PADA AKHIRNYA


Sumber: Google


"Aku mundur, Nar."
"Kenapa?"
"..."
"Kenapa?"
"Ya, karena udah waktunya."


Dahulu, kalimat terakhir itu seakan tabu. Kebenarannya terkubur harapan yang terus dianggap akan tumbuh baik dari apikal maupun lateralnya. Padahal, tidak. Tidak seindah dan sesederhana itu. Kalau sudah bicara waktu, kita bicara mati. Matinya rasa, matinya permainan ini.

Oh, sebenarnya tidak juga. Tak perlu menunggu matinya rasa untuk bisa memutuskan. Tak perlu menemukan titik temu dahulu, untuk bisa berlalu. Tak perlu pamit, kadang. Kadang--yang sebenernya lebih banyak melahirkan tanya.

Sayangnya, waktu tak sebaik itu perihal rahasia. Ia menyembunyikan kunci jawaban tepat di setiap lembar cerita yang kita sering lewatkan. Sebagian, merasa scene tersebut tidak penting, sementara sebagian lainnya terlalu memuja bab lainnya. Padahal, barangkali kita bisa buat kunci determinasi dari satu per satu dialognya.

Aku, dia--kami--atau bahkan kita semua sudah paham bahwa Tuhanlah pemilik hak paling paten perihal waktu dan kesempatan. Kala Ia berkata "jadi", tentulah segera terjadi. Akan tetapi, aku acap kali lupa bahwa setiap orang juga punya limitnya masing-masing mengenai seberapa jauh mereka harus melangkah, seberapa besar pengorbanan yang bisa mereka berikan, seberapa sering mereka hendak singgah, sedalam apakah mereka akan terbenam, setinggi apakah mereka mesti mendaki, selebar apakah mereka tersenyum, seberapa lama mereka tertawa, seberapa keras mereka berusaha menyembunyikan emosi, selama apakah mereka menghilang.

Selama apa?
Selamanya.
Bisa saja.

Comments

  1. Ditunggu post tentang 15 Septembernya ya kak (dengan foto postcard) ;)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts