setengah
jam kemudian bunyi hapenya berbeda.
Kali ini telepon. Bunyinya jauh lebih nyaring ketimbang jam wekernya yang
sudah lama sekarat karena setiap bekerja—langsung limbung tersambar kepalan
tangannya yang sudah seperti atlet tinju saja.
“It’s a long…long…night…” Nick asik
mengigau, berharap tak mesti bangun untuk sekolah. Tapi bunyi telepon itu tak
berhenti juga. “Yet fucking–unbelieavable morning!” suaranya jadi geram.
Telepon
diangkat. Suara dari seberang sana
langsung saja tercekat makian Nick.
“Doyan
banget gangguin pacar sendiri!”
“Nick
ini jam—”
“Iya!!!”
bentak Nick langsung membanting hapenya
ke ujung kasur, nyaris jatuh. Tak ada niat sedikit pun untuk mengecek call register maupun inbox yang sudah sesak. Perhatian orang
di seberang sana sekarang nyaris (atau jangan–jangan sejak lama) resmi jadi
sampah.
***
Nick
selesai mandi. Badannya seketika menggigil, isusul oleh mata yang memerah. Semalam ia begadang untuk menonton konser band favorit dan siaran klub sepak bola
kesayangannya bersama karib-karibnya.
Belasan baverage
habis diseruput sepanjang menonton. Tak lupa macam-macam camilan. AC tak
berhenti dihidupkan. Ruang keluarganya sudah seperti kapal pecah. Pembantunya
mendengus dalam kepasrahan.
Jam
sepuluh pagi. Nick belum beranjak dari ranjangnya yang awut-awutan akibat selimut
dan spreinya dipakai sebagai penghangat badan.
Hapenya berbunyi lagi. Kali
ini, walau dengan gemetar, diangkatnya pelan – pelan.
“Apa?” tanyanya ketus.
“Kok, nggak sekolah?”
Nick menahan napasnya yang memburu, kemudian menjauhkan
ponselnya dari mulut. “Sebelum nelpon nanya
temen sekelas dulu, kek! Bisanya ganggu aja!” bentaknya tanpa sesal.
Rupanya gadis itu masih juga bersabar. “Harusnya
temen sekelas kamu yang nanya aku, Nick. Aku kan, cewek kamu…” kalimat
terakhirnya lirih.
Tiba-tiba saja Nick tertawa meremehkan. “Seksi
absensi lebih berhak tahu,” ujar Nick superdatar.
Klik. Percakapan terputus.
Gadis yang rela menghabiskan
pulsanya itu sedikit terisak, namun cepat-cepat
sadar dan bersikap biasa saja.
Teman-teman dekat yang tengah duduk dengannya pun
hanya mendelik dan
membuang napas, seolah
paham apa yang terjadi.
***
Hari sudah sore. Dengan
langkah gontai, Therin berjalan keluar dari sebuah
minimarket dekat sekolah. Tangan kanannya membawa beberapa buku paket dan
tangan kirinya menjinjing sekeresek roti beserta selai kacang kesukaan Nick.
Hari ini H-10 menuju anniversary keduanya dengan Nick. Therin bertekad untuk “bertahan” saja, agar
hubungannya dengan Nick bisa sampai
pada hari bersejarah itu.
Seketus apapun kata-kata
Nick, semarah apapun ia
terhadap semua SMS dan teleponnya, segila apapun kesukaannya pada klub sepakbola—sampai
mengorbankan waktu istirahatnya, Therin ingin berusaha sabar.
Ia menyayangi Nick. Mungkin besok, besok, besok, dan
seterusnya juga.
***
Pintu rumah Nick rupanya
sudah terbuka. Ruang tengahnya sudah menghangat dengan tawa segerombol laki-laki.
“Nick…” panggil Therin makin pelan saat melihat
cowoknya sudah tak berbalut selimut. Malah bermain PS, berduel dengan Hero.
Sesaat,
tak ada yang sadar ia pegal-pegal
mematung di ambang pintu. Bi Ida yang sedang menuruni tangga pun hanya menatap
iba, tak tahu harus bagaimana
memberi tahu juragan mudanya.
“Ada Therin, Nick…” seru Therin sendiri.
Hero malah duluan menoleh. Diikuti Geri, baru
kemudian Nick. Tapi Nick berbalik lagi, menuntaskan track di game sambil
tertawa. Ia berhasil mengalahkan Hero yang masih terkejut mengetahui kedatangan
Therin.
“Mati lu Her!
Mati lu!” terdengar Nick berteriak seraya tertawa berderai-derai.
Therin sudah hampir menangis.
Hero memilih untuk diam saja.
Akhirnya Nick beranjak juga. “Jam
segini bukannya pulang…” Nick menghampiri Therin tanpa mempersilakan duduk
terlebih dahulu.
Therin menahan napas sejenak, kemudian menaruh
keresek belanjaan itu di meja tamu. Barulah Nick mengerti.
“Udah nggak sakit,” singkat Nick tanpa terima kasih. Sejak kecil, ia selalu makan roti
dengan selai kacang kalau sedang sakit. Selai
kacang bagai obat mujarab baginya.
“Terus kenapa nggak ngabarin?” Therin masih berusaha
lembut.
“Kabar baik ini. Nggak apa-apa, lah. Besok juga
kamu lihat aku di sekolah, kan?”
jelas Nick santai-santai
saja.
Therin mendengus, merasa tak dianggap. Tangannya mengepal
kuat, menahan emosi yang sejak tadi mengakar hingga ke ubun-ubun. “Tadi
pagi kabar buruk malah seksi absensi kelas kamu yang duluan tahu,” sergah
Therin.
Nick terkikik, nyaris
berekspresi jijik. “Gituan doang dibahas terus,” ucapannya sungguh menyinggung
Therin.
“Terus kamu maunya bahas apa?! Kita udah lama nggak
ngobrol!” Therin ingat betul
terakhir kali mereka ngobrol secara “normal” adalah saat Nicholas bercerita
tentang Katherine bulan lalu. Putri seorang diplomat di Swiss, yang dengar-dengar adalah teman SD
Nick dan sekarang satu ekskul jurnalistik dengan Therin.
“Nggak pengen bahas apa-apa,” jawabnya ringan.
Seketika Therin yakin, ia mesti pulang sekarang juga.
Tanpa basa-basi,
ia langkahkan kaki lebar-lebar.
Menerobos angin senja yang dingin menggigit. Ada sebuah jaket di sofa dekat
pintu ruang tamu. Tapi
Nick sama sekali tak berniat meminjamkannya.
Mati-matian
Therin berusaha biasa saja. Berulang kali ia rela mengalah. Sampai detik ini, ia
mencoba ikhlas.
Tapi air
mukanya menyiratkan rasa yang berbeda. Beda
sekali di mata Regi.
Regi menghentikan laju mobilnya tepat di depan rumah
Nick. Bersebrangan dengan Therin yang sedang mencari-cari sapu tangan untuk
menutupi wajahnya yang sudah merah
padam.
Dari jauh, Therin nampak menangis sejadi-jadinya. Tubuh
ringkihnya bergetar, membuat Regi semakin tak tega.
Sementara ini, Regi hanya punya do’a. Besok-besok, mungkin ia punya keberanian untuk
benar-benar hadir di dekat Therin.
***
Beberapa hari kemudian, ketika Nick tiba-tiba membaik dan Therin
merasa Nick takkan berubah lagi.
Bel
berbunyi. Dengan malas, Therin keluar untuk melihat siapa yang datang. Saat
tahu Nick tengah bersiul menunggunya, ia segera merapikan rambutnya dan
berusaha tak merubah mood cowoknya
malam ini.
“Kamu diundang ke
ultahnya
Katherine, kan?”
“Iya,” Therin
mengangguk. “Aku sama Kate kan, se-ekskul,” sambungnya, masih sibuk memastikan dandanannya
tidak rusak. Berharap ada komentar positif dari Nick soal penampilannya.
“Sip,” ujar Nick tiba – tiba.
“Apanya yang sip?” mata Therin langsung berbinar-binar.
Nick
mau ngomong apa ya? batinnya antusias.
“Ya, sip, diundang. Jadi aku nggak sia–sia
kesini,” komentar yang salah arah. Therin berusaha tersenyum saja.
***
Malam minggu yang gemerlap. Halaman belakang rumah
Katherine yang luas, beralaskan
rumput jepang yang lembut bak karpet hijau, makin indah dihiasi ranting–ranting pohon besar di setiap sudut. Di sana digantungkan
puluhan manik-manik
bening yang bersinar disoroti lilitan warna-warni
lampu mini.
“Aduh!” pekik
Therin memegangi telinganya.
Nick langsung berbalik badan, membiarkan kunci
mobilnya sendiri jatuh ke tanah. Pelan-pelan dibantunya gadis itu untuk
melepaskan ujung anting dari benang bagian kerah gaunnya. Gaya oldschool sangat melekat pada diri Therin sejak
dulu. Warna pastel yang lembut, manis—menempel di kulit Therin. Tapi Nick masih tak punya kesan apa-apa.
“Sakit, nggak?” tanya Nick bernada cemas.
“Nggak, Nick.
Aku nggak apa-apa.”
“Tadi aduh-aduh
gitu,” katanya sembari mengambil kunci
yang tergeletak.
“Aduh doang, masa nggak boleh…” jawab Therin tersenyum.
Therin hendak menggamit tangan Nick yang sayangnya
duluan melambai pada Hero dan kawan-kawan yang keluar dari spot utama pesta.
“Dicariin Kate,
tuh!”
Therin segera menoleh
ke arah suara. Hero nampak
terkejut menyadari Therin berada di samping Nick.
Nicholas sama sekali tidak banyak pertimbangan. “Ke
dalem sendiri aja, ya…” ujar Nick tanpa menunggu anggukan Therin terlebih
dahulu.
Sekeping hati patah lagi.
***
Suasana riuh. Musik klasik yang lembut mengalun anggun.
Satu per satu pasangan memenuhi tempat pesta, dikelilingi yang hanya iseng ikut menonton.
Puluhan undangan tersenyum melihatnya. Hangat dan manis.
Tapi kedekatan para pasangan itu tak bisa
diumpamakan gingerbond kesukaan
Therin. Hanya Nick yang bisa menghangatkan perasaannya malam ini.
Hanya Nick yang akan membuat ia tersipu-sipu saking manisnya malam ini.
Therin ingin Nick di sana menunggunya. Tidak
sekedar menunggu tentunya. Memanggil, lalu membiarkan tangannya menggenggamnya
erat.
Nyatanya, Nick
masih asik ngobrol dengan Katherine dan karib-karibnya yang sepertinya begitu terpikat
pada Katherine sejak sebulan lalu memutuskan bersekolah di SMA mereka sampai lulus
nanti, meski harus tinggal
pisah dengan ayahnya di luar negeri.
Ada sebagian perempuan dikerumuni laki-laki karena
fisiknya. Ada sebagian perempuan dikerumuni laki-laki karena
sifatnya. Therin tak tahu Katherine ada di golongan mana.
Tawa yang meledak-ledak
tak mungkin direcoki oleh ajakan Therin secara tiba-tiba. Akhirnya Therin
memilih menunggu Nick sendirian.
Satu per satu teman Nick pergi mengambil makanan dan
minuman. Segera Therin berlari ke arah Nick yang tengah melamun, menatap lurus ke arah kolam.
Therin berteriak memanggil Nick segera setelah
kakinya tersandung kaki kursi dan tubuhnya terperosok di dekat kerumunan
keluarga Katherine.
Nick sibuk mencari-cari sumber suara ke arah
kolam.
“Nicholas!” Meski rasa malunya sudah berceceran,
Therin masih mampu memanggil nama cowoknya
itu.
Ia memejamkan mata, menahan sakit di lututnya.
Nicholas kebingungan harus bagaimana sementara Katherine terus bertanya.
“Siapa dia? Manggil-manggil kamu, lho, kayaknya…”
“M-masa?” Nick cuma mengernyit dan berusaha
mengalihkan pandangan Katherine ke sudut lain. “Eh, keluarga kamu hari ini bukannya balik ke Swiss, kan?”
Katherine masih mencari-cari sumber suara teriakan gadis
itu seraya menjawab, “ah, ya.. night
flight,” singkatnya.
Nick merasa ia sudah amat berdosa, tapi baginya yang tadi
itu sungguh memalukan.
Pasti
ada yang bakal bantuin Therin. Nggak harus gua juga, pikirnya.
Sejurus kemudian, seseorang
mengulurkan tangannya dengan cepat.
Therin tersenyum lega. Menyangka Nick yang
menolongnya.
Sosok Nick masih berlari kecil menghampirinya, ketika Katherine masuk ke dalam rumahnya.
Si penolong itu langsung saja pergi. Menghilang di kerumunan orang yang beralih
perhatian dari acara dansa ke tragedi kecilnya.
“Duh, Therin.. Hati-hati,
dong!” ujar Nick yang malah terdengar ngomel. “Duduk disana aja, gih! Cepetan!” sambungnya tergesa-gesa.
Tapi Therin sudah cukup senang. Cukup tenang
karenanya.
***
“Acaranya udah mau selesai, lho, Nick!” Therin menepuk
bahu cowok itu.
“Mau pulang sekarang?” terka Nick gagal total. Jelas- jelas mata Therin
fokus melirik acara dansa dadakan itu. “Masih asik, kali…” sambung Nick tanpa
menoleh.
“Iya, memang. Makanya kita dansa, yuk! Sebelum telat.”
Nick masih melamun. Ia mendadak tak banyak bicara.
Entah karena asik menikmati acara, mengingat-ngingat
jadwal pertandingan klub kesayangannya, menahan malu atas kejadian jatuhnya
Therin tadi, atau
terbayang-bayang sosok Katherine yang bak masa lalu yang menggeliat akhir-akhir ini.
Padahal gadis itu bukan cinta pertama Nick. Bukan
tetangga dekat. Bukan anak dari orang yang dihutangi budi oleh orang tua Nick.
Nick hanya mendadak terpikat padanya.
“Yuk, dansa!” ulang Therin kali ini menggoncang bahu
Nick.
Nick masih diam.
“Nicholas!” Therin menarik-narik rambut Nick—dekat
telinga.
“Apa?” sahutnya lemah.
“Dansa!” ditariknya lengan kiri Nick.
“Nggak deh,” tolaknya langsung.
Therin masih
berperasangka baik pada Nick. Ia pikir, Nick hanya sedang
malas dan kesal padanya.
Jadi, jika ia berhasil
membawa Nick ke tengah-tengah
para undangan, pasti cowok itu bisa rada ceria.
“Ayolah… Aku suka dansa…” Therin tersenyum – senyum
sendiri, membayangkan Nick dan dirinya menikmati pengalaman
perdana ini.
“Aku nggak suka,” jelas Nick.
Seketika, senyum di wajah Therin pun tenggelam.
“Nggak suka apanya? Musiknya? Kita minta ganti aja! Kita boleh milih, kok,” terang gadis itu begitu bersemangat.
Hanya senyap yang terasa.
“Atau... terlalu ramai? Oke, kita nunggu agak sepi
aja. Kaki aku udah baikan, kok!”
Masih belum ada tanggapan.
“Nggak mau, Rin…”
Nick menggeleng lemah.
“Alasannya,
kenapa? Ngg… aku bawa mp3 sendiri dan banyak lagu-lagu favorit kamu,
kok!” Therin mendekatkan wajahnya pada wajah Nick.
“Nggak ada alasan,” singkat Nick, berharap ceweknya berhenti bertanya.
“Aku nggak percaya. Pasti ada!”
paksa Therin cemberut.
“Harus ada?!” nada Nick naik beroktaf-oktaf.
“Harus!” Therin jadi mulai naik pitam.
“Apaan, sih, Rin! Kalau nggak ada, ya nggak ada!”
bentak Nick dekat sekali dengan telinga Therin.
Belasan pasang mata mengarah pada mereka berdua. Nick
sudah tak peduli lagi terlihat kasar atau arogan. Keduanya muncul secara
bersamaan, hanya karena pacarnya.
“Pengen aku jawab apa, sih?
Harus aku bilang malu dansa sama kamu di sini? Terus jelasin kalau kamu keliatan aneh
pakai gaun robek-robek plus plester di lutut? Denger nggak, sih, tadi kita diketawain lama banget?!”
Mendengarnya, Therin jadi ingin menangis. Itu jawaban sebenarnya? batinnya sambil terisak.
Rupanya Nick masih punya kalimat pamungkas. “Kamu
doyan diketawain orang, heh?!” suara itu makin menusuk telinga Therin.
Therin menggeleng-geleng lesu. Air hangat di ujung
mata sudah nyaris meluncur.
“Tapi aku pengen, Nick…” lirih Therin dengan napas
sesak.
“Sama orang lain aja kalau segitu ngebetnya!” suruh Nick enteng sekali.
Therin meregang amarahnya di kerongkongan. Ingin
sekali ia meludahi cowok itu.
“Gila kamu!” teriak Therin. “Semua tahu aku pacar
kamu. Apa jadinya kalau aku malah dansa sama orang lain?!”
Nick
menatap jam tangannya. “Daripada ngabisin waktu maksa-maksa aku! Jangan bersikap bodoh, Rin.”
“Ya Tuhan,
pacarku sendiri bilang aku bodoh!” Therin sudah menangis. Dengan frustasi, ia
meremas bagian bawah roknya. “Jangan – jangan kamu
malah duluan ngumumin rencana buat mutusin aku?!” Therin bicara sekenanya. Suara Therin makin parau
saja. “Kenapa, sih, nggak mau? Kenapa? Kamu jadiin aku pacar kamu pun tandanya
kamu mau sama aku. Ginian aja,
kenapa—”
“Norak, tahu, Rin!” Nick semakin berani membentak.
“Apanya yang norak, sih?!”
Nick mendengus malas. “Nggak
semua mesti kamu tahu, Rin!”
Therin beranjak dari bangku dan berkata, “aku pantas tahu yang ini, karena aku ada
kaitannya!”
“Jangan ngerasa paling penting dan pantas buat
segala-galanya, deh!”
Cukup. Akhirnya Therin tahu mengapa Nick begitu.
Air mata turun tak terkira. Nick beranjak dan pergi
begitu saja—entah hendak kemana. Therin begitu hancur, tapi cowoknya sendiri
tak mengucap kata sesal atau apa saja yang bisa menenangkannya.
Intinya, Nick tak mau berlama-lama dengannya.
***
Lelaki yang baik adalah: Ketika ia mencintai gadisnya, ia
akan memuliakannya. Sementara ketika ia tidak lagi mencintai gadisnya, ia
takkan menyakitinya.
Nicholas
bukanlah salah satu atau keduanya.
Sedikitnya, Nicholas
merasa tak enak pada Therin yang sepertinya menjadi bahan pelampiasan kerisauan
hatinya beberapa hari terakhir. Setelah ia sempat hampir seharian penuh
menghabiskan waktu berdua dengan Katherine, yang menjenguknya saat terkena
demam.
Waktu Nick demam dan benar-benar merasa yang ia
butuhkan hanyalah menyendiri—dengan AC mati dan selimut yang melilit, ia masih
sempat mengingat seseorang. Seseorang yang tiba-tiba terasa lebih penting diberitahu
ketimbang pacarnya sendiri.
Katherine. Ia seksi absensi baru di kelas Nick. Dan
terlepas dari itu, entah mengapa Nick ingin Katherine yang tahu keadaannya.
Bukan yang lain. Bukan juga Therin.
Hingga keesokannya, saat ia sudah baik-baik saja, dan bersantai
menikmati Minggu pagi dengan menonton ikan-ikan
koi di kolam halaman belakang, merasa tak ingin diganggu oleh siapa pun. Tidak
ingin dihadapkan dengan apa pun. Bahkan roti dan selai, makanan kesukaannya
bila sakit, yang sudah susah payah dibeli Therin.
Nyatanya ia tak bisa menolak kehadiran tamu dengan
pipi berlesung dan senyum manis sedikit dikulum—yang membawa bubur jagung
hangat di kotak makanan sewaktu SD.
Di hadapan Katherine, Nick tidak bisa bersikap atau
setidaknya berkata jujur. Ia pura-pura
menyukai bubur jagung yang sebenarnya malah membuatnya mual. Satu hal yang tak pernah ia lakukan pada Therin, yang
selalu menerima kejujurannya soal apapun. Bahkan ketidaksukaan atau
keberataannya atas sikap maupun perhatian Therin yang dianggapnya berlebihan.
Ini kali pertama Nick tak jujur.
Ia pura-pura
tidak mengenal Therin saat Katherine bercerita tentang proyek mengasyikan dan
partner-partner barunya di
ekskul jurnalistik.
Sampai pada saat Nick bertanya dengan bodohnya
kehidupan pribadi Katherine.
“Kamu sekarang sama siapa?” pertanyaan itu begitu saja meluncur.
Kate mengernyit tak mengerti. “Ngg…
maksud kamu?”
“Sorry, sorry.
Lewat aja, deh,” pekik Nick, tiba-tiba sadar sudah
ngelantur dan membahayakan hubungannya dengan Therin yang tak lama lagi sampai di anniversary yang kedua.
Dan nampaknya Katherine mengerti apa maksud Nick
yang kini panik akibat ulahnya
sendiri.
Kate tersenyum simpul. “Now...
I’m single and—” bisik Katherine mendekatkan
wajahnya dengan wajah Nick.
“Oh ya?” tiba-tiba
Nick terkikik dengan ekspresi campur aduk. Membuat Katherine terpaku.
Jarak bibir mereka saat ini lebih dari dekat. Entah bagaimana tempo detak jantung Nick sekarang.
Yang jelas,
Nick tak bisa lagi mencari kata-kata
untuk melanjutkan komentarnya soal penjelasan singkat Katherine.
“I don’t wanna
get a relationship with anyone except you.”
Dan akhirnya Nick hanya diam, membiarkan Katherine
mengecup bibirnya perlahan. Ia sempat tersentak di awal, ingin segera
mengakhiri, karena suara tangis Therin seolah menggema dan menjadi teriakkan
yang menusuk-nusuk telinganya. Suara itu begitu
khas, saat ia pulang dengan hati sakit,
termaki oleh sikap cuek Nick yang acuh tak acuh akan
kedatangannya membawa makanan setelah mendengarnya terkena demam.
Tapi nyatanya Nick terlalu pasrah akan suasana yang
begitu ia sukai saat itu. Saat tangan halus Katherine mendarat di pundaknya dengan hangat, menjadi pengalaman yang (pikirnya) takkan terlupakan.
Walau setahun lebih bukanlah waktu singkat bersama Therin, ia dan Therin selama ini
hanya saling menggenggam tangan, saling menertawakan dan saling menumpahkan
emosi. Mereka tak pernah bermesraan. Yang
ada, mereka berbagi kejujuran.
“Poni kamu hancur, Rin!” kata Nick suatu hari.
“Kamu kok, jadi bau badan gini, sih?” Therin membalas
Nick lebih jujur lagi.
Sekarang, ocehan-ocehan itu sudah menghilang. Menjadi
kebiasaan yang sulit sekali diulang.
Nick tak sadar bahwa selama ini Therinlah yang
mencurahkan segala kasih yang ada demi dirinya. Walau bukan dinyatakan dalam
kecupan.
Akhirnya kecupan dalam itu Katherine akhiri dengan
tatapan yang bermakna. Itu lebih membingungkan Nick.
***
Sekarang
Nick bagaikan seorang buronan yang bahkan tak tahu harus bagaimana menghadapi
kenyataan. Perasaan bersalahnya makin tersingkir oleh perasaan cemasnya
sendiri. Ia seperti begitu menyalahkan Therin yang akhir-akhir ini bersikap
membosankan dan tak lagi menarik untuk ditanggapi. Entah karena Therin terlalu
baik, terlalu tulus, atau terlalu polos. Seolah tak ada tantangan lagi bagi Nick
untuk “meraih” Therin. Ia sudah dapatkan semuanya dari Therin. Tawanya,
tangisnya, kecewanya, sayangnya, semuanya.
Mungkin yang Nick inginkan saat ini hanyalah tak
bersama Therin lagi.
“Nicholas…,” seseorang memanggil namanya pelan.
Seketika Nick terkesiap, “Kath—”
“Maafin aku, Nick. Aku udah maksa-maksa kamu. Aku
nyebelin banget, ya?” ternyata Therinlah yang sedang tertunduk lemah di
belakangnya sejak beberapa menit tadi.
Nick tersentak dan panik sendiri, khawatir suara
hati dan pikirannya bisa merembes keluar dan Therin tahu semuanya. Setidaknya
ia tidak ingin sekarang Therin tahu terang-
terangan ia sedang dekat dengan Katherine. Bagaimana pun, Nick gengsi kalau
dicap sebagai cowok yang tukang mendua. Suatu saat nanti Therin bisa tahu
sendiri, mungkin.
“Udah, udah. Kita pulang aja, ya. Mumpung belum
terlalu rame di parkiran,” tutur Nick seraya bangkit dari kursi dan berjalan
duluan.
Tak ada lagi uluran tangan. Tak ada lagi senyum
ajakan.
***
“Oke, udah nyampe.”
Kalimat pendek nyaris tak berintonasi. Therin
sendiri sepanjang perjalanan pulang, makin kedinginan. AC mobil seperti freezer. Ditambah, sikap Nick tidak ada
hangat- hangatnya sama sekali.
Apa
ini rasanya punya supir? pikir Therin.
Kata-kata
Nick tadi, antara mempersilahkan Therin beristirahat, atau mengusir perlahan?
“I-iya,” Therin hanya mangut-mangut. Enggan beranjak dari jok
mobil yang terlanjur hangat ditempatinya.
Sesaat hening.
“Kamu mau ngomong sesuatu?” pancing Therin sambil
memandangi tangan Nick yang tak jua membukakan pintu. Kedua siku Nick bertumpu
di pinggiran stir. Jari-jarinya
menyatu, ditindih dahinya—yang anehnya—malah berkeringat.
Kalau Nick kegerahan, biasanya ia akan membuka jaket
atau almamater sekolah untuk dipakaikannya pada Therin—yang jutru
kebalikannya—mudah kedinginan. Sekarang Therin masih sangat-sangat kedinginan. Tapi
Nick malah bergeming.
Nicholas tak bilang “ya” atau “tidak”. Tapi ia
seperti menggumamkan nama seseorang.
Therin…, itu
yang terdengar oleh Therin. Padahal sebenarnya “Katherine…”
“Ya?” Therin menoleh cepat. Antusias.
Nick mendongak seketika. Terkejut dengan tanggapan
salah paham Therin. Kalau begini, ia jadi mesti memulai pembicaraan. Malam ini
atau malam-malam
yang lain akan berarti sama bagi Therin jika memang inilah yang ingin Nicholas
katakan.
“Kita temenan aja, Rin,” singkat Nick membelalakkan
mata Therin.
Temenan aja berarti: putus.
“Kenapa?” secepat itu suara Therin langsung parau.
“Karena aku nggak mau lagi—” Nick kelihatan sibuk merangkai kata.
“Nggak mau lagi kita kayak gini,” lanjutnya rada terbata – bata.
“Emang kita gimana?” Therin mulai sibuk menahan
matanya yang berair.
Tidak ada jawaban,
bahkan sampai air mata Therin tak terbendung lagi.
Arah penerawangan Therin ternyata tepat sasaran.
“Setiap orang punya kekurangan, Nick. Aku yakin kamu tahu itu. Tapi aku kira
kamu orang yang bisa paham itu. Bisa menyuguhi
kesempatan untuk aku—memperbaiki—atau seenggaknya menutupi kekurangan aku.
Karena semua butuh waktu. Butuh proses.”
Sesegera mungkin Nick mengambil kesempatan bicara.
“Cepet masuk, gih. Istira—”
“Tunggu!”
Therin mengangkat tangan kanannya. “Jangan coba – coba
mengakhiri pembicaraan dengan alasan udah malam!” Therin mengangkat tangan dan menunjuk-nunjuk wajah Nick dengan emosi.
“Kamu perlu tahu,” ia mulai sesenggukan. Tangannya
turun dengan lemasnya. “Aku… selalu… kasih
kamu ‘itu’!”
“Itu?” nada pertanyaan sesingkat ini terdengar
menjijikkan sekali buat Therin. Menjijikkan, karena sudah lebih dari
menyakitkan. Seolah selama ini Therin tak memberikan apa pun yang berarti bagi
Nick.
“Waktu! Kesempatan!” tegas Therin nyaris menjerit.
Tapi tangisnya membuat ia tetap nampak lemah.
Tidak mungkin menjilat ludah sendiri. Tidak ada kata- kata yang bisa ditarik
kembali. Dan sayangnya, memang inilah yang Nick mau. Putus. Walau tangisan
Therin tak ingin ia dapati malam ini. Meski ia tahu Therin akan seperti ini.
“Aku bukain pintu?” setidaknya Nick ingin Therin
segera masuk ke kamarnya dan besok pagi orangtuanya tidak mendapati anaknya
dengan keadaan separah ini.
“Nggak perlu!” Therin langsung membuka pintu. “Aku
juga pengen cepet nutup mata dan ngelupain malam ini. Ngelupain kenyataan bahwa
selama ini aku cuma gadis polos dan bodoh yang berharap cowok yang dia sayang suatu hari nanti bisa
berubah!”
Suara bantingan pintu itu seperti menggema.
Menyakitkan telinga.
Nick hanya menghela napas, menstarter mobil dan
menancap gas.
Kepulan asap itu tetap tak semenyesakkan kenyataan.
If only our mind has
“delete” button.
***
Pagi-pagi buta, Therin sudah
menyisir rambut di depan tualet kamarnya. Senyum palsu yang terpajang di
pantulan bayangan cermin, sama sekali tak merubah kesan. Kantung matanya yang
kusam sudah cukup menjelaskan:
ia terluka.
Semalaman ia habiskan untuk memandangi langit-langit kamar, seolah tempat itu seketika asing baginya. Sambil
mendengarkan lagu-lagu
dansa yang selama ini menghuni chart
paling atas mp3nya, mati-matian ia
menghentikan tangisnya.
Satu per satu lagu terputar. Terdengar seperti kidung
seseorang yang berduka.
Pantas
Nick benci lagu-lagu ini, batin Therin
seraya menyeka air matanya.
“Therin…” panggil mama dari kejauhan. “Kamu udah
bangun, Sayang?” sambungnya seraya mematikan microwave yang menghangatkan sup ayam tadi malam.
Therin berjalan gontai, kemudian membuka pintu
kamarnya sedikit. Dengan suara parau, ia menjawab. “Baru selesai mandi, Ma…”
“Wah, syukur kalau gitu! Cepet siap-siap, Nak. Sarapan sama sup aja, ya!”
“Nggak sarapan,
Ma...” ujarnya, nyaris tak terdengar.
“Heeey! Kok, gitu?” suara mama langsung terdengar
sewot. “Inget, Therin. Sarapan itu penting untuk kelancaran belajar kamu.
Kelancaran belajar kamu penting untuk masa depan kamu. Masa depan kamu penting
buat diri kamu sendiri. Dan kamu… penting banget buat keluarga ini!” jelas mama panjang-lebar, mengiris perasaan Therin.
Ocehan itu berbanding terbalik dengan makian Nick.
Jangan ngerasa
paling penting dan pantes buat segala – galanya, deh!
***
Dan ruang ekskul tari lah tempat terbaik setiap kali
Therin tersungkur. Terjerembab dalam rasa sakit hatinya selama jadi remaja.
Selama ia mengenal Nick. Ia selalu merasa segala privasinya aman disana, sampai
akhirnya—untuk pertama kalinya—seseorang turut campur dalam kesedihannya disana.
Padahal harusnya ia bisa menguasai ruangan itu selama jam istirahat ini.
“Permisi,” suara itu dari arah pintu yang sekarang
setengah terbuka. “Ada orang disini?” sambungnya, tak jua membuat Therin
bergeming.
Dalam hati, Therin ingin sekali menjawab. Tapi ia
masih sesenggukan dan malas
sekali beranjak dari pojok ruangan. Apalagi untuk menemui orang lain yang-bisa malah
mempertanyakan kantung matanya sekarang.
Cowok itu seperti bicara sendiri. Entah mengumpat
atau apa. Tapi remasannya pada sebuah sapu tangan mulai merenggang. Kemudian ia
letakkan sapu tangan kecil itu di bufet dekat pintu seraya membuang napas
sesal.
“Rin... Rin… Kapan, sih, lo mau gue temuin?”
gumamnya sama sekali tak sampai ke telinga Therin sembari berlalu.
Tapi sapu tangan itu sungguh menarik perhatian. Saat
pintu hendak ditutup, Therin tiba-tiba
terperanjat, berlari, dan…
“Therin?!”
pekik orang itu tak jadi menutup pintu. Daun pintu seperti terkepak-kepak seolah dimain-mainkan.
Therin kembali jatuh. Dan cowok itu kembali hadir.
“Ayo kubantu,
Rin.”
“Kayaknya itu
punya aku,” Therin malah curi-pandang pada kain bermotif kotak-kotak berukuran
20 x 20 cm itu.
Langsung saja cowok itu
tertawa, dengan tangan masih menopang bahu Therin. Sedikit demi sedikit, Therin
akhirnya bisa berdiri.
“Kamu tuh, ya… Selalu aja mementingkan hal lain dari pada diri sendiri,”
cowok itu bicara masih sambil terkikik.
Therin jadi tercenung. Ia tak tahu harus jawab apa.
Tangan lemasnya berusaha meraih sapu tangan itu, tapi cowok itu menahannya.
“Nih,” ujar cowok itu, yang tak lain adalah Regi. Kembaran
Geri, sobat Nicholas. “Masih utuh. Lebih wangi, lagi,” lanjutnya langsung
membuat Therin refleks mencium sapu tangannya.
“Kamu nyuci ini?” pekik Therin.
“Iya. Dikucek-kucek bentar aja di wastafel. Kotor,
sih, keinjek-injek orang yang pada ngerumunin kamu pas jatuh. Maaf, ya, aku
malah langsung ninggalin kamu. Bawa saputangan ini ke rumah dulu, lagi. Berasa jadi Jaka Tingkir, hahaha.”
“Sebentar,” Therin tiba – tiba merasakan pening di
dahinya. “Jadi kamu, yang nolong aku pas—”
Regi tertawa lagi. “Iya. Dan bodohnya lagi, aku
malah ngilang setelah itu,” ujarnya mulai
memajang wajah menyesal. “Padahal
dari dulu aku selalu pengen coba datengin kamu, yah… sekedar ngobrol berdua
gini,” perlahan ia tersenyum kecut.
Manik hitam indah itu kini memandang lekat ke arah
Regi. Regi tiba-tiba
merasa ini hari terbaik dalam hidupnya. Ketika ia sekedar datang membawa sebuah
sapu tangan, dan segala yang diinginkannya terjadi dalam satu waktu.
“Soalnya, aku nggak suka main PS, sih. Aku lebih
suka main piano atau biola. Aku juga nggak suka beverage macem yang diminum sama Geri, Hero, atau Nick. Tiap pagi
sore, palingan aku nungguin jus buatan Bunda. Ngg… aku juga nggak suka sepak
bola. Aku sukanya musik klasik. Jadi aku cuma bakal jadi kambing congek, atau
polusi buat pertemanan Geri, Hero, dan Nick kalau aku ikut main sama mereka.
Dan sialnya, gara – gara itulah aku jadi nggak bisa kenal deket sama kamu.”
Menyadari ocehannya begitu panjang, Regi langsung
memastikan Therin masih ada di sebelahnya. Mendengarkannya.
“Eh, sorry ya,
jadi perkenalan nggak diminta,” ringisnya sambil garuk – garuk kepala, walau
tak gatal.
Therin hanya melengkungkan bibirnya sebentar. “Apa lagi yang bisa aku tahu tentang kamu?” tanyanya
seraya tergelak.
Regi tertawa, menyadari perkenalannya melebihi peserta
lomba cerdas-cermat. “Hmm.. aku orangnya, bisa tiba-tiba doyan ngobrol kalau
sama orang yang aku suka.”
Dan Regi merasa menyesal sudah secepat itu mengatakannya.
Rupanya Therin tak ambil hati atas perkataan Regi, malah
cenderung tidak begitu mengerti. “Makasih,” katanya singkat.
Regi merasa waktu bersama Therin adalah jam pasir
yang sebentar saja disia-siakan,
ia akan runtuh dengan payahnya. Oleh karena itu, meski rada mengejutkan, regi
nekat langsung “ambil posisi” untuk lebih dekat dengan Therin.
“Denger-denger
dari Geri, katanya kamu suka mie tek-tek,
ya?”
“Maksud?” Therin makin tak mengerti arah pembicaraan
yang Regi buka.
“Ngg… Lagi bete, cocoknya makan makanan favorit!
Pulang sekolah beli mie tek-tek
baru deket bioskop, yuk?” ajak Regi, menahan panas di wajahnya.
Therin jadi terkikik. “Beli doang, nggak dimakan,
dong?” godanya.
“Khekhekhek… Ya dimakan, lah!”
“Makan doang, nggak sekalian nonton?” tambahnya, membuat
Regi semakin terkikik.
Seketika,
Regi seperti tertimpa
bantal kembang gula. “Apa aja, deh.
Nanti pulang aku ke kelas kamu.”
Senyum Regi makin merekah.
***
Kesimpulannya adalah, Therin ternyata jauh lebih
manis ketimbang yang diperkirakan Regi selama ini. Tawanya lucu, pekikannya
selalu buat Regi menoleh cepat.
Therin juga rada panikan. Ia cepat merasa bersalah
dan cemas. Walau sekedar minuman tumpah ke kemeja sekolah, sleting tas rusak,
atau apapun yang mengganggunya. Mengganggu orang yang bersamanya.
Walaupun begitu, Regi merasa beruntung bisa secepat
ini lebih dekat dengan Therin. Gadis yang begitu perhatian dan pengertian. Dan
tidak ada penyesalan untuk perasaan terpendamnya selama ini pada gadis yang
sedari dulu dimiliki Nicholas yang angkuh itu.
Dan tak terasa, tiga bulan sudah Regi menghabiskan
banyak waktu dengan Therin. Nampaknya Therin juga jadi nyaman dengannya. Meski
diam-diam Regi masih sering
khawatir, apakah ia mampu menerima kenyatan pahit, kalau suatu hari saat ia
akhirnya merasa yakin untuk membicarakan perasaannya pada Therin. Kadang ia
berharap agar Therin menjadi supersensitif, dan kalau-kalau ia tak punya perasaan
“lebih” padanya, Therin bisa menunjukkan itu dengan jelas dan baik-baik.
“Aku seneng, deh, kemarin kita jalan-jalan ke toko
buku. Insting kamu keren juga, ya. Buku yang aku beli kemaren latihan soalnya
berguna banget. Ulangan tadi jadi rada ringanan, lah!” ungkap Therin sumringah.
“Oh ya? Sukur kalau gitu.”
“Kadang aku heran, deh, sama kamu. Kok, kamu tahu
ini-itu, sih? Binatang
peliharaan nenek aku, kursus masak kakak ipar aku, kedai kopi favorit Ayah,
foto studio waktu aku wisuda TK, sampai apotek langganan aku dari SMP,” celoteh
Therin sembari mengunyah biskuit cokelatnya. “Padahal, seingetku, aku nggak
pernah cerita hal – hal pribadi aku ke kamu sampe segitunya. Apalagi, kamu
nggak punya facebook, twitter, atau jejaring lain. Kamu ngestalk lewat apa? Kamu pesulap, ya?”
Regi terkesiap. Actually admirer, gumamnya tak terdengar.
Regi pun balik bertanya, “emang pesulap bisa baca
hidup orang, gitu? Aku juga bukan peramal, lho!”
“Ya terus, gimana caranya?”
“Ngg… Nggak tahu, sih. Ngalir aja. Nggak ada yang
aku targetin. Nggak ada yang aku paksain. Mungkin semua atas dasar sayang aja.”
Statement itu
mengarah pada teka-teki.
Tiba-tiba, Regi jadi terkejut
sendiri dengan ucapannya.
Therin seperti mulai membaca sesuatu.
“Yah… kamu emang cowok penyayang, sih. Aku
beruntung.”
Beruntung?
Mata Regi membulat. Ia tersenyum.
***
Setahun kemudian. Beberapa hari sebelum pesta ulang
tahun Katherine yang kedua kali
selama bersekolah di SMA Nick dan Therin.
Kesempurnaan Katherine di mata Nick akhirnya luntur
juga. Gadis itu ternyata tidak lebih dari sekedar gadis manja yang pemaksa dan
doyan mengancam. Ia menganggap semua orang membutuhkannya, sehingga harus
memperhatikannya.
Mulai dari antar-jemput
sekolah, menemani jalan-jalan,
merayakan anniversary
dan hal-hal lain yang lebih
memuakkan lagi. Bagi cowok, terutama seorang Nick, hal-hal seperti itu
hanyalah sekedar ritual pelanggeng hubungan saja. Daripada cari masalah dengan
pasangan. Selebihnya, tidak ada makna apa-apa.
Main PS atau nonton bola bersama Hero dan kawa- kawan jauh lebih asik dan penting.
Selama ia bersama Therin, mereka tak pernah begitu.
Therin sudah cukup senang dengan makan es krim bersamanya saat pulang sekolah,
atau bermain balon air saat mereka penat dengan tugas-tugas akhir semester. Therin pun
tidak pernah meminta dipeluk saat sakit. Ia sendiri yang selalu memeluk Nick
saat Nick nampak sakit. Dan Therin tidak pernah menuntut sebanyak itu padanya.
Ia hanya ingin berdansa.
Tapi sekali lagi, sepanjang hubungannya dengan
Therin, Nick menganggap Therin sebagai gadis yang sok penting dan pantas dalam
segala hal.
Padahal Therin hanya ingin berdansa. Itu saja.
Tiba-tiba
saja Nick menginginkan Therin lagi.
***
Kita baru menyadari betapa berharganya seseorang
saat seseorang itu sudah tidak ada. Semua orang harusnya sadar akan kenyataan
seperti itu dan mencegahnya terjadi. Sayangnya, Nick membiarkan dirinya malang
dengan jebakan keegoisannya sendiri, memutuskan hubungan dengan seenaknya saja
dengan gadis yang justru bisa menjadi segalanya bagi Nick.
Selamat ulang tahun, Nick.
Semoga Tuhan selalu sayang kamu, orang tua kamu, dan aku--yang sayang sama kamu.
Ucapan dari Therin
tertulis rapi di notebook Biologi
Nick sebagai hadiah ulang tahun dari Therin.
Di lemari baju, ada sebuah sapu tangan kecil lusuh
bermotif kotak-kotak,
yang sengaja Therin bawa ke sekolah sebagai salah satu stok di lokernya. Ia
tahu Nick mudah terkena flu. Sapu tangan itu terpojok, seperti tak berarti.
Parahnya, Nick tak pernah memakai itu sekali pun. Sapu tangan itu lusuh karena
tak pernah disentuh.
Dan tak ada lagi yang lebih membahagiakan Therin
selain terlepas dari label “gadis bodoh pengemis perhatian Nicholas”. Secara
tidak langsung, kebebasannya itu menghantarkannya pada kebahagiaan lain.
Menutup satu pintu masa lalu yang buruk, dapat membuka seribu pintu kebahagiaan
di masa depan.
Dan Regilah yang menguatkan tangannya untuk bisa “mengangkat dagu” di promnight malam ini.
KREEEK!!! Pintu pun terbuka.
Cowok ramah itu berseri-seri mendapati warna
baju mereka sama.
Biru—dan
itu bukan lambang kesedihan.
Sepanjang
jalan, Regi hanya membahas soal promnight—yang
katanya sangat mewah. Sampai di dekat lokasi photo boot pun ia tak menyadari
seseorang tengah memanggil-manggil
Therin.
Therin merasa malam ini sangat sempurna. Ia—dengan
gaun sederhana kesukaannya—juga flat
shoes idamannya, melenggang bersama lelaki yang entah datang dari mana
kebaikannya.
Ini lebih dari sekedar bahagia.
Kemudian seseorang memanggil-manggil Therin lagi.
Suaranya makin jelas.
Perlahan, sosok itu makin jelas terlihat. Therin memekik.
“Ya Tuhan—”
***
Regi berjalan cepat menerobos kerumunan teman-teman dan tiba-tiba mendapati Therin
berdiri tegang dengan kepalan tangan yang jelas sekali nampak
menjadi tumpuan segenap emosinya.
“Maaf, aku lagi nungguin Regi,” ujar Therin berusaha
memajang wajah angkuh—dan gagal.
Regi mendengar namanya disebut. Tapi justru karena
itulah ia tak menampakkan diri. Tanpa berniat untuk memanfaatkan keadaan, ia
ingin tahu perasaan Therin yang sebenarnya kepadanya.
“Sebentar aja, Rin. Aku mohon. Aku punya sesuatu buat
kamu,” untuk pertama kali
Nicholas nampak menghamba.
Regi bergeser lagi saat Therin memandangi
sekeliling.
“Sana, gih. Bukannya bentar lagi band Hero tampil?” sergah Therin, mengalihkan.
Nick masih bersikeras. “Ayo, Rin. Jangan buang waktu.”
Therin tersenyum kecut. “Hei, Nick! Kamu aja yang pergi. Daripada
ngabisin waktu maksa-maksa
aku! Jangan bersikap bodoh, Nick.”
Giliran Nick yang muak. Kata-kata Therin persis dengan apa yang pernah ia
teriakkan padanya.
“Apa sih, Rin? Ada apa sama kamu? Apa salahnya aku
nemuin kamu?!” intonasi makin naik.
“Salah,” singkat Therin “dingin”.
Nick menelan ludahnya lagi.
“Sumpah, aku
nggak ngerti apa maksud kamu bersikap gini malam ini. Kalau kamu benci sama
aku, makanya kita bicara dulu. Kemana Therin yang pengertian, pemaaf, sab—”
“CUKUP!!!”
Dan bentakan itu memang benar—cukup menghentikan
riuh malam itu.
Semua mata
mengarah pada gadis satu itu.
“Jadi kamu lebih memilih balas dendam daripada
bicara baik-baik
dan memperbaiki hubungan kita? Kamu takut perasaan kamu—”
“AKU BILANG CUKUP!!!”
Kali ini Nick langsung bungkam.
“Kukira,
sekian lama kamu ninggalin aku, kamu cukup paham artinya ‘perubahan’. Jangan
tanya apapun soal aku, kalau
kamu tetap nggak bisa tunjukin ke aku sisi sebenarnya kamu!!!” bentakan itu
benar-benar mengguncang.
Aku seperti
meremukkan hati sendiri, batin Therin sementara
kakinya sudah menapaki lebih jauh lagi hamparan rerumputan, meninggalkan Nick yang masih terhenyak.
***
Sungguh,
kalau bukan karena Therin seketika nampak rapuh dan hancur seperti itu, Regi
tak akan pikir panjang untuk menghabisi Nick.
“Ini minumnya…” ujar Regi menyodorkan satu cup soft drink yang tidak sedingin tadi, lalu hendak pergi
sebelum akhirnya Therin memegangi lengan jasnya.
Manik indah itu sekarang diselimuti air. Melihatnya,
Regi jadi memilih duduk di sebelah Therin saja. Apapun yang Therin mau, ia akan
lakukan.
Therin meraba ke sekeliling. Headsetnya rusak tertindih lututnya saat terpeleset—melarikan diri
dari sosok lelaki perusak hari ini. Kemudian menyambungkannya dengan mp3 yang playlistnya paling Nick benci.
Tapi, toh
malam ini Therin sukses menyingkirkan Nick dari sisinya. Toh, Regilah
yang ia butuh di hadapannya. Selalu. Dengan senyum tulusnya, yang sedikitnya bisa
membuat Therin yakin ia tak seburuk yang digambarkan Nick sepanjang bicara
tadi.
Therin memasangkan headset satu lagi ke telinga Regi. Regi segera mengerti dan
membantu Therin berdiri. Membersihkan baju terusannya yang terkotori tanah, tak
lupa merapikan poninya yang sudah tak keruan.
Seketika, Therin ingat Nick dahulu sering mengomentari
poninya. “Poni kamu hancur, Rin!” begitu kata Nick.
Tapi sekarang, Regi tak butuh berucap apapun. Sebab, tanpa
usapan apapun, buatnya Therin tetap menawan.
Lagu sudah terputar. Langkah demi langkah mereka
pijakan bersama. Sungguh entah dansa apa ini namanya. Penuh duka, penuh luka.
Kemudian aku
sadar bahwa malam ini bukanlah milikku dan perempuan ini. Tapi si brengsek dan
mantannya. Perempuan yang sedang kugenggam tangannya ini benar-benar
penuh
perhatian, selalu pengertian, tapi sayangnya disia-siakan. Sungguh yang
kubutuhkan kini dan seterusnya hanyalah ketegaran menghadapi kegetiran.
Bahwasannya perasaan yang kusimpan, jangan-jangan
memang sebaiknya tak pernah lagi dicoba tuk diutarakan.
“Kamu nggak perlu ngelakuin yang tadi,” Regi melepaskan genggamannya.
Gadis itu hanya menggeleng, merunduk semakin rendah,
dan lagi-lagi menangis.
Lagu sudah sampai di pertengahan, tapi Therin
kembali tersungkur.
“Sekarang semuanya gimana kamu,” sambung Regi sekuat
tenaga mengatakannya.
Therin yang wajahnya memucat, hanya bungkam tanpa
ucap. Jangankan bicara, mengangkat dagu saja sudah susah.
Therin meremas mp3nya dan Regi kembali membantunya
berdiri. Kali ini langkah kaki Therin memantap. Bagaimanapun, buatnya Regi
bukanlah sekedar bintang jatuh yang hadir untuk memamerkan kilaunya saja. Tapi
ia benar-benar singgah dan siap
dimiliki.
Serindu apapun ia akan kehadiran Nick, bukan masalah
baginya untuk berjuang tetap memilih bersama Regi.
Sementara
itu, seseorang tengah menatap mereka—dengan
nanar—dari jendela mobil. Beberapa saat kemudian,
buket bunga mawar yang sudah terikat rapi oleh pita biru, ia bawa keluar. Ia
genggam dengan lemas. Lama-lama
lepas dari tangan.
Angin
malam begitu dingin. Tapi tetap tak sedingin sikapnya pada gadis itu dulu. Rasa
sakit melihat pemandangan miris malam ini mungkin setimpal dengan ketus
bicaranya selama ini. Bunga-bunga
yang dipadukan dengan serasi, dibeli dengan harga tinggi, mungkin saja tidak
sebanding dengan perjuangan gadis itu saat mengantarkan roti—segera setelah
mendengar kabar lelaki yang ia sayangi sakit.
Apakah
harus selalu ada hantaman sebelum hadirnya
sebuah penyesalan?
***
Oh
I know I’m probably much too late
To
try and apologize for my mistakes
But
I just want you to know
I
hope he buys you flowers
I
hope he holds your hand
Give
you all his hours when he has the chance
Take
you to every party
cause’
I remember how much you loved to dance
Do
all the things I should have done
when
I was your man
Dan lelaki kesepian itu masih mengkhayal gadis yang
ternyata masih ia cintai itu ada di hadapannya. Sama-sama tersenyum dalam
dansa. Matanya yang terpejam, tak
peduli waktu
berjam-jam. Jika itu bisa
menghadirkan kesempatan kedua, dan mereka kembali berdua.
Sayangnya gadis itu sudah memilih. Dan lelaki itu
menyadari dengan penuh lirih.
bagus banget sampe kebawa sedihnya. good job :)
ReplyDeletehehehe.. OK makasih ya! Ditunggu jg komen2 di postingan lainnya. (y) Sama2 nyastra dong hihi..
Delete